KEBERSAMAAN DALAM SATU TUJUAN

Minggu, 19 Juni 2011

TULISAN PAK LISIN DOSEN SETIA WS

HUKUM ISLAM DALAM
PRESPEKTIF PEMBEBANAN KEPADA MUKALLAF
Makalah disajikan sebagai bahan diskusi
Mata Kuliah Kajian Ilmu Ilmu Keislaman Program Doktor
Pengampu : Bapak Abu Hapsin, PhD

Oleh
Muhlisin
NIM : 105113016

PROGRAM DOKTOR
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SEMARANG
( IAIN WALISONGO) 2010
Alamat : Jln. Walisongo No 1-2 Semarang


HUKUM ISLAM DALAM
PRESPEKTIF PEMBEBANAN KEPADA MUKALLAF
Studi Tentang Konsepsi Taklif )
Bagian pertama
Pendahuluan

Taklif dalam kapasitasnya sebagai instrument hokum memiliki kedudukan yang penting dan strategis. Taklif dalam hokum islam menjadi tali pengikat bagi instrrumen Hukum yang lain, seperti Muhallaf ( Mahkum Alaih ) dan Perbuatan Hukum ( Mahkum Fih ). Taklif dalam Hukum islam merupakan bentuk nyata dari system Hukum yang implikasinya pada tatanan kemaslahatan. pemberlakuan Prinsip-prinsip taklif atau pembentukan hukum Islam tercakup dalam tujuan utama pembentukan hukum Islam. Dalam literatur klasik ditemukan bahwa hukum Islam memiliki prinsip-prinsip yang terkandung dalam maqashid al syari`ah . Secara umum penetapan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat. Tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai seperangkat aturan-atauran atau norma norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa konsensus (ijma`) dari kenyataan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat maupun sebuah ketentuan yang ditetapkan oleh pemegang otoritas yang berwenang untuk itu.

Hukum Islam adalah hukum yang bersandarkan pada ajaran syari`at Islam. Norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam al Quran dan as sunnah masih bersifat umum, maka setelah Nabi Muhammad wafat norma-norma yang masih umum tadi dirinci lebih lanjut oleh para sahabat dan juga para tabi`in dengan menggunakan ijtihad atau ra`yu yang berpedoman pada tujuan disyariatkan hukum Islam (maqashid syari`ah) yaitu untuk kemanfaatan, kemaslahatan dan keadilan bagi segenap isi alam semesta (rahmatan lil `alamin).

Perumusan dan penggolongan norma-norma hukum dasar yang bersifat umum itu ke dalam kaidah-kaidah hukum yang lebih konkrit memerlukan disiplin ilmu dan cara-cara tertentu agar dapat dilaksanakan dalam praktik. Muncullah ilmu pengetahuan baru yang dinamakan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini kemudian dikenal dengan istilah ilmu hukum Islam yang perhatiannya tertuju pada Prinsip Taklif.

Kebijaksanaan tasyrik adalah kebijaksanaan pengundangan suatu aturan hukum Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kebijaksanaan taklif adalah kebijaksaan dalam penerapan suatu ketentuan hukum terhadap manusia sebagai mukallaf (subjek hukum) dengan melihat kepada situasi dan kondisi pribadi manusia itu; melihat kemampuan fisik, biologis dan dan rohani; mempunyai kebebasan bertindak dan mempunyai akal sehat. Kebijaksanaan tathbiq adalah kebijaksanaan perlakuan dan ketentuan hukum yang dapat saja berbeda dengan hukum perbuatan itu bagi orang lain.

Tuntutan hukum yang dibebankan kepada Mukallaf sesungguhnya merupakan bentuk pertanggungjawaban atas Mukallaf menerima dan berbuat sesuatu serta kemampuan mereka memikul kewajiban ( ahliyyah al ada`) yang telah diterimanya. Seorang Mukallaf menerima taklif itu didasarkan pada beberapa kriteria, yaitu `aqil, baligh, mumayyiz, fahmul mukallaf dan ikhtiyar. Sedangkan taklif yang diisyaratkan sebagai suatu hak bagi Mukallaf adalah untuk seseorang (ahliyyah al wujub) yang masih mempunyai nyawa, sejak janin masih di rahim dengan mempertimbangkan nilai-nilai kemaslahatan, kemanfaatan, dan keadilan.

Taklif ( pembebanan atas tindakan hukum ) Sebagai fungsi menerima pembebanan atas Mukallaf dan Pertanggungjawaban atas beban hukum sesungguhnya melekat pada pribadi subjek hukum dan dapat dipahami sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatu akibat dari tindakannya; sehingga kalau terjadi apa-apa atas mukallaf boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya; atau, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain.

Dalam ilmu ushul fiqh, taklif mempunyai pengertian pembebanan hukum, sedangkan Mukallaf mempunyai pengertian pertanggungjawaban atas perbuatan hukum. Dua kalimat ini mempunyai hubungan yang erat dan saling mengikat satu sama lainnya. Orang yang menerima pembebanan hukum kemudian perbuatannya dipertanggungjawabkan di muka hukum disebut dengan istilah mukallaf atau mahkum `alaih (subjek hukum). Terdapat beberapa istilah subjek hukum dalam hukum Islam, dan istilah ini disandarkan kepada jenis perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, di antaranya adalah 1) al qatil artinya orang yang membunuh, 2) al jarih artinya orang yang melukai, 3) al saqith artinya orang yang menjatuhkan sehingga menyebabkan orang lain celaka, 4) al sariq artinya orang yang mencuri, 5) al zani artinya orang yang berzina, 6) al qadif artinya orang yang menuduh zina, 7) al maharib artinya orang yang mengacau ketentraman, 8) al fasid artinya orang yang membuat kerusakan, 9) al bughat artinya orang yang memberontak, 10) al syarib artinya orang yang minum-minumam keras, dan masih banyak lagi.

Bagian kedua

Pembahasan Istilah

Taklif dan Mukallaf dalam Hukum

Batasan Taklîf dan Mukallaf

Pembahasan taklîf tidak akan terlepas dari pembahasan Hukum, karena taklif merupakan essensi dari tuntutan atas perbuatan Hukum, oleh karenanya membahas taklif harus terlebih didahului dengan pembahasan Hukum, yakni Hukum dapat diterjemahkan dengan istilah :

الوضع هو خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو


“Kalam/Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf baik berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan), atau pilihan atau meletakan/menjadikan (suatu sebab atau penghalang bagi suatu hukum)”.


Taklîf ( تكليف ) berasal dari fi’il mâdli “كلّف” yang memiliki makna “membebani, memikul, mengerjakan dan berpegang pada tata cara ”. Seperti contoh “كلّف محمد سعيدا بالأمر” yang berarti “ Muhammad membebani sa’id dengan sebuah perkara”. Maka kata “تكليف” berarti “pembebanan”. Pembebanan / tuntutan atas perbuatan mukallaf berarti tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan”. Tuntutan hukum sangat terkait dengan nilai-nilai ketaatan dan keinginan melaksanakan perintah atau aturan. Nilai-nilai ketaatan dan keinginan melaksanakan perintah identik dengan pengetahuan (`ilm) si pelaku. Apabila ia tidak mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap aturan yang ada, maka kualitas tindakan patuh terhadap aturan hanyalah merupakan kebetulan saja, oleh karenanya ia tidak dianggap taat. Kepatuhan tidak hanya tercermin dalam tindakan saja tetapi juga tercermin dalam hati dan akal si pelaku. Kata al tha`at (taat atau patuh) dan al imtitsal (terlaksananya perbuatan) terjadi tidak hanya kebetulan saja.

Contoh tuntutan melakukan perbuatan adalah ayat “أقيموا الصلاة” atau “كتب عليكم الصيام”. Sedangkan contoh tuntutan meninggalkan perbuatan adalah ayat “ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق” atau “

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير…”.

Bagi contoh pilihan pula adalah ayat “ فلا جُناح عليهما فيما افتدتْ به”

atau “

وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروامن الصلاة

Mukallaf berarti sesuatu atau orang yang terbebani, orang yang memikul, dan orang yang berpegang pada tata cara. Dia adalah sesuatu atau orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Dasar pembebanan hukum adalah akal (`aqil, mumayyiz), cukup umur (baligh), kehendak sendiri (ikhtiyar) dan pemahaman (fahm al-mukallaf). Kata aqil mengandung pengertian akal fikiran seseorang telah sempurna dan sehat, ia dapat memahami dengan baik semua aturan dan akibat hokum yang terkait dengan perbuatannya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklîfî

Taklîf (pembebanan hukum) terhadap mukallaf didasarkan pada pemahaman (الفهم) dan akal (العقل). Dengan akal manusia bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi karena akal adalah sesuatu yang tersembunyi dan sulit diukur, serta berbeda antara seseorang dengan orang lain sesuai dengan perkembangan biologisnya, maka syari`at Islam hanya menentukan patokan dasar sebagai indikasi luar dalam menentukan apakah seseorang sudah berakal atau belum. Indikasi luar tersebut adalah baligh

Di dalam hukum Islam, pengetahuan atau kepahaman seseorang terhadap aturan merupakan unsur yang penting untuk menilai tindakan atau perbuatan yang dilakukannya. Apabila seseorang terbukti tidak mengetahui atau tidak memahami sebuah aturan maka ia dinyatakan terbebas dari tuntutan aturan yang ada, dan oleh karenanya ia dibebaskan dari pertanggungjawaban hukum dalam hal perbuatan tersebut.

Ada beberapa syarat, tuntutan Syârî’ tersebut dapat menjadi beban hokum (التكليف), yaitu:

1. Seorang mukallaf telah mengetahui secara sempurna terhadap hukum Syârî’ yang berkaitan dengan perbuatan yang akan dilakukannya sehingga tujuannya dapat dipahami dengan jelas dan dapat dilakukannya.

2. Seorang mukallaf telah mengetahui dengan baik dan benar terhadap sumber taklîf suatu perbuatan yang akan dilaksanakannya sehingga pelaksanaan perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap tuntutan Allah SWT.

3. Perbuatan tersebut mungkin untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh seorang mukallaf. Ketika taklif dimaknai sebagai beban berarti terdapat obyek dari taklif,yakni subyek yang menerima beban ( Mukallaf ).


Bagian ketiga

Problem Taklif dan Mukallaf

dalam prespektif Hukum

al Wadl’i.

Tuntutan atas perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan khitâb al-Syârî’, dapat menjadi beban hukum (التكليف) manakala Mukallaf mengetahui secara sempurna terhadap perbuatan yang akan dilakukannya dengan baik dan benar terhadap sumber taklîf dan mungkin untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh seorang mukallaf.

Ketetapan ini merupakan instrument dan nafas hokum yang bersifat qudrati dan melekat pada ketetapan dan prinsip hokum yang tertuang dalam Maqasid al Syari’ah sehingga ketetapan hokum itu identik tuntutan, kepatuhan dan pengingkaran. Al wadl’I merupakan bagian dari instrument hokum yang tidak memenuhi ketetapan hokum sebagaimana ketentuan diatas sehingga al wadl’I sebagai bagian dari system hokum yang tidak memiliki konsekuensi tuntutan terhapan pembebanan hokum perlu dipertimbangkan. Beberapa instrument al wadl’I yang diindikasikan sebagai pra-syarat terbentuknya hokum sesungguhnya dapat diakomodir kedalam hokum dalam dimensi al Taklif, seperti sabab dan syarat masuk dalam syarat mahkum fihi, yakni perbuatan yang berhubungan dengan khitâb al-Syârî’, baik tuntutan melakukan suatu perbuatan, memilih suatu pekerjaan, atau yang bersifat wadl’î (syarat, sebab, penghalang, sah, rusak, ‘azîmah, maupun rukhshah). Sedangkan Mani’ dapat dimasukkan kedalam syarat mukallaf dalam menerima taklif. Mukallaf dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya ketika mereka mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan segala akibat yang akan timbul.

Dalil Taklif

Dalil-dalil syari’ah yang dijadikan sebagai sumber penetapan hukum syari’ah (Al Adillah- Al Istidlal)) dapat dilihat dari makna lughat yang dijadikan sebagai jalan dan alat untuk mendapatkan (menetapkan) hukum syara’ yang amali (praktis) dengan pertimbangan akal yang sehat dan berfikir secara jernih baik lafdli, maupun maknawi.

Konsistensi penggunaan dalil taklif yang memiliki konsekuensi terhadap pembebanan hokum memiliki keragaman yang berfariatif sehingga para imam dalam menetapkan hukum atas dalil taklif bergantung kepada keyakinan atas dalil yang dipedomani dan hasilnya menjadi sangat beragam Ikhtiar para ahli Ushul fiqh yang menetapkan pembagian hokum syara’ baik dalil muttafaqh maupun mukhtalafah didasarkan pada dalil yang dipergunakan oleh para Imam Madzhab. Berikut ini para Imam Madzhab dan dalil-dlil yang dipakai untuk berijtihad :

1. Imam Abu Hanifah, dalam berijtihad berpedoman pada tujuh dalil pokok, yaitu ; al Qur’an, al Hadits, al Ijma’ al Qias, Istikhsan, Urf, al Istishlah.

2. Imam Malik dalam berijtihad mempergunakan perangkat dalil lima macam, yaitu : al Qur’an, al Hadits, ‘amal ( Ijma’ ) ahlil Madinah, Qias, dan Islishlah.

3. Imam al Syafi’ii, dalam berijtihad, Imam syafi’I menggunakan perangkat dalil lima macam, yaitu : empat dalil yang disepakati penggunaannya dengan tambahan syarat untuk hadits harus yang shahih, dan Istish-hab.

4. Imam Ahmad bin Hanbal, dia berijtihad menggunakan dalil sebagai berikut , yaitu : al Qur’an, Hadits Marfu’, Fatwa shahabat, Hadits Hasan, Mursal dan Dhaif, dan Qias..

Ibahah dalam prespektif Taklif

Hukum disebut sebagai hukum taklîfî dikarenakan hukum ini memiliki pembebanan (تكليف) bagi manusia. Beban itu terlihat jelas karena berbentuk tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Takhyir (mubah) menjadi satu perdebatan tersendiri karena tidak berimplikasi pada tuntutan yang berakibat pada pertanggungjawaban. Ketika takhyir dimasukkan dalam hukum taklifi karena adanya kemuthlakan dan penggolongan secara istilah, bukan hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah: hukum takhyir/mubah hanya berlaku bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan hanya berlaku bagi orang yang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Inilah alasan mengapa takhyir/mubah dimasukkan dalam hukum taklifi, bukan berarti bahwa mubah itu adalah sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf.

Takhyir diwacanakan sebagai bagian dari taklif tertumpu pada perimbangan pertimbangan berikut:

Mubah hubungannya dengan Hukum Taklif

Madlhab Mu’tazilah berpendapat : segala sesuatu yang sebelum dan sesudah diberlakukannya hukum terjadi perubahan hukum, maka sesuatu itu tidak dapat dihukumi dengan syara’. Terhindarnya suatu bahaya karena berbuat sesuatu bukanlah terhindarnya bahaya aleh ketetapan syara’.

Adapun kesepakatan pendapat para ahli Fiqh, mubah termasuk hukum syara’, karena betapapun mukallaf harus memilih terhadap suatu perbutan yang sebelumnya masih netral, belum terkena hukum syra’ akan berbuat atau akan meninggalkan suatu perbuatan.

Mubah hubungannya dengan perintah

Ulama’ Fiqh dan Ushul Fiqh bersepakat : mubah itu bukanlah suatu yang diperintahkan. Karena prinsip tuntutan itu tedapat klasifikasi antara perbuatan itu harus dikerjakan atau dapat ditinggalkan.

Mubah hubungannya dengan wajib

Sebagian Ulama lain menyatakan : Mubah masuk dalam bingkai wajib, karena dalam mubah mukalaf tidak dikenai sanksi apabla mengerjakannya, ini adalah hakikat dalam wajib.

Sebagian Ulama yang lain menyatakan : Mubah tidak masuk dalam bingkai wajib, karena dalam mubah yang ada adalah memilih antara berbuat dan meninggalkan perbuatan.

Mubah hubungannnya dengan tuntutan

Jumhur Ulama berpendapat : Mubah tidak termasuk ketegori tuntutan, kerena pada prinsip tuntutan adalah dipehuninya suatu tuntutan, dan atau adanya resiko meninggalkan suatu tuntutan. Ini tidak tercermin dalam mubah.

Imam Abu Ishak al Asfarayini berpendapat : Mubah masuk dalam bngkai tuntutan, karena ketika mukallaf mengerjakan perbuatan hukumnya mubah, wajib meyakini kemubahan perbuatan tersebut, dan wajib adalah termasuk hitab taklif.

Mubah hubungannya dengan kebaikan perbuatan

Pendapat yang Rajih ditafsirkan :

Mubah itu baik dikerjakan, dengan sesuatu kenyataan bahwa mukallaf yang melakukan adalah mengerjakan hukum syara’, atau berbuat sesuatu yang setara dengan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan.

Mubah tidak baik dikerjakan, dengan sesuatu kenyataan bahwa yang mengerjakannya harus mendapat pujian.

Al Afwu

adalah masalah yang ada pada martabat antara halal dan haram, akan tetapi tidak masuk dalam kelompok taklif yang banyaknya ada lima atau tujuh diatas. Dia tidak sesuatu yang diperintahkan, dilarang, maupun dibebaskan memilih antara keduanya. Dalam persoalan ini tidak mungkin mensejajarkan antara tingkat manfaat dan mandlaratnya, atau antara manfaat berbuat dan meningalkannya. Perilaku terhadap perbuatan ini tidak mendapat ganjaran atau tidak pula mendapat ancaman.

martabat hukum Al Afwu berhubungan erat dengan perbuatan mukallaf, dengan tujuan tertentu ketika dkerjakan. Ketika ada perbuatan tidak berhubungan dengan hukum taklif, dan perbuatan tersebut harus ditetapkan hukumnya, maka perbuatan tersebut ada pada martabat Al Afwu. Disamping itu al afwu juga ditunjuk dengan nash secara khusus yang menunjukkan adanya hukum dengan martabat Al Afwu.Dalam syari’at terdapat ketentuan yang membahas Al Afwu, yaitu ketika berbicara pada masalah ijtihat, hubungan kesalahan yang dilakukan oleh seorang Mutjahid.

Al Afwu bias terjadi dengan cara ketika terjadi kesalahan dimanfaatkan secara ittifak, seperti karena lupa, salah dalam berijtihad, berbuat sesuatu yang tidak diinginkan dan tidak kuasa menolaknya memilih dalil yang bertentangan lalu salah dan berbuat sesuatu dihadapan orang yang mempunyai legitimasi terhadap hukum berbuat sesuatu, tetapi mereka tidak melarangnya.

Bagian keempat

Penutup

Tulisan ini tidak menyimpulkan karena memang masih berbentuk tawaran wacana yang perlu diuji secara ilmiyyah. Ijtihat yang penulis lakukan didasarkan pada ganjalan perasaan ketika memperhatikan masalah ini mengemuka apakah dalam perbincangan tidak formal maupun menelaah kitab Ushul Fiqh.

Misalkan tulisan ini perlu dipertimbangkan, maka mari kita mulai bismillah untuk menindaklanjuti dengan mengkaji nash nash dengan lebih seksama lagi, akan tetapi kalau tulisan ini salah dan tak berdasar kami berharap ada kritik pembenaran sehingga penulis tidak tennggelam secara berlarut larut terhadap masalah ini dan mampu memberikan kritik konstruktif dan rasional sehingga akan terselamatkan dari kesesatan


Abu Ishaq al Shatibi (w. 790 H/1388 M) merumuskan lima tujuan pembentukan hukum Islam, yaitu memelihara agama (din), memelihara jiwa (nafs), memelihara akal (aql), memelihara keturunan (nasl) dan memelihara harta (mal). Lima tujuan hukum Islam ini kemudian dikenal dengan istilah al maqashid al khamsah atau al maqashid al syari`ah.

Ciri-ciri baligh menurut para ahli di antaranya adalah:

a. menurut mayoritas/ jumhur ulama anak telah bermimpi sehingga mengeluarkan air mani احتلام, baik bagi laki-laki atau perempuan, (2) datangnya haid bagi anak perempuan, (3) usia anak telah genap mencapai umur 15 tahun

Lihat : Al Imam Jalaluddin al Mahaly dan Jalaluddin as Suyuthi, Tafsir al Qur`an al Karim, Juz I, Beirut: Daar al Fikr, 1998, halaman 98 dan Wahbah al Zuhayli,Ushul Fiqh al Islamy ., halaman 121

b. Imam Abu Hanifah memberikan batasan usia baligh minimal yaitu bagi laki-laki berumur serendah rendahnya 12 tahun ( kriteria baligh bagi laki-laki yaitu ihtilam (mimpi keluar mani dalam keadaan tidur atau terjaga), keluarnya air mani karena bersetubuh atau tidak, usia minimal 12 tahun dan atau menghamili ) dan bagi perempuan berumur usia 9 tahun ( usia wanita yang biasanya wanita sudah haid ) .

c. Menurut Imam Malik, batasan umur baligh bagi laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu genap 18 tahun atau genap 17 tahun memasuki usia 18 tahun. Tiga batasan baligh ini menggunakan prinsip mana yang dahulu dicapai atau dipenuhi oleh si anak ( al Qurtubi dan al Dardiri ) lebih terinci lagi Madzhab Malikiyyah memberikan kriteria baligh ada 7 macam. Yang 5 yaitu bagi laki-laki dan perempuan, sedangkan yang 2 macam khusus bagi perempuan. Kriteria baligh khusus bagi perempuan adalah (1) haid, dan (2) hamil. Sedangkan kriteria baligh yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan adalah (1) keluar air mani baik keadaan tidur atau terjaga, (2) tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan (3) tumbuhnya rambut di ketiak, (4) indra penciuman hidung menjadi peka, dan (5) perubahan pita suara. Apabila karena sesuatu hal sehingga kriteria baligh tersebut tidak muncul maka batasan usia yang dipakai adalah umur genap 18 tahun atau usia genap 17 tahun memasuki usia 18 tahun.

Lihat : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubhi, al Jami` li Ahkam al Qur`an, Jilid V, Beirut: Daar al Fikr, t.thn., halaman 37, Al Dardiri, al Syarh al Kabir Hasiyah Dasuki, Jilid III, Mesir: Al Babi al Halabi, t.thn., halaman 393 , Ibn Abidin, Hasyiyah Rad al Mukhtar `ala Dur al Mukhtar, Jilid V, Mesir: Al Babi al Halabi,nt.thn., halaman 107

Madzhab Syafi`iyyah berpendapat bahwa baligh bagi laki-laki dan perempuan dapat tercapai dengan (1) usia anak genap 15 tahun qomariyah, (2) atau keluarnya air mani bagi laki-laki atau perempuan, di usia yang memungkinkan yaitu minimal umur 9 tahun, (3) atau tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan. Madzhab Syafi`iyyah tidak sependapat kalau rambut di ketiak dijadikan sebagai dasar ukuran baligh seseorang. Sedangkan kriteria baligh khusus bagi perempuan yaitu (1) haid, dan atau (2) hamil.

Lihat : Abu Ishak as Sairozi, Al Muhadzab, Juz I, Mesir: Mathba`ah al Babi al Halabi., t.thn., halaman 330 , al Syarbini al Khatib, Mughni al Muhtaj Syarh al Minhaj, Juz II, Mesir: Mathba`ah al Babi al Halabi, t.thn., halaman 293.

Wahbah al Zuhayli menyimpulkan bahwa berdasarkan berbagai pendapat para ulama, maka terdapat lima criteria baligh. Yang tiga untuk laki-laki dan perempuan sedangkan yang dua khusus untuk perempuan. Yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan yaitu (1) keluarnya air mani, (2) tumbuhnya rambut kemaluan, dan (3) batasan usia tertentu, Sedangkan yang khusus perempuan yaitu (1) haid, dan (2) hamil.

Lihat : Wahbah al Zuhayli, al Fiqh al Islamy , Jilid V, halaman 423

Pertanggungjawaban dalam hukum Islam untuk berbuat dan memikul kewajiban menggunakan beberapa kriteria yaitu `aqil, baligh, mumayyiz, fahmul mukallaf dan ikhtiyar. Sedangkan untuk menerima hak seseorang hanya disyaratkan masih mempunyai nyawa, berlaku sejak berwujud janin di dalam rahim dengan mempertimbangkan kemanfaatan, kemaslahatan, dan keadilan. Penilaian terhadap kriteria tersebut menggunakan ciri-ciri fisik dan biologis seseorang.

Yang dimaksud dengan “خطاب الله” adalah dalil yang secara langsung datang dari Allah SWT yaitu Alquran, atau dalil yang datang dengan wâsithah (lantaran) seperti Sunah, Ijmak, Qiyas, dan dalil-dalil yang lain. Maka setiap satu dari dalil-dalil ini adalah hukum syar’î menurut ulama-ulama usul.

Yang dimaksud dengan “بالإقتضاء” adalah tuntutan (الطلب) untuk melakukan sesuatu, sama ada tuntutan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan.

Yang dimaksud dengan “بالتخيير” adalah kebolehan (الإباحة) antara melakukan atau meninggalkan sesuatu perbuatan dengan posisi yang sama.

Hukum ini disebut dengan wadl’I karena merupakan perantara antara dua hal dengan hubungan sebab, syarat, atau penghalang (mani’) yang telah ditetapkan syari’ (Allah). Artinya syari’ telah menetapkan bahwa ini menjadi sebab bagi ini, ini menjadi syarat bagi ini atau ini menjadi penghalang bagi ini. Dengan istilah yang lain, yang dimaksud dengan “بالوضع” adalah meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, sah, rusak, azîmah, atau keringanan pada sesuatu yang lain.



Orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa dan dipaksa untuk berbuat sesuatu. . Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW :

رفع القلم عن ثلاث : عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق

البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني ) (رواه

رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له ( رواه ابن ماجة والطبراني)

Masuk dalam kategori hokum wadl’I adalah pertama sebab ,yakni : sesuatu sifat yang yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Pengertian ini menunjukkan sebab sama dengan illat sekalipun memiliki perbedaan. Kedua Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada. Tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.Ketiga Mani’ (penghalang) yakni sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya,terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalang, Sebaliknya hokum tidak ada bila sebab, syaratnya dan penghalang tidak ada.



Penghalang kecakapan bagi mukallaf adalah segala sesuatu yang muncul kehadapan manusia, dan menghilangkan atau mengurangi kecakapannya, atau merubah ketetapan hukumnya. Penghalang taklif ada dua macam, pertama Penghalang sama’i adalah penghalang yang tidak diikhiarkan atau diupayakan oleh manusia. Macam penghalang sama’i ada sebelas macam, seperti gila, usaia anak-anak, hilang akal (bingung), lupa, tidur, ayan, budak, sakit, khaidl, nifas dan mati, kedua Penghalang kasbi, adalah penghalang kecakapan karena ucaha dan ikhtiyar yang dilakukan oleh manusia sendiri. Penghalang kasbi ada tujuh macam, ada yang melekat pada diri manusia itu sendiri, sepert bodoh, mabuk, sembrono, ediot, dan terlena, dan ada yang datang fihak lain, yaitu dipaksa berbuat sesuatu.

Dalam pengertian yang lain : Tindakan hokum akan dilarang untuk Mukallaf yang tidak cakap atas perbuatan hokum, seperti orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. , orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa. Mereka ini kalaupun bertindak dan berbuat atas nama hokum perbuatannya tidak dihitung.

[10] Syeih al Ka’bi mempermasalahkan taklif yang diskrimatif, yakni adanya tuntutan yang berat ( al Ma’mur bih wal Manhiy ‘anhu layim ) dan tuntutan yang ringan (al Ma’mur bih wal Manhiy ‘anhu ghairu layim ), Ulama’ yang hidup pada masanya menolak pendapat al Ka’by tersebut, tetapi mereka mempermasalahkan al Ibahah masuk ke dalam hokum taklif. Pada sisi lain perdebatan antara Syafi’I dan Hanafi tentang dalil qath’I dan dhanny menjadi pemicu terhadap pembagian hokum, yakni Imam Khanafi membedakan dalil dan akibat hukumnya, dalil qath’I berimplikasi pada ketetapan hokum fardlu dan haram, sedangkan hokum dhanny berimplikasi pada ketetapan hokum wajib dan makruh takhrim, sementara Imam Syafi’I tidak membedakan antara dalil qath’I dan dalil dhanny, sehingga antara fardlu dan wajib, dan antara haram dan makruh takhrim berimplikasi pada ketetapan hokum yang sama.

Ibahah dimasukkan dalam hukum taklifi karena dimutlakkan dan digolongkan secara istilah, bukan hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah: hukum takhyir/mubah hanya berlaku bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan hanya berlaku bagi orang yang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Inilah alasan mengapa takhyir/mubah dimasukkan dalam hukum taklifi, bukan berarti bahwa mubah itu adalah sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf.

Syeih al Ka’bi mempermasalahkan taklif yang diskrimatif, yakni adanya tuntutan yang berat ( al Ma’mur bih wal Manhiy ‘anhu layim ) dan tuntutan yang ringan (al Ma’mur bih wal Manhiy ‘anhu ghairu layim ), Ulama’ yang hidup pada masanya menolak pendapat al Ka’by tersebut, tetapi mereka mempermasalahkan al Ibahah masuk ke dalam hokum taklif. Pada sisi lain perdebatan antara Syafi’I dan Hanafi tentang dalil qath’I dan dhanny menjadi pemicu terhadap pembagian hokum, yakni Imam Khanafi membedakan dalil dan akibat hukumnya, dalil qath’I berimplikasi pada ketetapan hokum fardlu dan haram, sedangkan hokum dhanny berimplikasi pada ketetapan hokum wajib dan makruh takhrim, sementara Imam Syafi’I tidak membedakan antara dalil qath’I dan dalil dhanny, sehingga antara fardlu dan wajib, dan antara haram dan makruh takhrim berimplikasi pada ketetapan hokum yang sama.

Ibahah dimasukkan dalam hukum taklifi karena dimutlakkan dan digolongkan secara istilah, bukan hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah: hukum takhyir/mubah hanya berlaku bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan hanya berlaku bagi orang yang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Inilah alasan mengapa takhyir/mubah dimasukkan dalam hukum taklifi, bukan berarti bahwa mubah itu adalah sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf.

Imam al Ka’bi dan para pengikutnya : dalam hukum syara’ tidak ada sesuatu yang dibebaskan, apa-apa yang diperintahkan itu wajib dikerjakan. Mengerjakan suatu yang dimubahkan atrinya sama halnya dengan meninggalkan suatu yang diharamkan, yang berarti wajib.

tambahan Materi Ushul Fiqh I
Posted Oktober 27, 2010 * Comments(0)
Taklif dan Mukallaf (Pembebanan hukum terhadap manusia dari Allah)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat.
Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diingini.
Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah taklîf itu serta objeknya?
2. Apakah mukallaf itu serta bagaimana gambarannya?
3. Apakah filsafat dibalik wujudnya taklîf dan predikat mukallaf di dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pembahasan Taklîf
Sebelum membahas lebih dalam tentang taklîf, perlu diketahui bahwa pembahasan taklîf di sini adalah berkaitan dengan hukum. Maka dari itu, perlu diketahui bahwa pengertian hukum secara istilah menurut mayoritas ulama usul adalah:

“خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع”
“Kalam/Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf baik berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan), atau pilihan atau meletakan/menjadikan (suatu sebab atau penghalang bagi suatu hukum)”.

- Yang dimaksud dengan “خطاب الله” adalah dalil yang secara langsung datang dari Allah SWT yaitu Alquran, atau dalil yang datang dengan wâsithah (lantaran) seperti Sunah, Ijmak, Qiyas, dan dalil-dalil yang lain. Maka setiap satu dari dalil-dalil ini adalah hukum syar’î menurut ulama-ulama usul.
- Yang dimaksud dengan “بالإقتضاء” adalah tuntutan (الطلب) untuk melakukan sesuatu, sama ada tuntutan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan.
- Yang dimaksud dengan “بالتخيير” adalah kebolehan (الإباحة) antara melakukan atau meninggalkan sesuatu perbuatan dengan posisi yang sama.
- Yang dimaksud dengan “بالوضع” adalah meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, sah, rusak, azîmah, atau keringanan pada sesuatu yang lain.
Dari sini, hukum syar’i itu terbagi menjadi dua bagian: 1. Hukum Taklîfî, dan 2. Hukum Wadl’î.
Bagi yang pertama, yaitu hukum taklîfî: Secara bahasa, kata taklîf (تكليف) berasal dari fi’il mâdli “كلّف” yang memiliki makna “membebani”. Seperti contoh “كلّف زيد عمرا بالأمر” yang berarti “Zaid membebani Umar dengan sebuah perkara”. Maka kata “تكليف” berarti “pembebanan”.
Pengertian hukum Taklîfî secara istilah adalah:

“ما اقتضى طلب فعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل والكف عنه” “Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan”.

Contoh tuntutan melakukan perbuatan adalah ayat “أقيموا الصلاة” atau “كتب عليكم الصيام”. Sedangkan contoh tuntutan meninggalkan perbuatan adalah ayat “ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق” atau “حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير…”. Bagi contoh pilihan pula adalah ayat “فلا جُناح عليهما فيما افتدتْ به” atau “وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة”.
Hukum ini disebut sebagai hukum taklîfî adalah dikarenakan hukum ini memiliki pembebanan (تكليف) dengan melakukan atau meninggalkan atau pilihan dalam melakukan perbuatan tersebut.
Hukum taklîfî terbagi menjadi 5 jenis karena “خطاب الله” yang berupa tuntutan melakukan sebuah perbuatan itu terkadang ada yang tegas, maka hukumnya adalah al-Ijâb. Ada juga yang tidak tegas, maka hukumnya adalah al-Nadb. Tuntutan yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan seumpama ia tegas, maka hukumnya al-tahrîm. Akan tetapi kalau ia tidak secara tegas, maka hukumnya al-karâhah. Apabila “خطاب” itu menunjukkan pada kebolehan melakukan pemilihan, maka hukumnya adalah al-Ibâhah.
Sedangkan perkara-perkara yang dituntut untuk melakukannya atau meninggalkannya atau terdapat pilihan itu ada 5 jenis:
1. Al-Wâjib: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan itu mendapat pahala dari Allah SWT dan bila ditinggalkan berakibat dosa. Seperti contoh mendirikan solat lima waktu, membayar zakat, dan lain-lain.
2. Al-Mandûb: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan mandûb mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila ditinggalkan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menulis hutang-piutang, siwakan, dan lain-lain.
3. Al-Harâm: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan itu mendapat dosa dari Allah SWT dan bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Seperti contoh memakan harta riba, melakukan zina, dan lain-lain.
4. Al-Makrûh: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang yang meninggalkan perbuatan makrûh mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila dilakukan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menjatuhkan thalâq terhadap istrinya.
5. Al-Mubâh: Sebuah perkara yang oleh al-Syâri’ memperbolehkan terhadap mukallaf untuk memilih antara melakukannya atau meninggalkannya. Dengan gambaran orang yang melakukan atau meninggalkan perkara yang mubâh tidak diberi pahala maupun dosa. Seperti contoh diperbolehkannya berburu apabila telah selesai melaksanakan ibadah haji.
Bagian yang kedua dari hukum syar’î adalah hukum wadl’î. Menurut Wahbah al-Zuhaylî, Hukum wadl’î ialah “خطاب الله” yang turun untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, sah, rusak, ‘azîmah, dan keringanan.الخطاب” yang tumbuh yang berhubungan dengan pekerjaan orang mukallaf, tidak dengan tuntutan atau pilihan.
Perbedaan antara hukum taklîfî dan hukum wadl’î terdapat 3 poin:
1. Hukum taklîfî menghendaki terwujudnya pekerjaan yang dituntut untuk dilakukan dan menjauhkan diri dari yang terlarang atau memilih menurut keinginan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu perkara. Sedangkan hukum wadl’î tidak ada beban dengan tuntutan maupun pilihan, melainkan hukum wadl’î adalah memperhatikan tentang adanya ikatan atau kaitan antara suatu perkara dengan lainnya dengan menjadikan sebab, syarat atau pencegah baginya.
2. Yang dituntut dalam hukum taklîfî ialah sesuatu yang mampu dilakukan oleh mukallaf menurut ukuran normal, seperti mengerjakan ibadat, menulis, berjalan dan sebagainya. Sedangkan hukum wadl’î adalah sesuatu yang mampu atau tidak mampu dilakukan oleh mukallaf. Seperti contoh mencuri akan menyebabkan (مسبب) pada terpotongnya tangan, dan sifat kerabat menjadi sebab pada dapat menerima warisan.
3. Hukum taklîfî itu tidak ada hubungan kecuali dengan orang mukallaf. Sedangkan hukum wadl’î itu berhubungan dengan manusia, sama ada ia mukallaf atau tidak, seperti anak kecil dan orang gila. Seperti contoh sahnya jual-belinya anak kecil, dan tetapnya hutang bagi tanggungan orang gila maupun anak kecil.

B. Pengertian dan Pembahasan al-Mahkûm Fih
Al-Mahkûm Fih (obyek hukum syar’î) adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan khitâb al-Syârî’, baik tuntutan melakukan suatu perbuatan, memilih suatu pekerjaan, atau yang bersifat wadl’î (syarat, sebab, penghalang, sah, rusak, ‘azîmah, maupun rukhshah). Seperti contoh:
1. “أقيموا الصلوة وأتوا الزكوة”. Tuntutan kewajiban (إيجاب) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
2. “يآأيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلي أجل مسمى فاكتبوه”. Anjuran (ندب) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan menulis hutang piutang.
3. “فإذا قُضِيَتِ الصلاةُ فانتشروا في الأرض”. Kebolehan (إباحة) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan mencari rezeki.
4. “ولا تقتلوا النفس”. Larangan tegas (التحريم) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan membunuh.
Menurut para ulama Usul Fiqh, tuntutan Syârî’ tersebut dapat menjadi beban hukum (التكليف) jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. Seorang mukallaf telah mengetahui secara sempurna terhadap hukum Syârî’ yang berkaitan dengan perbuatan yang akan dilakukannya sehingga tujuannya dapat dipahami dengan jelas dan dapat dilakukannya.
2. Seorang mukallaf telah mengetahui dengan baik dan benar terhadap sumber taklîf suatu perbuatan yang akan dilaksanakannya sehingga pelaksanaan perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap tuntutan Allah SWT.
3. Perbuatan tersebut mungkin untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh seorang mukallaf. Dalam hal ini, perbuatan tersebut dibagi menjadi 3 ketentuan:
a. Tidak sahnya al-taklîf dengan sesuatu yang mustahil menurut mayoritas ulama, sama ada mustahil tersebut dengan cara penalaran pada zatnya atau penalaran pada selain zatnya.
Ø Contoh penalaran pada zatnya: mengumpulkan antara dua perkara yang berlawanan dalam satu taklîf, Seperti terdapat sebuah perbuatan yang ada dua ketentuan hukum pada waktu bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama; yaitu wajib dikerjakan dan pada saat yang sama haram dikerjakan.
Ø Contoh penalaran pada selain zatnya: Sesuatu yang dapat digambarkan oleh akal wujudnya, akan tetapi tidak pernah berlaku secara adat. Seperti manusia bisa terbang layaknya burung.
Kedua jenis mustahil ini itu tidak sah adanya taklîf, karena Allah SWT sendiri menyatakan bahwa taklîf terhadap sesuatu yang tidak bisa dikerjakan itu tidak ada.
b. Tidak sahnya seseorang menunaikan kewajiban yang di-taklîf-kan kepada orang lain untuk dan atas nama orang tersebut, karena ini adalah sesuatu yang tidak mungkin yang mana dikatagori sebagai taklîf dengan sesuatu yang tidak kuasa. Oleh sebab itu, seseorang tidak dibebani melakukan sholat untuk saudaranya. Akan tetapi, disini ada beberapa pengecualian seperti melakukan haji untuk orang lain sebagai wakil, dengan syarat ia sudah pernah melakukan haji, dan menurut sebagian syâfi’iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengizinkan menganti puasa orang lain berdasarkan hadits “من مات وعليه صيام صام عنه وليه”.
c. Tidak sah menurut syara’ membebankan perbuatan yang bersifat jibilliyyah/fithriyyah, di mana manusia tidak turut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiyâr), seperti sikap marah, benci, takut, gembira, kasih sayang, cinta, gairah makan dan minum. Perbuatan-perbuatan tersebut bukan lah bersifat ikhtiyâri dan kehendak manusia. Oleh sebab itu tidak ada taklîf bagi perbuatan seperti itu. Ini didasari doa Rasulullah SAW “اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ , فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ”. Maka adil mencintai istri-istri (bagi lelaki yang berpoligini) itu bukanlah sebuah kewajiban. Apabila ada nash yang menyuruh sesuatu seperti di atas, maka nash itu dipalingkan dari makna zahirnya kepada sebab dan akibat. Seperti ayat “ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون”. Secara zahir, ayat ini menyuruh untuk tidak mati pada saat masih kafir, akan tetapi, ini bukanlah sesuatu yang mampu bagi manusia. Maka yang diingini dari ayat ini adalah untuk memeluk Islam sebelum datangnya kematian.
Dari syarat-syarat di atas, mucul sebuah persoalan lain yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklîf. Apakah sah sebuah taklîf dengan amal yang berat? Dari sini ulama membagi masyaqqah kepada dua bentuk, yaitu al-masyaqqah al-mu’tâdah dan al-masyaqqah ghair al-mu’tâdah.
1. al-Masyaqqah al-Mu’tâdah: Sebuah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudaratan baginya. Masyaqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’. Hal ini biasa terjadi karena seluruh perbuatan dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Contohnya: mengerjakan solat itu bisa melelahkan badan, berpuasa itu menimbulkan rasa lapar, dan menunaikan ibadah haji itu menguras tenaga. Kesulitan seperti ini, menurut para ahli usul fiqh, berfungsi sbagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan taklîf syara’. Dengan demikian, masyaqqah seperti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklîf syara’.
2. al-masyaqqah ghair al-mu’tâdah: Suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, dan akan merusak jiwanya bila dipaksakan. Hal itu terjadi, biasanya apabila melebih-lebihkan perbuatan yang sebenarnya bermanfaat. Taklîf seperti ini mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam syariat. Allah tidaklah menuntut kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan dan kemudaratan. Seperti melakukan puasa terus-menerus tanpa berbuka, dan mewajibkan diri untuk sentiasa bangun solat malam. Adapun dalil yang dikemukakan ulama adalah ayat-ayat yang berbicara tentang menghilankan kesulitan dan kesempitan dalam syara’: “وما جعل عليكم في الدين مِنْ حرج”, “يريد الله أن يُخفِّف عنكم وخلق الإنسان ضعيفا” dan “يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر”. Terdapat lagi dalil-dalil seperti hadits Nabi Muhammad SAW dan fasilitas rukshah yang terdapat di dalam syariat Islam seperti jama’ dan qashor untuk mendukung penolakan terhadap pemberatan.
C. Pengertian dan Pembahasan Mukallaf
Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk ism al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan. Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani.
Secara istilah, mukallaf adalah:

“الإنسان الذي تعلق بفعله خطاب الشارع أو حكمه”
“Seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau hukumnya”.

Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklîfî yang sudah diterangkan.
Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah akal (العقل) dan pemahaman (الفهم). Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:

“رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق (رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني )”
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”
“رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له (رواه ابن ماجة والطبراني)”
“Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.

Dari sini, ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:
1. Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin (محال). Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (الإدراك). Hanya saja akal itu adalah sebuah perkara yang abstrak (الخفية). Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu sifat baligh seseorang. Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas.
2. Seseorang telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum (أهلية).
Secara istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai:

“صلاحية الإنسان لاستحقاق الحقوق وأداء التصرفات”
“Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi”.

Dari sini, ulama membagi sifa ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujûb dan Ahliyyah Adâ`. Definisi Ahliyyah Wujûb adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh kewajiban. Dasar adanya kecakapan ini adalah adanya kehidupan / nyawa (وجود الحياة).
Kecakapan semacam ini menurut ulama Fiqh disebut “ذمة”, yaitu suatu sifat yang secara hukum menjadikan seseorang dapat bertindak dan menerima kewajiban tertentu. Untuk menentukannya adalah berdasarkan sifat kemanusiaannya (إنسانية) yang tidak dibatasi umur, baligh atau tidak, cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat kecakapan ini. Kecakapan ini akan hilang apabila nyawanya hilang atau meninggal dunia.
Para ulama usul fiqh membagi Ahliyah al-Wujûb ini menjadi dua bagian:
1. Ahliyyah al-Wujûb al-Nâqishah (أهلية الوجوب الناقصة), yaitu: ketika seseorang masih berada di dalam kandungan ibunya. Janin dianggap memiliki Ahliyyah al-Wujûb yang belum sempurna karena hak-hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi miliknya secara sempurna sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat. Terdapat empat macam hak seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
a. Hak keturunan ayahnya.
b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
c. Wasiat yang ditujukan kepadanya.
d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
2. Ahliyyah al-Wujûb al-Kâmilah (أهلية الوجوب الكاملة), yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan berakal walaupun masih kurang sempurna. Pada periode ini, seseorang telah menerima kewajiban-kewajiban tertentu, seperti kewajiban untuk menjaga harta orang tuanya, kewajiban agama yang berkaitan dengan hartanya seperti zakat, dan kewajiban membayar ganti rugi yang diambil dari hartanya apabila ia telah merusakkan harta orang lain.
Ahliyyah al-`Adâ` adalah sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung-jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia melakukan perbuatan yang dituntut al-Syâri’ maka ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan berhak mendapat pahala, sedangkan apabila ia melakukan perbuatan yang dilarang al-Syâri’ maka ia dianggap telah melanggar kewajiban dan mendapat dosa. Dasar adanya kecakapan ini adalah “تمييز”, yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk dan yang bagus dan yang jelek.
Ahliyyah al-`Adâ` juga terbagi menjadi dua:
1. Ahliyyah al-`Adâ` al-Nâqishah (أهلية الأداء الناقصة) yaitu, ketika seseorang masih kecil sampai dengan mencapai masa baligh dan berakal secara sempurna. Pada periode ini tindakan atau perbuatan hukum seseorang dalam hal-hal tertentu dianggap sah, seperti transaksi-transaksi yang semata-mata menguntungkan.
2. Ahliyyah al-`Adâ` al-Kâmilah (أهلية الأداء الكاملة) yaitu, periode di mana seseorang telah baligh dan berakal sempurna. Pada periode ini seluruh tindakan atau perbuatan hukum seseorang harus dipertanggung jawabkan, baik melaksakan tuntutan Syari’ maupun meninggalkan tuntutan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Transaksi-transaksi yang dilakukannya juga mengikat secara sempurna. Perpindahan seseorang dari periode sebelumnya menuju periode ini ditandai secara fisik, bagi laki-laki apabila telah mimpi basah dan bagi wanita apabila telah haid.
Terkadang, beberapa penghalang dapat menghilangkan, mengurangi, atau merubah hukum-hukum ahliyyah (أهلية). Penghalang ini dibagi menjadi dua:
1. ‘Awâridl Samâwiyyah (عوارض سماوية) yaitu, halangan kecakapan yang datangnya dari Allah, seperti gila, dungu, sakit keras yang berakibat kematian, dan lupa.
2. ‘Awâridl Muktasabah (عوارض مكتسبة) yaitu, halangan kecakapan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, khilaf, bodoh, dan berada di bawah pengampuan.
Sedangkan dilihat dari segi obyeknya, maka halangan kecakapan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk:
1. Halangan kecakapan yang mengakibatkan kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء) akan hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.
2. Halangan kecakapan yang dapat mengurangi kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti dungu.
3. Halangan kecakapan yang dapat mengubah sebagian kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti orang yang berhutang, pailit, di bawah pengampuan, khilaf, dan tolol.

D. Filsafat di balik Taklîf dan Mukallaf di dalam Islam
Seorang ulama yang digelar sebagai bapak kepada Filsafat Tasyrî, yaitu Imam Abu Ishâk al-Syâthibî; berpendapat bahwa tujuan dari peletakan syari’at adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari dorongan hawa nafsu, sehingga ia menjadi hamba Allah dengan kamauannya sendiri.
Adapun dalil yang mendukung pendapat ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa sesungguhnya hamba itu diciptakan untuk menyembah Allah, serta terkandung dalamnya adalah perintah Allah dan larangannya. Seperti contoh ayat “وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون”, dan “وَأْمُرْ أَهْلَكَ بالصلوة وَاصْطَبِرْ عليها لا نَسْئَلُكَ رزقا نحن نرزقك”, dan lain-lain. Banyak juga dalil yang mencela orang yang berpaling dari perintah Allah.
Pendapat ini didasari juga dengan bukti ayat-ayat Alquran yang memberi kesimpulan bahwa wahyu dan nafsu itu bertentangan. Maka mengikuti hawa nafsu itu berlawanan dengan kebenaran. Dasar yang diambil adalah “يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكُمْ بين الناس بالحق ولا تَتَّبِعِ الْهوى فَيُضِلَّكَ عن سبيلِ الله”. Karenanya inilah, tidak boleh seseorang mengatakan bahwa hukum Islam dibuat sesuai dengan keinginan hawa nafsu, karena prinsip utama hukum-hukum syara’ adalah wajib, ataupun haram. Prinsip dasar ini bertentangan dengan hawa nafsu. Hukum Islam dibuat untuk kemaslahatan hamba, maka kemaslahatan itu kembali kepada hamba menurut ukuran syara’ dan kemaslahatan itu semuanya kembali kepada si mukallaf baik di dunia maupun di akhirat.
Dari sinilah hamba diuntut untuk mematuhi hukum syari’at, karena tujuannya adalah kebaikan bagi hamba itu sendiri, yaitu kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Maka kesimpulan lain dari sifat taklîf ini adalah adanya hukum yang ditetapkan untuk dipatuhi mukallaf haruslah sesuatu yang dapat dilakukan atau mampu dilakukan (القدرة). Ini diaplikasikan ulama usul fiqh dengan kaedah syarat hukum taklîf yang ada di bab al-mahkûm fîh seperti yang telah diterangkan di atas.
Menurut al-Syâthibî, ayat-ayat yang menuntut sebuah pekerjaan yang tidak mungkin untuk dilakukan (ما لا يطاق) haruslah dirujuk pada perbuatan yang maqdûr yang mendahului (سابق), atau yang menyusul (لاحق), atau terjadi serentak (قارن). Contohnya ayat “ولا تَمُوْتُنَّ إلا وأنتم مسلمون” yang mana secara zahir, ayat ini menyuruh untuk tidak mati pada saat masih kafir, akan tetapi, ini bukanlah sesuatu yang mampu bagi manusia. Maka yang diingini dari ayat ini adalah untuk memeluk Islam sebelum datangnya kematian.

BAB III
KESIMPULAN

1. Hukum taklîfî itu berarti pembebanan terhadap mukallaf dengan menuntut sebuah perbuatan darinya, sama ada melakukan, memilih atau larangan; yang mana ia memiliki 5 jenis hukum, yaitu wajib, sunnah, mubâh, makrûh, haram.
2. Al-Mahkûm fîh memiliki arti perbuatan mukallaf yang dikenai tuntutan Allah sama ada ia berupa hukum taklîfî ataupun wadl’î dengan beberapa syarat yang telah ditentukan, salah satu darinya adalah sebuah perbuatan yang mampun untuk dilakukan mukallaf.
3. Mukallaf adalah seorang manusia yang memiliki akal, serta faham akan “خطاب الله” yang mana ketentuan perbuatannya ditentukan Syâri’ dari segi hukumnya.Filsafat dari hukum taklîf adalah bertujuan untuk mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsu menuju pada kepatuhan terhadap Allah SWT demi kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
ylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 37; al-Amidî, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005) Juz 1, 84; Khalîl Kaikaldî al-‘Alâ`î, al-Majmû’ al-Mudzhabi fî Qawâ’id al-Madzhab (Mekah: al-Maktabah al-Makiyyah, 2004) Juz 1, 25.

Surabaya: Pustaka Progressif, 2002) 1225.
al-Fikr, 2001) Juz 1, 42.




l-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 93.

2001) Juz 1, 43.

l tersebut dengan cara penalaran pada zatnya atau penalaran pada selain zatnya). Pendapat mereka ini didasari pada argumen: Sumpama tidak sah taklîf dengan sesuatu yang tidak mampu itu pasti tidak terjadi secara realita. Akan tetapi, realitasnya memang terjadi; seperti taklîf beriman untuk orang yang inkar, contohnya Abu Jahal. Dalam kasus ini menurut mereka, Allah sudah mengetahui bahwa mereka tidak akan beriman, dan Abu Jahal tidak akan pernah menyatakan beriman dan membenarkan Rasul. Bila Allah tidak mengetahuinya, berarti Allah itu tidak mengetahui. Maka ini adalah mustahil. Lihat: Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 136.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 295.
qih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 326.
lam Islam, baca di bab Filsafat taklîf dan mukallaf di dalam Islam.

Bandung: Pustaka Setia, 2007) 334; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 304.
Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005) Juz 1, 130; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 335; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 305.


Bandung: Pustaka Setia, 2007) 341; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 309; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 58.

Bandung: Pustaka Setia, 2007) 341; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 310; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 59.
, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 340; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 308; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 59.
qh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 158; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 60.
Bandung: Pustaka Setia, 2007) 343; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 311; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 60.
159; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 343; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 312; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 61.
qât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 318.


a. ng penetapannya disandarkan atas Al Qu’an dan Sunnah, dan Qiyas yang memiliki fungsi memperjelas dan mempertegas posisi hukum yang didasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar