KEBERSAMAAN DALAM SATU TUJUAN

Minggu, 19 Juni 2011

KARYA PAK LISIN BAGIAN 4

DIKTAT SEDERHANA
USHUL FIQH I
DIPERGUNAKAN UNTUK BAHAN KULIAH
PROGRAM STRATA -1 ( S -1 )
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM WALISEMBILAN SEMARANG ( SETIA WS )
DISUSUN OLEH
MUHLISIN BISYRI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM WALISEMBILAN SEMARANG ( SETIA WS )
JLN. KI MANGUNSARKORO 17 TELP. ( 024 ) 8453963 SEMARANG,
SILABUS USHUL FIQH
SETIA WALISEMBILAN SEMARANG
Mata Kuliah : Ushul Fiqh Kode Mata Kuliah : INS.201
Komponen : MKDK PT : SETIA WS
Jurusan : PAI Konsentrasi : Pendidikan Fiqh.
Program : S1 Bobot : 3 / 6 SKS
I. Tujuan
Agar Mahasiswa mengetahui dan memahami Ushul Fiqh sebagai alat untuk mengistinbathkan hukum dari Qur’an dan Hadits dengan menggunakan kaedah kaedahnya.
II. Topik Inti
a. Mukaddimah
Pengertian Obyek, tujuan, ruang lingkup ( sistematika ), sumber, perbandingan dan perbedaannya dengan Fiqh dan qaedah fiqh
Sejarah dan dan perkembangan Ushul Fiqh, periodeisasi zaman Nabi, shahabat dan Tabi’in, munculnya Ushul Fiqh, aliran aliran dan karya ilmiyah.
b. Hukum Syara’
Al Hakim
Mahkum Fihi
Mahkum ‘Alaih
Rukhsah dan Azimat
Sihhah, Fasid, dan Buyhlan
c. Sumber-sumber Hukum Islam
 Sumber-sumber Hukum yang disepakati
Al Qur’an
Al Hadist
Al Ijma’
Al Qiya
 Sumber-sumber hukum yang diperselisihkan
Al Istikhsan
Istish-hab
Al Istihhlah
Al Urf
Sadz Al Dzari’ah
Ushul Fiqh II :
A. Methode Ijtihad.
a. Ijtihad, pengertian, dasar hukum, kedudukan, dan fungsi. Obyek, macam amacam ijtihad, syarat syarat Mujtahid, dan tingkat ijtihad.
b. Istikhsan, Istishab, dan Istislakh
c. Al Urf, Sadz al Dzari’ah, Syar’u Man Qablana, dan Qaul Shhaby
B. Qaedah – qaedah Ushuliyyah
d. ‘Am- Chos dan Amr – Nahi
e. Muthlak – Muqayyad dan Mujmal – Mubayyan
f. Manthuk – Mafhum, Dzahir – Muawwal
g. Nasakh, Muradif, dan Musytamal.
C. Ta’arudl al Adillah dan cara penyelesaiannya
h. Ta’arudl al Adillah : pengertian dan macam-macamnya.
i. Cara penyelesaiannya : Al ‘ Arudl, dan Nasakh- Mansukh.
d. Referensi :
- Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1997
- Wahbah al Zuhaily, Ushul Fiqh
- Abu Zahrah, Ushul Fiqh
- Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh
- TH. Hasby al Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam I, II
- Khudari Bik, Ushul Fiqh
U S H U L F I Q H
- Pengertian
Ushul Fiqh merupakan kalimat yang berbentuk Murokab Idhofi (dua kalimat yang terangkai dan masing-masing mempunyai fungsi maknawi) yang kemudian menjadi nama sebuah disiplin Ilmu tertentu. Masing-masing kata dari istilah Ushul Fiqh tersebut diatas akan kami uraikan sebagai berikut :
1. Al Ushul : Jama’ dari kata Al Asl yang berarti dalil. Kemudian setelah dikaitkan dengan Fiqh, maka Al Ushul diartikan sebagai berikut :
ما بني عليه غيره ( الفقه )
“Adalah ilmu yang menjadi dasar berpijak bagi penetapan hukum dalam ilmu yang lain (Fiqh)”.
Selanjutnya Syeh Kamaluddin, mendefinisikan Al Ushul :
الأصول هو إدراك القواعد التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام
Al Ushul adalah rumusan dari beberapa kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan hukum Fiqh.
2. Al Fiqh :
هو العلم والفطنة وفهم الأشياء مطلقا
Fiqh adalah pengetahuan, kecerdasan, dan Memahami sesuatu secara Mutlak.
الفهم العميق النافذ الذي يتعرف غايات الأقوال والأفعال
Adalah memahami secara menyeluruh dan mendetail sampai pada tingkat mengenali terhadap makna ucapan dan perbuatan.
Firman Allah :
فما لهؤلاء القوم لا يكادون يفقهون حديثا ( النساء : 78 )
Artinya : “Maka mengapa Orang itu (Orang Munafiq) hampir tak memahami pembicaraan”.
ولقد ذرأنا لجهنم كثير من الجن والإنس ، لهم قلوب لا يفقهون بها - الأية \ الأعراف : 178 )
Artinya : “Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari Jin dan Manusia, mereka mempunyai hati. Tetapi tidak dipergunakan untuk memahami. (ayat-ayat Allah)”.
Dan sabda Nabi Muhammad SAW :
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Artinya : “Barang siapa Allah menghendaki kepadanya kebaikan, maka Allah akan memahamkannya dalam agama”.
Kemudian para Ulama Fiqh mendefinisikan sebagai berikut :
a. Menurut Ibnu Kholdun :
الفقه : معرفة أحكام الله تعالى في أفعال المكلفين بالوجوب والحظر والندب والكراهة والإباحة ، وهي متعلقات من الكتاب والسنة وما بصه الشارع لمعرفتها من الأدلة ، فإذا استخرجت الأحكام من تلك الأدلة ، قيل لها ” الفقه ”
Adalah mengetahui Hukum-hukum Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan orang Mukallaf tentang hukum wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Yang diperoleh dari Al Kitab dan Al Sunnah dan dalil-dalil yang ditetapkan oleh syara’ untuk mengetahui hukum tersebut, maka apabila dalil menetapkan suatu hukum, hasil ketetapan disebut Fiqh.
b. Menurut Sayyid Al Jurjani
الفقه : العلم بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصلية ، وهو علم مستنبط بالرأي والإجتهاد ويحتاج إلى النظر والتأمل
Adalah ilmu tentang Hukum Syara’ yang bersifat praktis (amali) yang didasarkan atas dalil secara terperinci. Adalah ilmu yang digali melaui pencurahan daya fikir dan kekuatan berijtihad secara mendalam. Kajian yang bersifat praktis yang masuk dalam koridor Ilmu Fiqh meliputi pekerjaan hati, seperti Niat dan Tamakninah dalam ibadah dan pekerjaan fisik, baik yang berbentuk ucapan maupun pekerjaan anggota badan.
Sedangkan ilmu syari’at yang dimaksud dalam definisi tersebut diatas menatikan terhadap kajian akidah, seperti wahdaniyatullah dan lain-lain yang akan dibahas dalam kajian ilmu lain.
3. Ushul Fiqh :
Dari uraian dua pengertian Ushul dan Fiqh diatas, maka Ushul Fiqh dapat didefinisikan sebagai berikut :
a. arti Lughat
هو ما يبنى عليه الفقه
Adalah ilmu yang dijadikan sebagai pijakan dalam membangun ilmu Fiqh.
b. Menurut para ahli Ushul Fiqh
هو العلم بالقواعد التي ترسم المناهج لإستنباط الأحكام العملية من أدلتها التفصلية
Adalah ilmu tentang kaidah yang dijadikan sebagai landasan berpijak bagi proses penetapan hukum praktis yang gali dari sumber hukumnya secara terperinci.
Contoh :
• Sholat itu hukumnya wajib, atas dasar ayat :
وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة ( النساء :77 )
Artinya : “Dirikanlah sholat dan tunaikan zakat”.
• Dan jual beli itu halal, riba itu haram atas dasar dalil :
وأحل الله البيع وحرم الربو ( البقرة : 275 )
Artinya : “… padahal Allah telah menghalalkan jual eli, dan mengharamkan riba”.
• Amar itu menunjukkan suatu hukum wajib, apabila tidak disertai dengan illat yang menghapus kewajiban amar tersebut.
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكاهم بها … الأية – النوبة : 103 )
Artinya : “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersikan dan mensucikan mereka”.
• Dan Nahi itu menunjuk pada perbuatan yang haram dikerjakan selagi tidak terdapat qarinah yang menghlangkan keharaman nahi tersebut.
… لا تأكل أموالكم بينكم بالباطل … الأية – النساء : 29 )
Artinya : “… janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathal”.
B. Obyek Kajian
1. Ushul Fiqh
Obyek kajian Ushul Fiqh sebagai berikut :
a. Menjelaskan metode penetapan Hukum Syara’ atas dalil.
b. Menjelaskan tingkat kehujjahan dalil.
c. Menjelaskan pengunaan tingkat prioritas dalil
d. Menjelaskan penetapan hukum atas dasar dalil, ketika terjadi pertentangan dalil menurut dhohirnya Nash.
2. Fiqh
Objek kajian Ilmu Fiqh sebagai berikut :
a. Ilmu tentang Hukum Syara’ yang bersifat praktis.
b. Ilmu tentang dalil yang bersifat tafsili (rincian) atas tiap-tiap permasalahan.
C. Buah mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh
Untuk mengetahui buah mempelajari Ushul Fiqh harus terlebh dahulu mengetahui pada keterkaitan kajian Ushul Fiqh dan Fiqh, yakni Ushul Fiqh merupakan mizan (Barometer) bagi para ahli Fiqh dalam penetapan hukum agar tidak terjadi kesalahan. Ketika Ushul Fiqh mengkaji tentang metode penetapan hukum dan Fiqh mengkaji tentang hukum, maka buah mempelajari ilmu Ushul Fiqh adalah Ketetapan Hukum Syara’.
D. Perbedaan Ushul Fiqh dan Qowaidul Fiqhiyyah
Perbedaan kajian Ushul Fiqh dan Qowaidul Fiqhiyyah dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini :
a. Ushul Fiqh mengkaji tentang metode yang dijadikan sebagai patokan para ahli fiqh dalam menetapkan hukum syara’ dengan cara menetapkan kaidah yang dijadikan pijakan dari kesalahan penetapan.
b. Qowaidul Fiqhiyyah mengkaji tentang kumpulan beberapa hukum yang memiliki kesetaraan illat yang didasarkan pada qiyas yang serupa dalam masalah-masalah fiqhiyyah.
Contoh :
Salah satu illat hukum adalah Niat, maka hukum beberapa permasalahan akan dilihat niatnya :
• Wudlu, Mandi, Puasa, dan Sholat.
• Wati pada istri, tetapi ragu dan mempunyai anggapan bahwa yang diwati adalah orang lain.
• Makan dan minum, antara pemenuhan kebutuhan dan niat ibadah.
• Memeras anggur, antara membuat Khomer dan Coka.
• Mendiamkan isrti, antara memberi pelajaran dan sentimen.
• Mengambil harta milik penghutang, antara mencuri dan menarik bayaran.
• Talak kinayah, antara niat dan tidak diniatkan.
E. Sumber Ushul Fiqh
Dalam menetapkan Hukum Syara’, dalil yang dipergunakan oleh para ahli Ushul Fiqh adalah firman Allah yang tercermin dalam Kitabullah dan Sunnah Rosululloh SAW. Dan segala konsekuesi emplementasinya. Jadi secara tegas boleh dikatakan, bahwa dari segala penetapan Hukum islam adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sumber tertingi dalam penetapan Hukum Islam
F. Fase Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh dari masa nabi sampai sekarang dan penonjolan-penonjolan tokoh tertentu pada masa tertentu.
Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam sejak zaman Rosulullah s.a.w sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman Rosulullah s.a.w. sumber hukum islam hanya ada dua , yaitu Al-Quran dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rosulullah menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya yang kemudian dikenal dengan Hadits atau Sunnah yang secara otomatis sunnah ini sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat islam. . Hal ini dapat diketahui melalui sabda Rosulullah s.a.w :
انما انا بشر اذا امر تكم بشئءمن دينكم فخذوا به واذا امر تكم بشئ من راءي فانما انا بشر ( رواه مسلم عن رافع ابن خديح )
“Sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia, dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia (biasa)” ( HR. Muslim dari Rafi’I ibnu khudaij )
Rosulullah s.a.w juga menggunakan qiyas dalam menjawab berbagai pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar ibnu al-Khathab tentang batal – tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Ketika itu beliau bersabda :
ارايت لو تمضمضت وانت صا ئم ؟ قلت : لا باءءس به . قال: فصمه ( رواه البخاري و مسلم وابو داود )
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal ? Umar menjawab, tidak apa-apa (tidak batal) Rosulullah s.a.w kemudian bersabda, maka teruskan puasamu” (HR. Al Buchori, Muslim, dan Abu Dawud )
Fase pasca Rasulullah, para shahabat mengikuti cara Rasul dalam menentukan hokum atas kasus yang tidak ada ketentuannya dalam al – quran dan as- Sunnah. Cara-cara Rosulullah s.a.w dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit asal muasal munculnya ilmu ushul fiqh, karenanya para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh ada bersamaan dengan haditsnya ”Fiqh” yaitu sejak zaman Rosulullah s.a.w. Di zaman para sahabat, karena wahyu dan sunnah rosul tidak ada lagi, sementara persoalan yang dihadapi semakin berkembang, maka ketetapan hokum didasarkan pada ijtihad. Mujtahid yang termashur di zaman sahabat tersebut diantaranya : Umar ibn al khothab, ‘Ali ibn Abi Thalib, dan Abdullah ibn Mas’ud. Dalam berijtihad, Umar ibn al-khathab seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibanding sekedar menerapkan nash secara zhahir, sementara secara hukum tidak tercapai. Sedang Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu dengan meng-qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamr dengan hukuman orang yang melakukan qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
Perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas bersamaan dengan Semakin meluasnya syi’ar islam dan bertebarnya para sahabat di berbagai daerah yang berbeda kultur, ini mempengaruhi para sahabat dalam menetapkan hukum. Akibatnya dalam kasus yang sama, hukumnya akan berbeda bila beda daerahnya.
Di zaman tabi’in, permasalahan hukum yang munculpun semakin kompleks, para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah islam, sehingga bermunculan fatwa yang berkaitan persoalan-persoalan baru, misalnya di Madinah, sebagaimana yang dikemukakan Said ibn Al-Musayyab. Di Irak muncul Al Qomah ibn Waqqos, Al-Laits dan Ibrahim al-Nakha’i. Di Basrah muncul pula mujtahid dikalangan tabiin, seperti Hasan al Bashri.
Titik tolak para ulama tersebut dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari sudut maslahat, sedangkan ulama ushul fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi, mereka berusaha mencari berbagai illat-nya, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya. Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits rasul s.a.w karena mereka dengan mudah dapat melacak sunah Rosulullah s.a.w di daerah tersebut. Di sinilah awal perbedaan dalam mengistimbatkan hukum dikalangan ulama fiqh. Akibatnya muncul 3 kelompok ulama yaitu Madrasah al-Irak, Madrasah al-Kufah, dan Madrasah al-Madinah. Selain itu muncul para imam mujtahid, khususnya imam Madzab yang empat yaitu:
1. Nu’man ibn al Tsabit yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifaah (80-150 H/699-767 M)
2. Malik ibn Anas yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93 –179 H/ 712 – 795)
3. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al- Syafi’I (150 – 204 H/767 – 820 M)
4. Imam Ahmad ibn Hambal (164 –241 H/780 –855 M)
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri-sendiri sehingga terlihat dengan jelas perbedaan antara satu imam dengan imam lainnya dalam mengistimbatkan hukum dari al-Quran dan sunnah.
Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistimbatkan hukum sebagai berikut; al-quran; sunah; fatwa yang dilandaskan atas kesepakatan Para sahabat ; fatwa para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka; qiyas; dan istihsan.
Imam Malik, di samping kepada al-qur’an, sunnah, juga mengistimbatkan hukum berdasarkan amalan penduduk madinah . akan tetapi imam Malik juga banyak menolak mengamalkan sunnah, apabila terjadi pertentangan sunnah di maksud dengan al-quran (amal ahlal madinah).
Imam al-Syafi’i dengan metode –metode ijtihadnya dan sekaligus buat pertama sekali membukukan ilmu ushul fiqih yang dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqih yang disusun oleh imam al-Syafi’i tersebut bernama al-Risalah. kitab ini disusun berdasarkan khazanah fiqih yang di tinggalkan para sahabat, tabiin,dan imam-imam mujtahid sebelumnya. Imam Syafi’i berupaya untuk mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi antara ahlal-hadits yang bermarkas di madinah ahlal-ra’yi di Irak. Imam al-Syafi’i berusaha mengkompromikan pandangan kedua aliran tersebut, serta menyusun teori – teori ushul fiqihnya. Imam al–Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang sahih dan pendapat yang tidak sahih di dalam kitabnya al-Risalah, setelah melakukan berbagai analisis terhadap dua aliran tersebut dia membuat teori ushul fiqh, yang dijadikan patokan umum dalam mengistimbatkan hukum, untuk generasi berikutnya.
Kitab al-Risalah ini pada masa sesudah imam al-Syafi’i menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk syarh (menjelaskan), tanpa mengubah atau mengurangi apa yang ada dalam kitab tersebut. Juga ada yang melakukan secara analisis terhadap pendapat teori imam al-Syafi’i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori imam al-Syafi’i dan terkadang mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan pendapat imam al-Syafi’i. Misalnya, ulama ushul fiqh dari kalangan hanafi mengetahui teori-teori ushul fiqih imam al-syafi’I, tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan urf dalam mengistimbatkan hukum.
Ulama ushul fiqh Malikiyyah juga melakukan hal yang sama yaitu menambahkan ijma’ ahl al-madinah (kesepakatan penduduk madinah), karena status ijma’ al-Madinah menurut mereka merupakan sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rosulullah s.a.w. sampai ke zaman mereka. Di samping itu ulama ushul fiqh malikiyyah juga menambahkan metode istihsan, mashlahah mursalah (keduanya di tolak imam al- Syafi’i) dan metode sadd al-dzariah.
Para imam mazhab dari keempat mazhab tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang dikemukakan imam al-Syafi’i, yaitu al-quran, sunah, ijma’ dan qiyas, tetapi masing-masing mazhab menambahkan metode istimbhat hokum lainnya, seperti yang di kemukakan di atas.
Dalam analisa para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti Husain Hamid Hasan, “dari berbagai metode yang dikemukakan para imam mazhab diatas, ulama ushul fiqh syafi’iyah (para pengikut imam al syafi’i ) ternyata menerima metode Urf , maslahah mursalah dan sadd al zari’ah. Akan tetapi, mereka menolak metode istihsan dan ijma’ ahl al-Madinah karena dipandang tidak dapat dijadikan sebagai salah satu metode dalam mengistimbatkan hokum islam.
Terlepas dari perbedaan pendapat kalangan ushul fiqh (termasuk dikalangan imam mazhab yang empat) tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut ushul fiqh menemukan bentuknya yang “sempurna” sehingga generasi-generasi yang sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing.
Dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Munculnya perbedaan tersebut karena adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh masing-masing yang digunakan dalam menggali hokum islam.
Aliran pertama disebut aliran syafi’iyah dan jumhur mutakalli min (ahli kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok). Dalam membangun tori, aliran uni menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli(al quran atau sunah), maupun dari aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan adakalanya tidak. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ mazhab maupun tidak, sejalkan kaidah yang ditetapkan imam mazhab atau tidak. Akibat dari perhatian yang hanya tertuju masalah-masalah teoritis sehingga sering tidak membawa pengaruh kepada keperluan praktis. Sesuai dengan namanya aliran mutakallimin (ahli kalam), maka aspek-aspek bahasa sangat dominan dalam pembahasan ushul fiqh mereka. Misalnya masalah Tahsin (menganggap sesuatu perbuatan itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak dan Taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tidak). Pendapat seperti itu biasanya dikemukakan para ahli ushul fiqh berkaitan dengan pembahasan Hakim (pembuat hukum). Kedua konsep ini berkaitan erat dengan ilmu kalam yang juga berpengaruh dalam penentuan teori ushul fiqh. Akibat lain dari teori ini adalah terjebak dengan masalah-masalah yang terkadang mustahil terjadi, seperti persoalan Taklif al Ma’dum (pembebanan hokum atas sesuatu yang tidak ada). Atau terjebak dalam permasalahan akidah, seperti ke-Ma’sum-an(terpelihara dari kesalahan) Rosulullah. Kitab ushul fiqh setandar dalam aliran syafi’iyah atau mutakallimin ini adalah : al- Risalah yang disusun imam al Syafi’i, kitab al- mu’tamad disusun oleh Abu al -Husain Muhammad bin Ali al Bashri (w. 463 H). Kitab al - Burhan fi ushul al-fiqh, disusun imam al Haromain al- Juwaini (w. 487 H) dan tiga rangkaian kitab ushul fiqh imam Abu Hanid al – Ghozali (450 – 505 H/ 1085 – 1111M), yaitu : al- Mankhul min Ta’liqot al- ushul : syifa’al- ghalil fi bayan al syabah wa al- mukhil wa masalil al- Ta’lil : dan al Mustashfa’ fi I’lm al- ushul. Sekalipun kitab ushul fiqh dalam aliran syafi’iyyah atau mutakallimin cukup banyak tetapi yang menjadi sumber dan setandar dalam aliran ini adalah kitab ushul fiqh tersebut diatas.
Aliran kedua dalam ilmu ushul fiqh adalah aliran fuqoha’, yang dianut ulama-ulama mazhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqoha’,karena aliran ini dalam teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya , mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori tersebut,apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hokum furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hokum furu’ tersebut. Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan hokum-hukum furu’ yang berlaku dengan mazhabnya, sehingga tidak satu kaidah satupun yang tidak biasa diterapkan. Berbeda dengan aliran Syafi’iyyah / Mutakallimin yang sama sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang ada dalam mazhabnya, sehingga sering terjadi pertentangan kaidah dengan hokum furu’ dan terkadang kaidah yang dibangun sulit untuk diterapkan. Apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka berusaha untuk mengubah kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai dengan masalah furu’ yang mereka hadapi. Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i (pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadits ahad (bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadits ahad bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat qath’i ; yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanni.
Dikalangan aliran fuqaha’ sendiri ada ahli ushul fiqh yang berupaya untuk mengkompromikan kedua aliran tersebut, diantaranya adalah imam Kamal ibn al- Humam dalam kitab ushul fiqhnya, al – Tahrir. Dari sekian banyakkitab ushul fiqh, yang dianggap sebagai kitab ushul fiqh standar dalam aliran ini adalah Kitab al – Ushul yang disusun Imam Abu al- Hasan al-Karkhi, Kitab al-Ushul, disusun Abu Bakr al – Jashshash, Ushul al- Sarakhsi, disusun Imam al-Sarakhi, Ta’sis al-Nazhar, disusun ImamAbu Zaid al-Dabusi (w.430 H), dan kitab Kasyf al-Asrar, disusun Imam al-Bazdawi.
Adapun al kitab-kitab ushul fiqh yang menggabungkan teori syafi iyyah
Jumhur mutakallimin dengan teori fuqaha di antaranya adalah :
1. Tanqih al - ushul yang disusun Shard al -Syari’ah (w.747 H). Kitab ini merupakan rangkuman dari tiga buku ushul fiqh, yaitu Kasy al – Asrar karya Imam al – Bazdawi al – Hanafi, al-Mabshul karya Fakh al-Din al- Razi al – Syafi’i, dan Mukhtashar ibn al-Hajib karya ibn al Hajib al-Maliki.
2. Al – Tahrir, disusun Kamal al-Din Ibn al-Humam al-Hanafi (w.861 H).
3. Jam’u al-Jawami’, disusun Taj al-Din Abd al-Wahhab al-Subki al-Syafi’i (w. 771 H).
4. Musallam al-Tsubut, disusun Muhibullah ibn Abd al-Syakur (w. 1119 H).
Pada abad ke-8 Hijriyah muncul Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H) dengan bukunya al- Muwafaqat fi al-Ushul al-Syari’ah. Pembahasan ushul fiqh yang dikemukakan Imam al-Syathibi dalam kitabnya ini, disamping menguraikan berbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasaan, ia juga mengemukakaan Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan hokum), yang selama ini kurang diperhatikan oleh ulama ushul fiqh. Setiap permasalahan dan kaidah kebahasaan yang ia kemukakan senantiasa dikaitkan dengan tujuan syara; dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam al-Syathibi memberikan warna baru dibidang ushul fiqh dan kitabnya al-Muwafaqat fi al-Ushul al-Syari’ah, yang oleh para ahli ushul fiqh kontemprer dianggap sebagai buku ushul fiqh yang konprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang
الأحكام الشرعية
BEBERAPA HUKUM SYARA’
A. Pengertian
Menurut arti bahasa, Hukum diartikan dengan kata :
المنع Yakni mencegah.
Menurut pengetian ahli Hukum Islam, hukum diartikan :
الحكم : هو خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع
Firman (dokrin) Allah berhubungan dengan perbuatan-perbuatn orang Mukallaf, baik dalam bentuk Tuntunan, kebebasan memilih atau berupa ketetapan (Taqrir).
Firman Allah :
أوفوا بالعقود
“Penuhilah akad-akad itu”. Adalah Kitab Syara’ yang bersangkutan dengan memenuhi janji yang dituntut untuk mengerjakannya.
Dan firman Allah :
لا يسخر قوم من قوم
“Jangan suatu kaum memperolok kaum yang lain”. Adalah kitab Syara’ yang bersangkutan dengan mengolok-olok, yang dituntut untuk meninggalkannya.
Dan firman Allah :
فإن خفتم أن لا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به ( البقرة : 229 )
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang diberikan oleh istri yang diberikan oleh istri untuk menebus dosanya”.
Ayat ini menunjuk pada Kitab Syari’ yang bersangkutan ganti rugi oleh suami dari istrnya, sebagai imbalan menjauhkan talak kepada istri yang ia dibolehkan melakukan pilihan dialam hal itu.
Catatan :
a. Maksud dari Kitab Allah dalam lataran Hukum adalah khitob secara keseluruhan, baik yang langsung dari Al Qur’an, maupun khitob yang tidak langsung dari firman Allah, seperti yang bersumber dari Hadist Rosululloh (Wahyu diluar Al Qur’an), Ijma’ Ulama yang penetapannya disandarkan atas Al Qu’an dan Sunnah, dan Qiyas yang memiliki fungsi memperjelas dan mempertegas posisi hukum yang didasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah.
b. Pengertian perbuatan Mukallaf adalah segala yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan, baik yang bersifat qalbiyyah, seperti masalah keyakinan dan masalah niat, atau masalah yang berhubungan dengan pebuatan jawarih (anggota badan), seperti menjalankan Ibadah, Zakat, Haji, dan yang lain, dan perbuatan lisan, seperti bacaan-bacaan sholat, ucapan-ucapan yang baik maupun ucapan yang tidak baik.
c. Perbutan anak yang belum Mukallaf, tidak masuk dalam koridor keterjangkauan Hukum Syara’. Adapun hukum syara’ yang menyinggung pada anak-anak, seperti zakat hartanya, dan lain-lain adalah ditujukan pada waliya, dan atau ketentuan memerintah untuk menjalankan ibadah, seperti sholat atau menjalankan puasa Ramadhan, semata-mata hanya untuk membiasakan beribadah, yang oleh Allah diberikan pahalanya sebagai bentuk anugerah dan nikmat dari Allah SWT.
d. Pengertian hukum dalam kaca mata ahli Fiqh adalah sifat yang menjadi akibat langsung dari khitob syara’ yang menjadi cermin perbuatanMukallaf, seperti :
Firman Allah :
اقيموا الصلاة
ولا تقربوا الزنا
Dan sabda Nabi Muhammad SAW :
لا يرث القاتل شيئا
Hukum syara’ dari khitob diatas adalah Sholat itu Wajib, Zina itu Haram, dan larangan menerima warist bagi pembunuh.
B. Pembagian Hukum Syara’
Pembagia Hukum Syara’ ada dua macam, yaitu :
a. Hukum Taklif
b. Hukum Wadl’i
Pengetian Hukum Taklif
الحكم التكليفى هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل و الكف عنه
Adalah hukum yang mengandung undur tuntutan, baik tuntunan untuk berbuat, maupun tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau kebebasan memilih antara berbuat dan meninggalkan perbuatan.
Disebut Hukum Taklif karena unsur yang ada didalam hukum tersebut adalah unsur tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat atau tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, dan atau bahkan tuntutan untuk memilih antara berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan.
Contoh tuntutan berbuat :
Firman Allah :
أقيمو الصلاة
كتب عليكم الصيام
Contoh tuntutan meninggalkan suatu perbuatan :
Firman Allah :
ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير
Contoh kebebasa memilih, antara mengerjakan perbuatan dan meninggalkannya :
Firman Allah :
فلا جناح عليهما فيما افتدت به
وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة
Pengetian Hukum Wadl’
الحكم الوضعي : هو ما اقتضى وضع شيئ سببا لشيئ أو شرطا له أو مانعا منه
Adalah ketetapan hukum terhadap suatu persoalan karena suatu sebab, atau ketetapan hukum karena syarat tertentu, dan ketetapan hukum karena adanya suatu penghalang.
Disebut Hukum Wadl’i karena ketetapan hukum ini atas keterkaitan satu sebab dengan suatu penyebab atau suatu syarat dengan suatu yang mempersyaratkan di berlakukannya suatu hukum.
Contoh 1
Firman Allah :
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
أقم الصلاة لدلوك الشمس
Contoh 2
Firman Allah :
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق … الأية
Dan contoh lain, seperti larangan menikahi anak tiri, atas dasar sudah pernah bersetubuh dengan ibunya. Begitu juga hak waris seseorang adalah wafatnya orang yang akan diwarits.
Contoh 3
Sabda Nabi Muhammad :
ليس لقاتل ميراث
لا يتوارث أهل ملتين شيئ
C. Macam-macam Hukum
a. Macam-macam Hukum Taklif
Hukum taklif terbagi dalam 5 (lima) macam, yaitu :
1. Ijab
الإيجاب هو الخطاب الدال على طلب الفعل طلبا جازما
Yaitu tuntutan dalil untuk melaksanakan suatu perbuatan yang bersifat pasti dan permanen.
Contoh :
أقيوا الصلاة وأتوا الزكاة
“Kerjakan sholat, dan bayarlah zakat”
Nash ini menunjuk Ijab, karena berbentuk Amar yang tidak disertai dengan suatu catatan tertentu, sehingga akibat Nash ini adalah tuntutan yang bersifat pasti, dan disebut Wujub. Dan dituntut pelaksanaannya adalah Wajib.
2. Nadb
الندب هو الخطاب الدال على طلب الفعل طلبا غير جازم
Yaitu tuntutan dalil terhadap suatu perbuatan yang bersifat anjuran dan tidak permanen.
Contoh :
فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا
Artinya : “Hendaklah kamu mberbuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka“.
Nash ini menunjuk Nadb, karena tuntutannya disertai dengan catatan yang mengidentifikasi suatu perbuatan, bukan berbentuk tuntutan yang pasti, pengaruh dari Nash ini disebut Al nadabah, dan disebut pelaksanaannya adalah Al Mandub.
3. At Tahrim
التحريم هو الخطاب الدال على طلب الكف عن الفعل طلبا جازما
Yaitu tuntutan dalil untuk meninggalkan suatu perbutan yang bersifat pasti dan permanen.
Contoh :
ولا تقربوا الزنا ، إنه كان فاخشة وساء سبيلا
Tntutan ini pasti, karena tidak disertai illat yang meringankan akan perbuatannya.
4. Al Karobah
الكراهة هو الخطاب الدال على طلب الكف عن الفعل طلبا غير جازم
Yaitu tuntutan dalil untuk meninggalkan suatu perbutan yang bersifat tidak pasti atau permanen.
Contoh :
قوله قلعم : إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يركع ركعتين
Tuntutan ini tidak ada indikasi larangan yang bersifat permanen yang didasari oleh illat yang kuat.
5. Al Ibadah
الإباحة هو الخطاب الدال على تخيير المكلف بين الفعل والترك
Yaitu pembebasan dalil terhadap orang Mukallaf untuk berbuat atau meninggalkan sesuatu.
Contoh :
ليس عليكم جناح أن تدخلوا بيوتا غير مسكونة فيها متاع لكم
Dalil ini memberikan illat secara jelas akan hak Mukallaf untuik berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan.
الواجب وأقسامه
WAJIB DAN PEMBAGIANNYA
1. Pengertian
الواجب هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما بان اقترن طلبه بما يدل علي تحتيم فعله
Adalah menjalankan perintah hukum yang dituntut oleh Syari’ secara jelas dan tegas, yang ditandai dengan ketegasan perintah. Konsekuensi dari orang yang menjalankan hukum wajib adalah mendapatkan pahala, dan ketika orang yang meninggalkannya, maka ia mendapat dosa.
Bentuk tuntutan syara’ yang berdimensi wajib adalah :
a. Shigot Amar
أقيوا الصلاة وأتوا الزكاة
فما ا ستمتعتم به منهن فأتوهن أجورهن فريضة
b. Shigot Masdar yang mengganti filnya
فإذا لقيتم الذين كفروا فضرب الرقاب ( فاضربوا الرقاب ضربا ، ثم حذف الفعل وأقام المصدر مقامه )
c. Shigot Mudhori’ yang disertai dengan Lam
لينفق ذو سعة من سعته
d. Shigot Fi’il yang menunjuk suatu tuntutan
كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم
e. Shigot-shigot lain dalam bahsa Arab yang mengarah pada tuntutan Wajib
ولله علي الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
وقضى ربك ألا تعبدواإلا إياه وبالوالدين إحسانا
Wajib dan Fardlu
Menurut ulama’, wajib itu sinonim dari fardlu, yaklni tuntutan syara’ yang berakibat terhinanya orang yang meninggalkan.
Firman Allah :
فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال في الحج ( أي أوحب )
Menurut Ulama’ Hanafi Wajib dibedakan dengan fardlu, yakni wajib :
الواجب هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما لدليل ظني، فيه شبهة
Adalah tuntutan Syara’ kepada Mukallaf yang bersifat pasti, dan didasarkan pada dalil dhonny, dan didalamnya terdapat syubhad.
Contoh :
a. Membaca Fatihah dalam sholat itu wajib atas dasar ayat yang bersifat Dhonny
فاقرؤا ما تيسر من القرأن
Hadist :
Yang menjelaskan maksud dari ayat diatas adalah hadist Ahad لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب maka hukum yang berlaku bagi ayat diatas adalah hukum dhoni yang wajib dibaca adalah ayat Al Qur’an, bukan surat Al Fatihah.
b. Begitu juga mengenahi hukum Zakat Fitrah, Sholat Witir, dan Sholat ‘Idain adalah wajib atas dasar Hadits Ahad.
Adapun fardlu menurut Ulama’ Hanafi :
الفرض هو ما طلب الشارع من المكلف طلبا حتما بدليل قطعي ، لا شبهة فيه
Adalah tuntutan syara’ kepada orang mukallaf yang bersifat pasti, dan didasarkan pada dalil Qolh’i, dan didalamnya tidak terdapat syubhad.
Contoh :
a. Membaca Ayat Al Qur’an dalam sholat, atas dalil:
فاقرؤا ما تيسر من القرأن
b. Hadits Nabi Muhammad tentang rukun islam, adalah Hadits mutawatir yang kekuatan Hukumnya adallah qoth’i.
c. Sholat lima waktu, atas dasar Ayat :
وأقيموا الصلاة
Pembagian Wajib.
Wajib terbagi dalam empat bagian, menurut ungkapan dimensi yang bermacam, macam, yaitu :
Pertama : Wajib diukur dari waktu melaksanakanya.
Dalam ukuran ini, wajib terbagi dalam dua bagian, yaitu :
a. Wajib Al Mutlak : yaitu wajib yang diperintahkan oleh syara’ dan pelaksananya tidak terikat oleh waktu. Orang yang terkena beban ini tidak terhina sekalipun ada kemampuan tetapi menundanya seperti :
1. Membayar hutang puasa Romadhon karna udzur, yang berlaku untuk waktu sepanjang tahun.
2. Melakasanakan Ibadah Haji, yang wajib bagi Muslin ‘allattarakhi (tidak mensegerakan)
3. Membayar kafarat sumpah.
b. Wajib Al Mu’akkad (Al Muqayyad) : yaitu Wajib yang diperintahkan oelh syara’ mengerjakanya secara pasti dan waktunya secara pasti pula dibatasi.
Wajib yang ditentukan dan dibatasi oleh waktu secara tegas ini, dibagi dalam dua bagian, yaitu :
1. Wajib Muwassa’, yaitu wajb yang dibatasi waktu dan memiliki kelonggaran waktu, sehingga dapat dipergunakan untuk mengerjakan sesuatui yang lain.
Contoh :
أقم الصلاة ، إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
Pelaksanaan sholat lima waktu, yang dalam waktu tersebut dapay digunakan untuk melaksanakan sholat yang lain.
2. Wajib Mudzoyyak, adalah wajib yang waktunya dibatasi dan tidak mungkin waktu tersebut digunakan untuk menjalankan yang lain, sehingga apabila dalam puasa romadhon lupa mengejarkan niat, maka waktu itu tidak sah apabila kemudian dimanfaatkan untuk mengerjakan puasa sunnah yang dapat diniatkan sewaktu-waktu.
Contoh :
Puasa Bulan Romadhon, yang tidak boleh dikerjakan selain bulan Romadlon.
قال تعالى : فمن شهد منكم الشهر فليصمه
قال صلعم : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Imam Abu Hanifah membagi Wajib Mudzoyyak dalam tiga macam, yakni selain yang sudah disebut di atas, adalagi Wajib Mudloyyak yang berbentuk Dzus Syabliain (memuat unsur Muwaassa’ dan Mudzoyyak).
Contoh :
Melaksanakn Ibadah Haji :
- Unsur Mudzoyyaknya adalah musim haji yang ada, hanya untuk satu paket pelaksanaan Ibadah Haji
- Unsur Muwassaknya adalah waktu pelaksanaan sub sub ibadah haji di waktu itu, tidak ditentukan secara tekhnis, dan tidak menghabiskan waktu yang ditentukan itu.
Catatan :
A. Masalah Niat.
1. Imam Khanafi berpendapat : Niat dalam wajib Muwassa’ itu dibedakan dengan niat dalam Mudzoyyak, yakni dalam Wajib Muwaassa’ niat harus dipertegas, karena pada saat itu sangat mung kin melakukan perbuatan yang dengan dimensi lain.
Misalnya, sholat dhuhur, maka harus diniatkan bahwa sholat yanng dilakukan adalah sholat dzuhur, bukan yang lain. Dan apabila ternyata dalam meniatkan sholat dzuhur tersebut keliru untuk niat sholat yang lain, maka yang dianngap adalah pelaksanaan abadah sholat yang lain tersebut. Keadaan ini berbeda dengan Wajib Mudzoyyak, yang dalam meniatkan boleh tidak dipertegas, karena pada saat itu tidak mungkin melakukan perbuatan yang sama dalam dimensi lain. Seperrti melakukan puasa Romadhon, maka ketika diniatkan puasa begitu saja, syah, karena saat itu ketika puasa diniatkan untuk puasa sunnah (Selain Ramadhan), maka puasanya tidak sah.
2. Ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, Syeh Ishak, dan Daud, tidak membedakan skala niat antara kedua wajib tersebut diatas, yakni niat kedua jenis wajib tersebut ada ketegasan yang sama, seperrti ketika melakukan puasa Ramadhan secara muthlak, yang dimaksud adalah tidak melakukan pada waktu itu puasa yang lain. Begitu halnya ketika melakukan sholat dzuhur dengan niat sholat secara muthlak maka yang dimaksud sholat waktu itu bukan sholat yang lain.
B. Wajib pelakasanaan
Dalam Wajib Muwassa’, waktu pelaksanaan yang baku, Ulama berbeda pendapat :
1. Imam Hanifah : Waktu yang baku bagi pelaksanaan Wajib Muwassa’ adalah akhir waktu, sehingga apabila pada awal waktu wajib dilakukan, maka waktu pelaksanaan itu sebagai ta’zil, atau waktu sunnah dan balikan sebagai rukhsoh dari syara’. Ketetapan pelaksanaan ibdah wajib Muwassa’ dilakukan pada akhir waktu, karena waktu itulah saat diwajibkanya suatu kewajiban.
2. Imam Syafi’i : waktu yang baku bagi pelaksanaan Wajib Muwassa’ adalah awal waktu, maka menjalankan suatu ibadah yang berskala Wajib Muwassa’ yang utama dilakukan pada wala waktu.
3. Akibat dari perbedaan ketetapan tersebut, maka secara hukum mengandung konsekuensi sebagai berikut :
Anak kecil yang melakukan sholat (latihan) pada awal waktu maka ketika datang baligh pada akhir waktu maka :
- Imam Syafi’i , tidak perlu mengadakan I’adah sholat.
- Musafir pada awal waktu, boleh melakukan jama’ sholat pagi Syafi’i dan tidak jama’ kecuali sampai akhir waktu, menurut Hanafi.
4. Pelaksanaan Wajib Muwassa’ , adakalanya Ada’ , yakni melaksanakan wajib sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan, Pallah, yakni melaksanakan wajib, pada waktu yang kedua dalam satu waktu yang ditetapkan, karena dalam suatu sebab, dan Qodlo’, adalah melaksanakan wajib pada waktu yang telah keluar dari waktu yang ditetapkan. Adapun dasar (dalil) ditetapkanya Qodlo’ bagi pelaksanaan wajib, Ulama berbeda pendapat :
a. Jumhur Ulama’ adalah dalil baru, karena awal yang menetapkan suatu perbuatan wajib telah terlampui.
b. Imam Hanafi adalah dalil awal menetapkan suatu perbuatan, hanya karena suatu alasan perbuatan itu tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan.
Kedua : Pembagian wajib dcari segi ukuran yang diperintahkan, terbagi dalam dua bagian, yaitu :
1. Wajib Muhaddad, adalah wajib yang oleh syar’i yang telah ditentukan dalam batasan yang telah diketahui, dan menjadi beban bagi Mukallaf untuk dikerjakan sesuai denganaturan yang telah ditentukan oleh syar’i.
Contoh :
a. Sholat Lima Waktu, antara jumlah rokaat, syarfat, dan Rukunnya harus dilaksanakna secara konsisiten.
b. Zakat mal dengan segala ketentuanya, harus dibayarkan sesuai dengan ketentuan syara’.
c. Pembayaran terhadap harga sebuah transaksi, harus sesuai dengan yang disepakati.
d. Pembayaran upah sebuah pekerjaan dan ongkos sewa yang disepakati sesuai denganakad yang telah ditentukan.
Memenuhi tanggunan melaksanakan terhadap wajib Muakkad adalah hak paten yang menjadi tanggunan bagi Mukallaf, dan tidak akan gugur tanpa dikerjakan sesuai dengan aturan yang telah ada.
2. Wajib Ghoiru Muhaddad, adalah wajib yangn syar’i tidak menentukan ukkuranya, tetapi menuntut kepada Mukallaf untuk mengerjakannya tanpa ada batasan yang pasti.
Contoh :
a. Besarnya infak sabilillah.
b. Hak tolong menolong dengan sesama.
c. Shodaqoh pada fakir miskin yang dinadzarkan.
d. Menolong orang yang kelaparan, dan diambang kerusakan.
e. Dan kewajiban lain yang digariskan oleh syara’, atas dasar desakan kebutuhan.
Memenuhi tanggungan kewajiban ini adalah hak yang mungkin harus dibayar sesuai dengan tingkat tanggunganya, dan atau mungkin mendapatkan kerelaan yang akan menerimanya, sehingga tanggungan tidak dibayarkan, dan bagi Mukallaf terbebas.
Ada perbedaan ketentuan dalam batasan nafkah Keluarga (Istri) dan kerabat yang ditanggung atas seseorang, apakah masuk dalam Wajib Muhaddad, atau masuk dalam Wajib Ghairu Muhaddad.
- Ulama’ Hanafiyyah, nafkah keluarga masuk dalam kerangka Wajib Ghairu Muhaddad, karena tidak adanya batasan ukuran secara pasti, tidak terstruktur dalam ketentuan pembebanan, dan tidak diketahuinya sebuah standar kebutuhansebelum menjadi tanggupan Mukallaf, sehingga ukuran berapa nafkah itu layak, adalah seberapa besar tingkat kerelaan antara keduanya.
- Ulama’ diluar Hanafiyyah, Nafkah Keluarga adalah masuk dalam kerangka Wajib Muahhad, karena ukuran dasarnya adalah kemampuan suami, sehinngga lahir sebuah kaidah “Bagi suami yang berkemampuan adalah kelonggaran Nafkah, dan bagi suami yang tidak berkecukupan adalah seberapa kemampuan yang dimiliki”.
Ketiga : Pembagian wajib dari ssegi perintah melaksanakan, adalah ada wajib ‘ain, dan ada wajib Kifa’i.
1. Wajib ‘aini adalah kewajiban yang diperintahkan oleh syara’ untuk dikerjakan masing-masing orang Mukallaf, dan tidak cukup perbuatan itu karena dikerjakan oleh orang lain.
Contoh :
a. Mengerjakan sholat
b. Membayar Zakat
c. Mengerjakan haji ke Mekkah
d. Menjauhkan diri dari perbuatan Haram, seperti Minum Khomer, dan Zina
Kewajiban melaksanakan wajib dalam skala ini, adalah bersifat individual, dan tidak cukup dikerjakan oleh sebagian Mukallaf, atas orang lain.
Ketika Wajib ini ditetapkan atas dasar individualistis, dan Mukallaf sampai tidak mengerjakan karena usia lanjut, atau belum sampai mengerjakan ajal datang, maka apakah tanggungan ini dapat dilimpahkan pada orang lain :
a. Ulama’ tidak berbeda pendapat, bahwa ‘amal Kalbiyyah dan Maliyyah Mahdloh tidak dapat digantikan oleh orang lain, kecuali niat haji bagi anak-anak yang dapat diganti dengan orang lain.
b. Ulama’ bersepakat, Ibadah Badaniyyah, seperti Sholat, Puasa maka menggantikan kepada orang lain, tidak sah, karena tujuan dalam Iadah ini adalah kehuan’an, penyerahan diri kepada Allah, dan mengagungkan Allah SWT, yang untuk ukuran seseorang perilaku itu tidak mungkin dilakukan orang lain.
c. Juga atas kesepakatan Ulama, bahwa melaksanakan kewajiban yang mengandung unsur kemaslamhatan secara umum, seperti membayarkan utang, mengembalikan barabg pinjaman, membagikan Zakat, tebusan Kafarat, dan daging qurban, dan lain-lain, maka syah dilakukan pengerjaanya oleh orang lian.
d. Ulama berbeda pendapat tentang pelaksanaan haji yang digantikan oleh orang lain.
- Imam Malik, Muhammad bin Hasan, dan Jama’ah Mutakhirin, kedudukan haji sama dengan sholat, yakni tidak dapat digantikan kepada orang lain, karena sasaran penting bersifat individual, yaitu melatih dan mendidik jiwa keluar dari berbagai kebiasaan yang tidak baik, mengingatkan seseorang akan kehidupan akhirat, mengagungkan syi’ar Masjidil Haram.
- Jumhur Ulama’ Fiqh, Haji dapat digantikan oleh orang lain, karena ibadah haji lebih dekat dengan ibadah yang berdimensi kehartaan.
2. Wajib Kifa’i adalah tuntutan kepada semua Mukallaf untuk mengerjakan semua hukum syara’, tanpa memperhatikan siapa diantara mereka yang mengerjakan. Sasaran dari hukum ini adalah kemaslahatan bersama, yang tidak harus dikerjakan secara bersama sama. Tuntutan hukum ini makan gugur apabila telah dikerjakan, dan apabila diantara mereka tidak ada yang mengerjakan sama sekali, maka semua Mukallaf terkena dosa.
Contoh :
- Kewajiban mendalami keragaman ilmu pengetahuan dan ketrampilan.
- Membangun Rumah Sakit.
- Menjadi Qodli.
- Menjadi seorang Mufti.
- Sholat Janazah.
- Menjawab Salam.
- Amar Makruf Nahi Munkar.
Ulama’ Ushul Fiqh berbeda pendapat, tentang siapa-siapa yang terkena sasaran dari perintah fardlu kifayah :
a. Jumhur Ulama’ : Tuntutan fardhu kifayah adalah untuk setiap individu bagi Mukallaf. Pendapat ini didasarkan pada :
1. Tuntutan Hitob bersifat menyeluruh, sebagaimana tuntunan kewajiban yang lain.
Firman Allah :
كتب عليكم القتال
وقاتلوا في سبيل الله
2. Kalau semua mukallaf meninggalkan perbuatan semuanya terkena dosa.
b. Menurut Ulama’ yang lain : sebagian menyatakan, Hitob ditunjukkan kepada Mukallaf secara umum, untuk dikerjakan oleh sebagian diantara mereka. Dalil pendapat ini adalah :
1. Tidak ada hitob yang membatasi gugurnya kewajiban untuk sebagian mukallaf dari tuntunan Mukallaf, sehingga syari’ memang bermaksud menetapkan hukum ini untuk jsebagian, bukan untuk semmua Mukallaf.
2. Kalau memang hitob ditujukan untuk masinng masinng individu, niscaya bagi mereka yang tidak mengerjakan dosa, tetapi ternyata ketika perbuatan sudah dikerjakan oleh sebagian, yang lain semuanya terbebas.
c. Sebagian yang lain menyatakan, bahwa hitob ditujukan kepada
Mukallaf secara umum, akan tetapi sasaran yang dituju adalah mereka yang memiliki ketersinggungan denganperbuatan tersebut dasar bagi pendapat ini adalah :
1. Sebagian tuntutan syara’ yanng ditujukan kepada Mukallaf, memang ada yang hanya dikerjakan sebagian dari mereka, bukan untuk keseluruhan.
2. Tuntutan gugur ketika dikerjakan oleh sebagian mereka.
d. Pendapat Ulama’ yang lain lagi : adalah Ketentuan Tuntunan Wajib Kifayah telah digariskan oleh Allah sebagai bentuk tuntutan yang gugur apabila dikerjakan oleh sebagian dari mereka. Mereka yang berpendapat seperti ini tidak dapat menunjukkan alasan secara jelas.
Keempat : Pembagian wajib dari segim kejelasan tuntutan, adakalanya Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar.
1. Wajib Mu’ayyan adalah kewajiban yang telah ditetapkan ketentuanya oleh syara’, tanpa tanpa memberi gerak Mukallaf untuk menerima atau menolak kewajiban ini mengikat dan tidak akan gugur sampai dikerjakan, seperti Sholat, Puasa, dan mengenbalikan barang yang dighoshob.
2. Wajib Mukhoyyar adalah kewajiban yang menjadi tuntunan syara’ belum mengandung tuntutran yang tegas, dan jelas. Tuntutan ini memberikan kebebasan antara beberapa pilihan. Konsekuensi dcari kewajiban nim adalah mengerjakan salah satu dari beberapa pilihan yang ada sehingga ketika semuanya ditinggalkan maka berdosa. Seperti membayar beban kafarfat, yang ditentukan satu diantara, memerdekakan bedhak, Memmberi makan atau pakaian sepuluh fakir miskin, atau megerjakan puasa.
Kemudian Wajib Mukhoyyar dibagi dalam dua bagian, yaitu :
المندوب وأقسامه
MASALAH AL MANDUB DAN PEMBAGIANNYA
1. Pengertian
المندوب هو الدعاء إلى الفعل
Al Mandub atau Annadb menurut arti bahasa, ajakan (anjuran) kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.
Adapun menurut istilah para ulama :
المندوب هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا فير حتم
Adalah tuntutan syara’ kepada Mukallaf untuk berbuat sesuatu dalam bentuk tidak pasti (anjuran). Konsekuensi dari berbuat dengan format tuntutan ini adalah mereka yang sanggup mengerjakan mendapat pahala, dan bagi mereka yang tidak sanggup mengerjakan tidak terhina.
Bentuk tuntutan Al Mandub, dijelaskan oleh syara’ dengan nash berikut ini :
a. Nash menuntut suatu perbuatan, akan tetapi tuntutan itu tidak mengarah pada tuntutan wajib (tegas), seperti kata sayar’ : Kami mensunahkan berbuat ini, atau berbuat seperti ini, atau seperti makna dalam sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini :
وقوله صلعم : من توضأ يوم الجمعة فيها ونعمت ، ومن اغتسل فالغسل أفضل
b. Nash berbrntu tuntuta, akan tetapi disertai catatan yang memalingkan dari tuntutan wajib (pasti), baik pemalingan itu datang dari essensi makna yang terkandung dalam nash itu, atau pemalingan itu datang dari faktir luar, yang menjadi catatan bagi disyariatkannya suatu nash.
Dan firman Allah yang indikasi pemalingan tuntutan dari wajib(tuntutan pasti) menjadi sunnah dari luar nash adalah :
Ulama ushul Fiqh berbeda pendapat, apakah termasuk perintah, atau bukan suatu yang diperintahkan :
a. Ulama Malikiyyah, dan kebanyakan Syafi’iyyah dan Hambaliyyah, berpendapat : Sunnah itu termasuk jenis perbuata yang diperintahkan, sehingga Mukallaf yang mengerjakannya termasuk menjalankan ketaatan, dan termasuk kelompok orang yang menjalankan perintah. Makna dari ii, Amar ada dua jenis, yaitu Amar Wajib, dan Amar Sunnah.
b. Ulama’ Hanafiyah, dan Imam Subkhi dari pengikut Syafi’i, berpendapat bahwa sunnah itu bukan suatu yang diperintahkan, akan tetapi sesuatu yang dianjurkan dengan sindiran, karena kalau sunnah termasuk perintah, tentunya bagi yang mengerjakan maupun yang meninggalkan mendapatkan konsekuensi hukum yang jelas, apakah mereka mengerjakan, yang berarti taat, atau meninggalkan pekerjaan yang berarti Maksiat (durhaka), sedangkan sunnah tidak demikian.
Sabda Nabi Muhammad SAW :
2. Pembagian Al Manduib (Sunnah)
Sunnah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Sunnah Mu’akkad, adalah sunnah yang apabila ditinggalkan tidak berdosa, akan tetapi Mukallaf mendapatkan celaan / hinaan, seperti Sunnah yang berfungsi menyempurnakan Ibadah wajib dan [erbuatan yang Rosul senantiasa mengerjakan kecuali ada udzur yang berat.
Contoh :
- Sholat berjamaah ;
- Adzan dan Iqomat mengiringi sholat ;
- Berkumur dan mengambil air hidung ketika berwudhu
- Membaca Surat setelah Fatihah, dua rakaat pertama dalam sholat.
b. Sunnah yang dianjurkan (Ghoiru Mu’akkadah), adalah sunnah yang ketika Mukallaf sanggup mengerjakan mendapatkan pahala, dan apabila meninggalkan tidak berdosa, dan tidak pula terhina. Seperti perbuatan yang tidak langgeng dikerjakan Rasul.
Conoth :
- Sholat Sunnah empat rokaat sebelum sholat isya’
- Sadakah pada fakir miskin
- Puasa senin kamis
Kelompok sunnah ini sering disebut, Fadlilah (keutamaan), atau disebut Mustahab (perbuatan yang disukai)
c. Sunnah Tambahan, adalah sunnah dikerjakan semata-mata mengandung nilai kebaikan (kesempurnaan), sekalipun kalau tidak dikerjakan apa yang ada sudah cukup, seperti apa yang menjadi kebiasaan Rosul. Mengerjakan perbuatan ini mendapat pahala apabila diniatkan mengikuti sunnah Rasul.
Contoh :
Mengikuti cara Makan, minum, tidur, berjalan, dan pakaian yang disukai oleh Rasulullah.
Ulama berbeda pendapat, apakah menjalankan perintah sunnah itu harus langgeng
a. Imam Syafi’i, perbuatan yang mengandung konsekuensi hukum sunnah itu tetap dalam kesunnahan, yaki bagi mereka yang ada kesempatan mengerjakan ada pahala baginya, dan tidak dosa bagi yag meninggalkannya, sekalipun mereka selalu mengerjakan, maka saat mengerjakan berarti mereka menjalankan kesunnahan, dan setelah itu hukum kembali dalam kesunnahan dan bagi mereka yang meninggalkan terbebas dari kewajiban mengkodlo.
b. Imam Hanafi, perbuatan yang mengandung konsekuensi hukum sunnah apabila dikerjakan oleh seseorang secara terus menerus, maka bagi mereka perbuatan itu harus dipelihara secara terus menerus, dan hukum yang berlaku adalah hukum kepastian, yakni harus selalu mengerjakan, sehinnga ketika suatu ketika meninggalkannya, dituntut untuk mengkodlo. Alasan yang dikemukakan dalam pendapat ini adalah :
- Ketika perbuatan sunnah dinadzarkan, maka menjadi wajib
- Firman Allah
-
االحرم وأقسامه
HARAM DAN PEMBAGIANNYA
1. Pengertian
Adalah tuntutan syara’ untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti dan tetap. Konsekuensi dari perbuatan ini adalah terhina dimata syara’ Mukallaf yang mengerjakannya.
Bentuk tuntutan haram ini dijelaskan oleh beberapa ketentuan sebagai berikut :
a. Shighot fi’i; yang mempertegas tuntutan makna ke hukum haram, atau bukan sesuatu yang dihalalkan.
Firman Allah :
Dan Sabda nabi Muhammad SAW :
b. Sighat Fi’il Nahi yang bersifat pasti, yang ditandai tidak adanya karinah yang meringankan.
c. Sighat perintah menjauhi suatu perbuatan dengan indikasi tertentu yang memberatkan.
d. Sighat yang menjelaskan rentetan siksaan bagi yang mengerjakan sesuatu perbuatan
Perbuatan yang dikategorikan haram meliputi, ucapan lesan, seperti mengumpat, adu domba, dan yang lain, perbuatan anggota badan, seperti mencuri, minum khomer, dan lain-lain. Imam Ar Rozi menyebut perbuatan ini semua dengan istilah maksiat, perbuatan Dosa, perbuatan menjijikkan, dan perbuatan yang dicela dan diancam oleh syara’.
2. Pembagian Haram
Haram terbagi dalam dua bagian, yaitu :
a. Haram Li Dzatihi (Essensial)
b. Haram Li Ghoirih (Fenomenal)
Haram Lidzatihi adalah perbuatan yang diharamkan oleh syara’ secara essensial, dan sangat asasi sejak perbuatan itu sendiri ada.
Perbuatan ini diharamkan karena secara esensial pula mengandung unsur kerugian, dan bahaya yang besar.
Seperti mencuri, Zina, makan bangkai, makan babi, menikah dengan mahram, membunuh, dan memakan harta milik orang lain dengan tanpa hak, dan lain.
Haram Lighairih, adalah perbuatan yang pada dasarkanya disyari’atkan, tetapi dalam prakteknya mengandung unsur penyimpangan, yang mengindikasikan keharaman perbuatan tersebut, maka hukumnya mejadi haram atas pengaruh faktor luar tersebut. Secara essensial perbuatan ini asalnya wajib, atau sunnah, atau mubah, dan bahkan tidak merusak, dan tidak pula mengandung unsur bahaya.
Seperti sholat dengan memakai pakain yang di ghasab, jual beli dengan cara menipu, jual beli saat panggilan adzan jum’at, puasa hari ied, puasa wishal (nyambung), dan menikah dengan wanita muhallal (halal dinikah setelah terlebih dahulu dinikah orang lain, kaena telah menjatuhkan talak tiga).
Konsekuensi dari haram ligairih :
Menurut Ulama Hanafi adalah lahirnya dua hukum yang kembali pada illat masing-masing, yakni karena essensi perbuata itu diperintahkan, maka perbuatan yang dia lakukan mengandung nilai kebaikan , haya saja karena pelaksanaannya terhadang oleh rambu yang engharamkan, maka mereka mendapatkan dosa.
Akan tetapi menurut jumhur Ulama yang mentransfer pendapat Imam Syafi’i, Haram Lighairihi itu antara barang dan cara mengadakan transaksi terakumulasi dalam satu hukum, yakni haram yang satu, sehingga ketika melakukan perbuatan ini batal dan berdosa.
Nash Syafi’i adalah :
“Pada dasarnya harta milik seseorang itu haram atas orang lain, kecuali ada transaksi yang menghalalkan, dan jual beli adalah transaksi yang menghalalkan pemilikian orang lain, selagi tidak menerjang larangan Rasulullah. Transaksi jual beli yang melanggar larangan Rasulullah, dan transaksi yang dilakukan dengan cara curang (Maksiat) tidak akan menghalalkan yang haram atas harta seseorang, serta tidak akan halal harta yang diperoleg kecuali dengan meninggalkan maksiat.
Makruh dan Masalahnya
a. Pengertian
Adalah tuntutan syara’ untuk meniggalkan suatu perbuatan dalam bentuk tuntutan perigatan. Konsekuensi dari tuntutan ini adalah mendapat pahala bagi Mukallaf yang sanggup meninggalkan suatu perbuatan dan tidak dikenahi sangsi apapun yang mengerjakannya.
Bentuk tuntutan yang berskala makruh adalah :
a. Sghat fiil yang menunjuk makna itu.
Sabda Nabi Muhammad SAW :
b. Sighat Nahi yang disertahi karimah (catatan) yang menunjuk hukum makruh.
Firman Allah :
Hadis ini menunjuk makna makruh, karena adanya perimbangan yang serupa dalam perintah, yaitu antara halal dan haram.
Ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat dalam makruh, apakah itu sebuah larangan untuk dikerjakan, atau dia termasuk hukum taklif. Jawaban atas permasalahan ini sebagamana yang terjadi untuk hukum sunnah di atas.
Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ulama Madzab yang wara’, mentasbihkan hukum makruh dengan hukum haram, sehingga ketika ada pernyataan makruh berwudlu atas bejana yang terbuat dari mas dan perak, maka makna yang dikandung di dalamnya, wudhu pada bejanan adalah haram.
Imam Hanafi membagi makruh dalam dua bagian, yaitu :
a. Makruh Tahrim :
Makruh tahrim adalah tuntutan syara’, kepada Mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti yang didasarkan pada dalil Dhanny.
Sabda Nabi Muhammad SAW :
Perbedaan Makruh tahrim dengan haram, keduanya berbentuk tuntutan pasti dan permanen, hanya saja kalau haram dalil yag mendasari adalah dalil Qoth’i, seperti ayat-ayat qur’an, dan hadist masyhur dan mutawatir, seperti dalil tentang mencuri, zna, makan riba, minum khamr, dan lain-lain. Konsekuensi bagi orang yang mengingkario keharaman perbuatan atas dasar dalil qath’i ini kafir. Sedangkan makruh tahrim, dalil yang dipergunakan adalah dalil Dhanny, dan konsekuensinya bagi orang yang mengingkari akan keharaman perbuatan ini tidak kafir.
b. Makruh Tanzih
Makruh Tanzih adalah tututan syara’ kepada Mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan tidak secara pasti dan permanen.
Seperti larangan memakan daging kuda, saat tentara membutuhkan kida untuk keperluan perang, brwudhu dengan air bekas jilatan kucing dan bekas di minum burung, dan lain-lain. Konsekuensi dari berbuat pada makruh ini tidak mencapat siksaan dan tidak pula terhina, akan tetapi sebaiknya tidak mengerjakan.
Catatan :
Satu perbuatan ini dapat megandung konsekueni hukum yang berbeda-beda karna memperhatikan kepentingan perbuatan tersebut, seperti menikah, maka hukum yang berlaku :
a. Fardhu, apabila calon suami mampu memberi mahar, sanggup memenuhi nafkah lahir batin dan sanggup memenuhi segala kewajiban suami, bersamaan dengan kemampuan dan kesanggupan ini apabila tidak menikah yang bersangkutan diyakini akan terjerumus dalam jurang kenistaan.
b. Wajib, apabila calon suami mampu memberi mahar, sanggup memenuhi nafkah lahir batin dan sanggup memenuhi kewajiban suami, bersamaan dengan kemampuan dan kesanggupan ini apabila tidak menikah yang bersangkutan dikhawatirkan akan terjerumus dalam jurang kenistaan.
c. Sunnah, apabila telah memenuhi syarat menikah, tetapi keadaan tidak mendesak baginya (tidak ada satu alasan yang membuat dia tergesa-gesa).
d. Haram, apabila diyakini dalam pernikahan ini yang terjadi adalah penganiayaan terhadap istrinya, dan terpenuhinya kewajiban bagi seorang suami.
e. Makruh, apabla dikhawatirkan dalam pernikahan ini yag terjadi adalah penganiayaan terhadap istrinya, dan tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban bagi seorang suami.
Imam Adl Dhahiri : Dalam situasi tidak terdesak, dan tersedianya perangkat untuk menikah, maka melakukan pernikahan hukumnya fardhu, sebagai manifestasi dari melaksanakan perintah Nash, baik al Qur’an atau hadist.
Sementara kelompok syafi’iyyah mengatakan, terhadap kondisi ini menikah hukumnya tetap Mubah, seperti perbuatan mubah yang lain.
Adapun ulama Hanafi, Maliki, dan Hambali, dalam kondisi in menikah hukumnya sunnah Muakkadah, atas dasar hadist Nabi :
Masalah Mubah
a. Pengertian
Mubah adalah menurut arti bahasa suatu yang dibebaskan dan diijinkan. Adapun menurut Syara’ adalah perbuatan yang syara’ memberi kebebasan kepada mukallaf untuk memilih antara bebuat dan meninggalkan suatu perbuatan. Atau diartikan suatu perbutann ya ng tidak terkait dengan pujian atau ancaman kepada mukallaf yang mengerjakan atau meninggalkan.
Pernyataan mubah dapat dilhat dari :
a. Shigat yang menyatakan kehalalan atau kemuahan suatu perbuatan.
b. Shigat yang menunjuk dengan tidak terkena dosa, atau bahaya bagi suatu perbuatan.
c. Shigat amar yang disertai cacatan telah terbebasnya dari wajib yang dibebankannya.
d. Memperhatikan asal kejadian segala sesuatu, yakni segala sesuatu itu pada dasarnya tercipta mubah dimanfaatkan, karena terciptanya segala sesuatu dimuka bumi ini untuk dimanfaatkan manusia. Kecuali hal-hal yang secara tegas dan jelas ditunjuk hukumnya, sepeti makan bangkai, darah, daging babi, dan hayawan yang disembelih tidak menyebut asma Allah.
Ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat dalam mensikapi mubah sebagai suatu hukum talkif, dalam lima wacana, yaitu :
a. Mubah hubungannya dengan Hukum Taklif
Madlhab Mu’tazilah berpendapat : segala sesuatu yang sebelum dan sesudah diberlakukannya hukum terjadi perubahan hukum, maka sesuatu itu tidak dapat dihukumi dengan syara’. Terhindarnya suatu bahaya karena berbuat sesuatu bukanlah terhindarnya bahaya aleh ketetapan syara’.
Adapun kesepakatan pendapat para ahli Fiqh, mubah termasuk hukum syara’, karena betapapun mukallaf harus memilih terhadap suatu perbutan yang sebelumnya masih netral, belum terkena hukum syra’ akan berbuat atau akan meninggalkan suatu perbuatan.
b. Mubah hubungannya dengan perintah
Ulama’ Fiqh dan Ushul Fiqh bersepakat : mubah itu bukanlah suatu yang diperintahkan. Karena prinsip tuntutan itu tedapat klasifikasi antara perbuatan itu harus dikerjakan atau dapat ditinggalkan.
Imam al Ka’bi dan para pengikutnya : dalam hukum syara’ tidak ada sesuatu yang dibebaskna, apa-apa yang diperintahkan itu wajib dikerjakan. Mengerjakan suatu yang dimubahkan atrinya sama halnya dengan meninggalkan suatu yang diharamkan, yang berarti wajib.
c. Mubah hubungannya dengan wajib
Sebagian Ulama lain menyatakan : Mubah masuk dalam bingkai wajib, karena dalam mubah mukalaf tidak dikenai sanksi apabla mengerjakannya, ini adalah hakikat dalam wajib.
Sebagian Ulama yang lain menyatakan : Mubah tidak masuk dalam bingkai wajib, karena dalam mubah yang ada adalah memilih antara berbuat dan meninggalkan perbuatan.
d. Mubah hubungannnya dengan tuntutan
Jumhur Ulama berpendapat : Mubah tidak termasuk ketegori tuntutan, kerena pada prinsip tuntutan adalah dipehuninya suatu tuntutan, dan atau adanya resiko meninggalkan suatu tuntutan. Ini tidak tercermin dalam mubah.
Imam Abu Ishak al Asfarayini berpendapat : Mubah masuk dalam bngkai tuntutan, karena ketika mukallaf mengerjakan perbuatan hukumnya mubah, wajib meyakini kemubahan perbuatan tersebut, dan wajib adalah termasuk hitab taklif.
e. Mubah hubungannya dengan kebaikan perbuatan
Pendapat yang Rajih ditafsirkan :
a. Mubah itu baik dikerjakan, dengan sesuatu kenyataan bahwa mukallaf yang melakukan adalah mengerjakan hukum syara’, atau berbuat sesuatu yang setara dengan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan.
b. Mubah tidak baik dikerjakan, dengan sesuatu kenyataan bahwa yang mengerjakannya harus mendapat pujian.
MASALAH YANG DIMAAFKAN
Al Afwu adalah masalah yang ada pada martabat antara halal dan haram, akan tetapi tidak masuk dalam kelompok taklif yang banyaknya ada lima atau tujuh diatas. Dia tidak sesuatu yang diperintahkan, dilarang, amaupun dibebaskan memilih antara keduanya. Dalam persoalan ini tidak mungkin mensejajarkan antara tingkat manfaat dan mandlaratnya, atau antara manfaat berbuat dan meningalkannya. Perilaku terhadap perbuatan ini tidak mendapat ganjaran atau tidak pula mendapat ancaman.
Ada beberapa dalil mengenai martabat hukum Al Afwu :
a. Hukum taklif berhubungan erat dengan perebuatan mukallaf, dengan tujuan tertentu ketika dkerjakan. Ketika ada perbuatan tidak berhubungan dengan hukum taklif, dan perbuatan tersebut harus ditetapkan hukumnya, maka perbuatan tersebut ada pada martabat Al Afwu.
b. Ada nash khusus yang menunjukkan adanya hukum dengan martabat Al Afwu.
Sabda Nabi Muhammad SAW :
c. Nash
Dalam syari’at terdapat ketentuan yang membahas Al Afwu, yaitu ketika berbicara pada masalah ijtihat, hubungan kesalahan yang dilakukan oleh seorang Mutjahid. Rosulullah tidak senang kepada orang yang mempermasalahkan sesuatu hal yang tidak diturunkan hukumnya oleh Allah SWT. Rosulullah bersabda :
Nabi juga menolak pertanyaan orang tentang haji, apakah diwajibkan setiap tahun (yang seharusnya tidak perlu mempertanyakan hal itu), Nabi menjawab :
Terhadap semua persoalan yang ditunjuk oleh Nash diatas adalah hukum Al Afwu, yang diantara apa yang harus dipertegas dan tidak perlu dipermasalahkan sudah jelas.
Tingkatan AL Afwu :
Al Afwu mempunyai tingkatan sebagai berikut :
a. Al Afwu yang disepakati
Ada beberapa hal yang ketika terjadi kesalahan dimanfaatkan secara ittifak, yaitu
• Orang yang lupa dan tersalah terhadap hukum syara’, yang terjadi kepadanya adalah dimanfaatkan, dan tidak terkena beban hukum.
• Orang yang tersalah dalam berijtihad, bagi yang bersangkutan tidak ada beban hukum yang memberatkan.
• Orang yang dipaksa berbuat sesuatu, sedangkan ia tidak kuasa untuk menolaknya.
• Memilih mempergunakan dalil yang tidak didukung oleh dalil yang kuat, sementara ada dalil yang kuat, dan keduanya menetapkan hukum yang bertentangan.
• Berbuat sesuatu dihadapan orang yang mempunyai legitimasi terhadap hukum berbuat sesuatu, tetapi mereka tidak melarangnya.
• Peminum khomer saat belum ada nash yang mengharamkannya.
• Menikahi wanit yang tidak diketahu secara jelas antara ia dan anita tersebut terdapat hubungan darah.
b. Al Afwu yang diperselisihkan
Al Afwu yang penggunaanya diperselisihkan.
الصحة والفاسد والبطلان
SIHAH, FASAD, DAN BATAL
1. Sihah
Pengertian
الصحة في اللغة مقابل للسقم ، وهو المريض
Sihah menurut arti bahsa adalah kebalikan dari sakit.
Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul Fiqh adalah terlaksananya pekerjaan antara benar dan salah, dan pekerjaan itu ada dalam kebenaran.
Pekerjaan syara’ itu dianggap benar, apabila dipenuhi ketentuan syarat dan rukunnya.
Dalam bermu’amalah dampak dari sahnya suatu perbuatan :
• Jual beli yang dilakukan oleh sesorang, berakibat adanya perpindahan kepemilikan.
• Dalam sewa menyewa, sahnya suatu pekerjaan adalah adanya hak memanfaatkan bagi penyewa, adanya hasil seawaan bagi yang menyewakan.
• Dlam sebuah akad jual beli, sahnya suatu akad apabila dalam jual beli pembeli ada kewenangan penuh memanfaatkan barang yang dibeli.
• Dan dalam perkawinan, adanya hak mempergauli istri bagi suami secara sah.
Adapun sahnya perbuatan ibadah apabila seseorang memenuhhi ketentuan tuntutan syara’, yang dampak perbuatan tersebut ditandai dengan gugurnya suatu tuntutan, karena perbuatan telah sesuai dengan syarat dan rukun yang diperintahkan syara’, sehingga menggugurkan kewajiban qodlo’.
2. Fasid dan batal
Perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun yang ditentukan oleh syara’ tidak sah, dan dalam syara’ sering disebut dengan istilah batal dan Fasad.
a. Batal
Perbuatan syara’ dikatakan batal apabila terdapat cacat dalam prinsip akad, apakah cacat menyangkut kepentingan shigat akad, seperti akad yang dilakukan oleh orang yang salah satunya adalah gila, atau anak kecil, atau cacat dalam asalnya kad (Ijab dan Qobul), atau cacat dalam harta dan tempat diberlakukannya suatu akad.
b. Fasad
Perbuatan syara’ dinyatakan rusak, apabila terdapat cacat dalam sifat –sifat akad, seperti akadnya cacatnya akad dalam syara’ yang ditetapkan, seperti jual beli yang dilakukan secara tidak lumrah harganya, karena syarat yang ditentukan oleh satu pihak adalah fasad. Menikah dengan muhrim adalah batal, sedangkan menikah tanpa saksi adalah fasad.
العزيمة والرخصة
AZIMAH DAN RUHSAH
Ulama Ushul Fiqh mengomentari azmah dan Rushsah dalam kaitannya dengan hukum terdapat dua pandangan yang berbeda :
a. Sebagian ulama ushul berpendapat : keduanya adalah bagian dari hukum taklif, dimana azimat masuk dalam tataran hukum iqtidla’, dan Ruhsah masuk dalam tataran hukum tahyir.
b. Sebagian yang lain berpendapat : Kedua hukum, Azimat dan Ruhsah adalah bagian dari hukum Wadla’, dimana Ruhsah adalah sifat dari hukum syara’ yang hakiki, namun karena ada sebab tertentu lalu diringankan. Sementara Azimat adalah bentuk ungkapan hukum yang menandai diberlakukannya hukum asal.
Pengertian
العزيمة في اللغة الرقية أو الإرادة المؤكدة
Azimat dalam arti bahasa adalah mendaki, atau kehendak yang sungguh-sungguh. Istilah ini diambil dari istilah “Kesungguhan hati untuk menjalankan suatu yang diperintahkan. Firman Allah
فنسى ولم نجد له عزما ، قصدا مؤكدا
وقال تعالى : إن ذلك لمن عزم الأمور.
Sebagian Rasul disebut dengan ‘ulul azmi, karena kesungguhan dan keteguhannya dalam menegakkan kebenaran.
العزيمة عند الأصوليين : ما شرع من الأحكام الكلية ابتداء لتكون قانونا عاما لكل المكلفين في جميع الأحوال.
Azimat adalah hukum-hukum umum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT sejak semula dan tidak dikhususkan oleh kondisi dan oleh Mukallaf. Dia adalah hukum asli, dan mengikat pada seluruh komunitas manusi. Masuk tatanan azimat adalah :
- Hukum yang menasakh maka hukum lain, yang berarti hukum sebelumnya dianggap belum ada hukum.
- Hukum yang disyariatkan untuk mendatangkan kemaslahatan umum, seperti jual beli, sewa menyewa, akan mudlarabah, dan qisas
- Hukum yang merypakan pengecualian dari kaidah/dalil umum, seperti hukum dalam firman Allah Ta’ala :
ولا يحل لكم أن تأخذوا مما أتيتموهن شيءا إلا أن يخافا ألا يقيما حدود الله - ( فحرم أخذ شيئ من المهر إلا في حال الخوف من التقصير في حقوق الله ) فللأخذ في هذه الحال عزيمة .
الرخصة في اللغة التيسير والتسهيل
Ruhsah menurut bhasa adalah kemudahan
عند الأصوليين : هي الأحكام التي شرعها الله تعالى بناء على أعذار العباد ، رعاية لحاجتهم مع بقاء السبب الموجب للحكم الأصلى
Menurut ushul fiqh : Ruhsah adalah hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang mempunyai udzur syara’, dengan disertai sebab yang memalingkan dari hukum asli.
Atau dengan ungkapan lain :
أو هى : إنتقال ما هو موضع النهي إلى مباح أو ما هو مطلوب على وجه الحتم واللزوم إلى الترك في أمد معلوم
Ruhsah adalah perpindahan kedudukan hukum yang semula dilarang lalu diperbolehkan untuk mennggalkan dalam batasan waktu yang telah ditentukan.
Contoh :
- Dipaksa mengucapkan kalimat kafir, ruhsah karena terpaksa.
- Makan bangkai karena dlarurat, ruhsah karena mempertahankan hidup.
Macam-macam Ruhsah
Imam Syafi’i membagi ruhsah menjadi empat bagian, yaitu :
a. Ruhsah Wajibah, yaitu makan bagi orang yang dlarurat, untuk mempertahankan hidup. Dalilnya adalah :
ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة
b. Ruhsah Sunnah. Seperti shalat qosor bagi musafir, ketika bepergian sampai tiga hari atau lebih. Dasar yang dipakai adalah pendapat Umar.
صدقة تصدق الله بها عليكم فاقبلوا صدقته
c. Ruhsah Mubah, Akad salam, sewa menyewa, musakoh, dan lain-lain.
d. Ruhsah khkilaful aula. Berbuka puasa bagi orang yang bepergian, dan tidak ada tanda-tanda kemadlaratan ketika berpuasa. Firman Allah :
وأن تصوموا خير لكم
Imam Hanafi membagi Ruhsah, juga dalam empat macam, yaitu :
a. boleh berbuat yang diharamkan karena dlarurat, dan hajat. Seperti :
- Mengucapkan kalimat kafir karena dipaksa, untuk menyelematkan diri dari pembunuhan, asalkan hatinya tetap iman.
Dalilnya :
من كفر بالله من بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان
- Dipaksa berbuka pada siang Ramadhan
- Kehalalan makan bangkai karena sangat lapar.
- Kebolehan minum khomer karena sangat kehausan.
Hukum melakukan beberapa hal di atas jaiz, kecuali ada ancaman pembunuhan, maka melakukannya adalah wajib, dan ketika menolak lalu dibunuh, dia berdosa, karena sama dengan bunuh diri.
Sebagian ulama berpendapat :
Harus untuk dipaksa kafir, yang baik melakukan hukum azimat, sehingga ketika itu terjadi dan dibunuh, maka dia dapat pahala.
واستدلوا مما يروي أن مسيلمة الكذاب أحذ اثنين من أصحاب رسول الله صلعم : فقال للأول : ما تقول في محمد ؟ قال : رسول الله ، قال : فما تقول في ؟ قال : وأنت أيضا ، فخلى سبيله ، وقال الأخر : : ما تقول في محمد ؟ قال : رسول الله ، قال : فما تقول في ؟ قال : أنا أصم لا أسمع ، فأعاد عليه ثلاثا ، فأعاد جوابه ، فقتله. فبلغ ذلك رسول الله صلعم فقال : أما الأول فأخذ برخصة الله ، وأما الثاني فصدع بالحق فهنيءا له
b. Boleh meninggalkan wajib, apabila harus melakukan akan mendapatkan kesulitan. Seperti contoh berikut ini :
- Meninggalkan puasa karena bepergian, atau sakit, dalil :
-
فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
- Mengkhosor sholat yang empat rakaat bagi yang bepergian.
وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة
c. Kebolehan orang melakukan transaksi dan perjanjian tertentu yang menjadi hajat orang banyak, seklipun melanggar kaidah yang ditetapkan.
Seperti mengakadkan salam, yang mengakadkan barang yang tidak ada, yang berarti batal, syara’ mengijinkan karena hajat orang banyak.
d. Mencabut hukum yang pernah disyariatkan pada masa-masa yang lalu, tetapi kalau diterapkan untuk masa sekarang menyulitkan.
- Seperti syarat yang diberlakukan untuk membunuh seseorang yang bertaubat dari kemaksiatan.
- Membuang najis dari pakaian dengan cara menggunting pakaian yang ada najisnya.
- Wajib membayar zakat seperempat dari harta kekayaan.
- Sholat batal karena dikerjakan tidak pada tempat yang biasa dipakai untuk sholat.
Dasar yang dipakai untuk dalil:
 ربنا ولا تحمل علينا إصرا كما علي الذين من قبلنا
 ويضع عنهم إصراهم والأغلال التي كانت عليهم.
Pasal II
Al Hakim
Telah disepakati oleh umat muslim pasca diutusnya Rasul dan sampainya berita siaran agama ditelinganya, sumber pokok semua hukum taklif maupun hukum Wadl’i adalah Allah SWT, baik secara langsung melalui berita nash Al Qur’an dan hadist, maupun melalui berita para Mujtahid yang bertugas mempertegas status suatu hukum atas dasar nash. Dasar yang mereka pergunakan adalah firman Allah :
Kaum Mu’tazilah sependapat dengan Kaum Ahlus Sunnah selain pada identifikasi hukum suatu permasalahan dan methode penetapanya sebelum diutusnya Rasul, yakni Mu’tazilah mengedepankan akal, dengan mengesampingkan dalil Nakl. Akal bagi Muktazilah sangat dimungkinkan untuk menemukan hukum Allah dalam suatu perbuatan tertentu, identifikasi akan terhadap kebaika persoalan atau kejelekannya akan sambung dengan identifikasi kebaikan dan kejelekan menurut Allah. Mereka menyatakan, syariat akan dapat terbuka (yang sebelumnya belum ada) karena usaha akak.
Kaum Asy’ariyah berpendapat, identifkasi hukum syara’ sebelum terutusnya Rasul adalah otoritas para Rasul, dan tidak memberi ruang gerak akal menjadi sumber hukum, bagi Allah hukum tidak berkait dengan perbuatan Mukallaf, mereka kafir, atau Mukmin, tidak terkena sangsi Hukum.
Baik dan Buruk
Ada persolan yang muncul ketika berbicara nilai baik dan buruk yang ditentukan yag ditentukan oleh akan manusia, disamping persoalan baik dan buruk yang disepakati bersumber dari syari’at, yakni apa yang dikatakan baik oleh syari’at berarti baik dan harus dilakukan oleh kita, dan sebaliknya. Adapun baik dan buruk menurut akan akan diperinci sebagai berkut ini.
Ulama’ Asy’ariyah, dan Mu’tazilah sepakat, akal dapat menemukan baik dan buruk dalam dua hal :
a. Akal akan menyatakan baik terhadap sesuatu yang dinyatkaan baik oleh hati nurani, insting, dan naluri manusia, seperti rasa manis, indah atau merduanya suara, terselematkan dari bahaya yang kan menimpa. Dan akal akan menyatakan sesuatu itu buruk ketika sesuatu itu berpaling dan bertentangan dengan kehendak hati nurani, insting, naluri manusia, seperti rasa pahit, suara kasar, dan mengambil harta orang secara aniaya.
b. Akal akan menyatakan baik terhadap sesuatu yang secara umum dinyatakan baik, seperti kebaikan ilmu pengetahuan, dan kebaikan sifat dan sikap jujur.
Fasal III
( Mahkum Fihi / bihi)
Pengertian
Adalah perbuatan Mukallaf yang berhubungan dengannya hukum syara’, baik dalam bentuk tuntutan, hak memilih maupun wadla’.
Firman Allah berikut ini adalah dalil yang menuntut perbuatan tertentu kepada Mukallaf :
Firman Allah :
Adalah tuntutan syra’ berbentu “Al Ijab” untuk mukallaf, yang konsekuensinya Mukallaf harus mengerjakannya.
Firman Allah
Adalah tuntutan syra’ berbentuk “Nadb” yang konsekuensi bagi Mukalladf adalah Sunnah melaksanakannya.
Firman Allah
Adalah tuntutan syara’ berbentuk “Tahrim” yang konsekuensinya adalah Mukallaf dilarang mengerjakannya. Ketentuan untuk Mukallaf dalam mengerjakan hukum taklif adalah perbuatan yang mungkin dapat dikerjakan oleh Mukallaf dalam keadaan ikhtiari sejak disyariatkanmnya hukum tersebut, baik itu wajib, sunnah, haram maupu mubah. Sedangkan hukum Wadl’i, terkadang dapat dikerjakan, atau tidak dapat dikerjakan oleh Mukallaf, melihat illat yang melatar belakangi mukallaf terhadap perbuatan tersebut, apakah berbentuk sebab, syarat atau manik.
Syarat Makhkum fih
Ada tiga syarat berlakunya tuntutan dikerjakan oleh Mukallaf :
a. Perbuatan diketahui oleh Mukallafdengan ilmu yang jelas, sehingga ada kejelasan pelaksanannya, dan mukallaf ada kekuatan untuk mengerjakannya. Mukallaf tidak dituntut mengerjakan suatu perbuatan kalau tidak mengerti syarat dan rukun perbuatan itu, kalau perintahnya oleh dalil yang mujmaldan belum ada nash atau keterangan lain yang memperjelas perintah tersebut, seperti sholat yang diperintahkan melalui dalil yang mujmal, yaiatu “Aqimus Sholat”, belum akan dapat dikerjakan sebelum ada penjelasan nabi “ “, demikian halnya dengan syari’ah haji yang diperintahkan melalui ayat “Wa atummul hajja wal umrata lillah”belum akan dapat bermakna selagi belum ada hadis “Khudzu ‘anni manasikum”.
b. Diketahui bahwa tuntutan Allah itu untuk dikerjakan oleh Mukallad, sehingga adaya ketaatan dan kepatuhan Mukallad terhadap perintah Allah tersebut. Agar mukallaf mengetahui secara baik pada tuntutan Allah, maka Mukallaf harus berusaha mengetahuinya, baik melalui kajian terhadap syari’ah hukum islam, sehingga tidak ada istilah pada daerah yang syarat dengan orang ahli, tidak mengetahui hukum islam.
c. Tuntutan syara’ dapat dikerjakan oleh mukallaf, terhadap masalah tuntutan, hubungannya dengan mukallaf mungkin dapat mengerjakannya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Tuntutan syara’ akan gugur dengan sendirinya, apabila tuntutan tersebut tidak mungkin dapat dikerjakan oleh Mukallad, seperti adanya tututan yang mengandung dua hukum yang bertentangan, atau tuntutan yang tidak masuk akal dalam ukuran perbuatan manusia, seperti perintah terbang, menjatuhkan diri dari bukit, atau yang lain. Dalilnya :
2. Tidak sah menurut syara’ tuntutan pada mukallaf, untuk dikerjakan oleh orang lain, atau mencegah terjadinya suatu perbuatan kepada orang lain. Seperti sholat untuk seseorang yang harus dikerjakan oleh orang lain, atau seseorang yang dtuntut untuk menzakatkan temannya, dan mencegah tetangganya untuk tidak berbuat pencurian.
Dalil pernyataan ini :
a. Tuhan tidak akan mengusut pada seseorang mengenahi perbuatan orang lain, karena hak seseorang yang mungkin dilakukan untuk orang lain adalah memberi nasehat, dan amar makruf, nahi munkar.
Firman Allah :
b. Perbuatan badaniyyah untuk seseorang tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, atas dasar :
Adapun haji menurut jumhur ulama’ boleh digantikan oleh orang lain dengan syarat-syarat tertentu. Akan tetapi Imam Malik menolak, yakni haji tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam keadaan apapun.
Ulama Asy’ariyyah berpendapat, bahwa ibadah badaniyyah dapat digantikan oleh orang lain, termasuk mengkodlokan puasa orang yang sudah wafat. Dalil mereka adalah :
3. Tidak syah menurut syara’ tuntutan pada persoalan watak dasar manusia, dimana manusia tidak dapat menciptakannya dan tidak dapat pula mempola sedemikian rupa, seperti masamnya muka karena malu dan takut, sufat marah dan bahagia, cinta dan benci, tertarik pada makanan dan minuman tertentu, terhadap semua sikap ini tuntutan tidak berlaku, karena semua itu bukan sesuatu yang menjadi kehendak dan diciptakan oleh manusia, akan tetapi semata-mata karena kudrat dari Allah SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW :
Fasal IV
( Al Mahkum ‘Alaih )
Pengertian
Mahkum ‘alaih adalah : seseorang yang perbuatannya berhubungan dengan khitab Allah, kemudian seseorang tersebut disebut Mukallaf.
Mukallaf dintuntut oleh hukum Syari’, apabila memenuhi dua syarat :
4. Mukallaf mempunyai kemampuan hukum taklif, karena tuntutan itu berbentuk hitob, dan hitob tidak mungkin utuk orang yang tidak mampu memahaminya. Akal sebagai alat dan sarana untuk menemukan pemahaman sangat dimungkinkan dapat memahami hitob syara’ sekaligus mengikuti aturannya. Ketika orang mempersoalkan akan sebagai dzat yang samar, dan persoalan tuntutan syara’ adalah berhubungan dengan perbuatan dzahir, maka akan mencitkan suatu metode menemukan hukum syara’ dengan satu predikat, yaitu Al Akil. Selanjutnya seorang disebut Mukallaf, kalau orang itu mempergunakan akalnya untuk memahami dan menghayati setiap ucapan dan perbuatan yang terjadi antar sesama manusia, dan akal tidak menampakkan kecacatan dalam menunjukkan argumentasinya.
Proses mengenali akal dalam fungsi tersebut dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu:
a. Dalil yang difahami oleh Mukallad adalah dalil yang terperinci, bukan dalil yang global.
b. Orang gila dan anak kecil yang belum mumazziz bukan mukallad, karena tidak mampu memahami esensi Hitab. Adapun anak yang mumazziz (memahami esensi hukum syara’), dalam hal ibadah mereka termasuk mukallad, akan tetapi dalam hal akidah mereka dinyatakan faham yang tidak sempurna.
c. Orang yang sedang tidur, atau orang yang sedang lupa, dan orang yang sedang mabuk tidak dianbggap mukallaf, karena saat itu akalnya tdak mampu memaham hitob syara’.
Dalilnya :
Ada tyga keberatan terhadap keputusan syara’ yang menyatakan tidak mukallaf bagi orang gila, anak-anak dan orang mabuk, yaitu :
a. Kalau muncul persoalan, bahwa anak-anak dan orang gla tidak mukallad, amun dalam hal zakat, nafkah, dan dzaman mereka tetap dituntut, semata-mata bukan berhubungan dengan status orangnya, akan tetapi lebih berhubungan harta yang dimilliki dan tanggungan yang menjadi bebannya. Pun pula anak-anak yang memazziz, mereka diwajibkan menjalankan shalat, semata-mata perintah untuk walinya, bukan untuk anaknya. Dalilnya :
b. Hitab Allah
Adalah hitab yang tidak dimaksudkan untuk memberi toleransi untuk tidak menjalankan sholat bagi peminum yang mabuk, akan tetapi ditekankan pada bagaimana orang tetap menjalankan sholat dan mereka tidak dalam kondisi mabuk saat akan melaksanakannya.
c. Hukum syara’ adalah bahasa Arab, bahasa al qur’an dan ditujukan untuk seluruh ummat manusia, sementara banyak orang tidak faham akan bahasa itu, mereka tetap dituntut utuk faham dan dinyatakan sebagai mukallaf, dengan cara mereka harus belajar bahasa arab, atau belajar agama dengan pendekatan bahasanya, namun fiorman Allag adalah totalitas untuk semua ummat.
Firman Allah :
5. Muikallaf mempunyai kemampuan (ahliyyah) menjalankan hukum taklif. Firman Allah :
Makna kemampuan adalah kelayakan, dan kelayakan akan terjadi hanya dengan akal dan pemahaman secara menyeluruh.
Al Ahliyyah dan Pembagiannya
Ulama Hanafi membagi Al Ahliyyah dalam dua bagian, yaitu Ahliyatul Wujub dan Ahliyatul Ada’
Ahliyatul Wujub
Adalah kelayakan (kesiapan) manusia dalam menerima hukum syara’, sehingga ketetapan syara’ dalam berbagai hak dan kewajiban dapat mereka penuhi. Dasar bagi ketetapan pemenuhan hak dan kewajian syara’ bagi manusia adalah kehidupan (tanggungan). Tanggungan bagi manusia akan tetap menjadi hak dan kewajibannya, apabila sifat hidup masih disandang, sejak ada dalam kandungan sampai kematian menjemput ajalnya.
Ahliyatul Ada’
Adalah kelayakan (kesiapan) manusia untuk memunculkan ucapan dan perbuatan sebagai bentuk pemenuhan terhadap tuntutan syara’, dasar penetapan kelayakan ini adalah adanya kemampuan. Apabila muncul dari ucapan atau perbuatan mukallad akan atau tindakan hukum tertentu, seperti sholat, zakat, puasa dan perbuatan syara’ yang lain, maka ucapan dan tindakan tersebut syah adanya menurut syara’ dan tuntutan bagi mukallad telah gugur, atas dasar adanya kemampuan di atas. Mahkum alaih dapat berupa mukallaf secara individual, dapat pula berupa kelomok manusia, seperti yayasan, syirkah , atau bahkan baiotul mal, seperti ungkapan “Baitul Maal waritsu man la walisan lahu”. Dan dikatakan :”Syeh Wasiyyah untuk masjid, dan bagi masjid ada ketetapan hak atas wasiat tadi, boleh wakaf kepada anak yang masih ada dalam kandungan, serta tetap atas meeka hak waris, utang mayyid masih akan menjadi tanggungannya, setelah seluruh kewajiban merumat, mengkafani, memandikan dan mengubur, serta memenuhi wasiyatnya. Ini berarti ahwa ketetapan memenuhi kewajiban syara’ tidak hanya untuk manusia secraa individual, tetapi juga untuk manusia dalam arti kelembagaan.
Bentuk-bentuk (keadaan) ahliyyah
1. Ahliyatul Wujub
Ahliyatul Wujub, adakalanya Naqishah, dan adakalanya Kamilah.
Ahliyatul wujub Naqishah, adalah yang terjadi untuk janin yang ada dalam rahim ibuunya, hak sesuatu akan dimilikiya, akan tetapi kewajiban menunggu saat mereka dilahirkan dan selamat (hidup). Hak yang menjadi miliknya tidak perlu adanya ijab qabul, sepert hak menerima waris, menerima wasiyat, dan hak-hak wakaf, sehngga untuk orang lain hak di atas tdak memiliki kewajiban tertentu, dan tidak akan pula menerima dan bahkan tidak syah menerima ijab qabul, seperti hak untuk diperjual belikan, dihibahkan dan lain-lain, tidak pula mengandung hak untuk memenuhi hak nafkah orang lain, sekalipun dibutuhkan. Dan tanggugan hutang mayyid ketika masih hidup, juga masuk dalam kategori hak naqishah.
Ahliyatul Wujub Al Kamilah, adalah ketetapan untuk manusia terhadpa pemenuhan hak dan kewajiban sejak dilahirkan, dan berlaku sepanjang masih hidup. Menyangku hak dan kewajiban anak yang bekum berumur tujuh tahu, yang dinyatakan memenuhi hak dan kewajiban menerima tuntutan syara’, tidak ada sesuatu yang patut dipersoalkan, karena hak dan kewajiban bagi anak tersebut dapay digantikan oleh walinya, seperti hak nafkah, memberio zakat, zakat fitrah. Mereka tidak ahliyatul ada’ yang mutlak, karena kondisinya masih lemah, dan akalnya belum mampu,
Ketika ada tuntutan yang berhubungan dengan kewajiban terahdap harta kekayaannya, seperti zakat, tanggungan merusakkan barang atau tuntutan pidana, hitob tuntutan hakikatnya ditujukan kepada walinya.
2. Ahliyatul Ada’
Ahliyatul ada’ ini berlaku untuk persoalab Mu’amalah, transaksi dan memenuhi tuntuta syara’ yang lain . Adakalanya Naqishah dan ada kalanya kamlah. Usia untuk Ahliyatul Ada ini adalah usa keputusan menerima tuntutan syara’(tamziz). Anak dibawah umur, dan orang gilatidak termasuk ahliyatul Ada’, sehingga mereka tidak ada kewajiban memenuhi tuntutan syara’, dan bahkan ada yang melakukan pun batal kecuali ada tuntutan pidana atau kematian orang lain dan denda tertentu atas hartanya, maka walinya ada tuntutan pidana atas kematian orang lain dan denda tertentu atas hartanya, maka walinya yang berhak mentasarrufkan, dan memenuhi akan tersebut.
Ahliyatul Ada’ An Naqishah
Adalah ketetapan diberlakukannya hukum syara’ untuk orang usa tamziz sampai baligh. Mereka tetap ada dalam posisi ini sampai kondisi lai yang menimbulnya cacat akalnya.
Kondis Ahliyatul Ada’ dibedakan dalam hak memenui kewajiban Allah, dan hak memenuhi kewajiban atar sesama hamba Alla.
- Dalam hak memenuhi kewajiban Allah dapat terjadi dari anak yag mumazziz, seperti imam, kafir, sholat, puasa, dan haji. Akan tetapi bagi mereka tidak ditetapkan (ditunntut) menjalankan ibadah, kecuali semata-mata hanya untuk melatih, dan tidak dituntut membayar (diwaktu lain) ketika mereka terlengah.
- Dalam hubungannya dengan pemenuhan hak sesama manuisia, Imam Syafi’i berpendapat, akad dan transaksi usia anak adalah batal. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Tasharruf dan akad anak-anak, dibagi dalam tiga kategori, yaitu
a. Mengadakan transaksi terhadap sesuatu yang murni akan memberi manfaat, adalah transaksi yang memberi keuntungan untuk dirinya sendiri, seperi menerima pemberian, menerima shodaqoh, dan hak menerima upah atas jerih payahnya, dan hak mewakili menerima sesuatu atas ornag lain. Transaksi ini syah, dan tidak perlu meminta idzin dari walinya.
b. Mengadakan transaksi terhadap sesuatu yang murni mendatangkan bahaya, adlah transaksi yang merugikan terhadap sesuatu yang dimilikinya, seperti transaksi untuk talak, kemerdekaan buidak, menghibahkan, menshadaqahkan, mewakafkan, harta yang dimiliki, menanggung utang tertentu, atau menanggung hak hidup orang lain. Teradap transaksi ini tidak boleh dilakukan oleh mumazziz, sekalipun diketahui oleh walinya, karena wali tidak mempunyai hak terhadap sesuatu menyangkut transaksi.
c. Mengadakan transaksi yang mengandung resiko manfaat dan bahaya. Adalah transaksi yang mereka lakukan mungkin utang dan mungkinrugi, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Transaksi ini bag anak yang mumazziz syah, lebih-lebih diketahui oleh walinya. Adapun kalau walinya melarang, maka hukum yag berlaku adalah larangan wali, sehingga transaksi batal, karena hak pemilikan anak itu naqish yang butuh bimbingan.
Ahliyatul Ada’ Kamilah
Adalah ketetapan untuk kelompok orang yang sudah baligh, baik diukur dari tanda-tanda yang melekat pada diri manusia (sunnatullah), seperti ikhtilam bagi laki-laki, dan menstruasi bagi perempuan, atai ditandai dengan setelah cukup umur sampai lima belas tahun. Prinsip dasar dari ukuran baligh adalah perkembangan akal, namun karena akal itu sesuatu yag samar, maka baligh diukur denan cukupnya umur. Tuntutan hukum syara’ standarnya adalah tanda-tanda dzahir seseorang yang menentukan bahwa yang bersangkutan mempunyai akal yang baik, dan tidak ditemukan keberatan tertentu, meeka berkemampuan melaksanakantututan hukum syara’, diberi pahala bila mengerjakan dan dosa ketika meninggalkan, berarti meeka Ahliyatu Al Ada’ Al Kamilah. Dan baginya syah mengadakan segala bentuk akad dan transaksi.
Penghalang Ahliyah (kecakapan)
Penghalang kecakapan bagi mukallaf adalah segala sesuatu yang muncul kehadapan manusia, dan menghilangkan atau mengurangi kecakapannya, atau merubah ketetapan hukumnya. Penghalang taklif ada dua macam, yaitu :
a. Penghalang sama’i adalah penghalang yang tidak diikhiarkan atau diupayakan oleh manusia. Macam penghalang sama’i ada sebelas macam, seperti gila, usaia anak-anak, hilang akal (bingung), lupa, tidur, ayan, budak, sakit, khaidl, nifas dan mati.
b. Penghalang kasbi, adalah penghalang kecakapan karena ucaha dan ikhtiyar yang dilakukan oleh manusia sendiri. Penghalang kasbi ada tujuh macam, ada yang melekat pada diri manusia itu sendiri, sepert bodoh, mabuk, sembrono, ediot, dan terlena, dan ada yang datang fihak lain, yaitu dipaksa berbuat sesuatu.
مصادر الأحكام الشرعية
Sumber-sumber hukum syara’
a. Pengertian dan macam-macamnya :
مصادر الأحكام الشرعية هي الأدلة الشرعية التي يستنبط منها الأحكام الشرعية
Pengertian sumber hukum syara’ adalah dalil-dalil syara’ yang dijadikan sebagai pijakan penetapan hukum syara’
Sedangkan pengertian dalil adalah :
الدليل ( لغة ) الهادي إلى أي شيئ حسي أو معنوي
Dalil menurut lughat adalah suatu yang memberi petunjuk untuk mengetahui segala sesuatu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
عند أهل الأصول : ما يتوصل بصحيح النظر فيه إلى حكم شرعي عملي .
Dalil menurut lughat : petunjuk ke arah sesuatu ( tujuan ) yang dikehendaki, baik bersifat material maupun essensial
Sedangkan menurut pendapat ahli ushul fiqh : pandangan ( cara berfikir ) melalui akal yang sehat dan cerdas yang dapat menghubungkan ( dapat menemukan ) hukum syara’ yang amali ( praktis ) .
Ada dua macam dalil, yaitu :
a. Dalil yang penggunaannya disepakati oleh jumhur al Ulama’
Dalil ini ada empat macam, yaitu al Qur’an, al Hadits, al Ijma’ dan al Qias.
b. Dalil yang penggunaannya diperselisihkan oleh para Ulama’
Dalil ini banyak sekali, sedagkan yang masyhur ada tujuh macam, yaitu :
Istishlah, Istikhsan, Istish-hab, Urf, sadz- al Dzari’ah, Madzhab shahabat, syari’at orang-orang seblum kita.
Bentuk dalil l muttafaqah ada kalanya :
a. Wahyu, baik yang harus dibaca, yaitu al Qur’an dan tidah dianjurkan untuk membacanya, yaitu al Hadits
b. Bukan wahyu, dalil ini ada yang berbentuk pendapat ahli ijtihad ( Ijma’ ) dan analogis ( Qias )
Adapun dasar penggunan dalil al muttafaqah :
a. al Qur’an :
يا أيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم ، فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلى الله والرسول
b. Hadits Nabi SAW :
حديث معاد بن جبل الذي بعثه رسول الله صلعم قاضيا بلإسلام إلى اليمن ، فقال له الرسول : كيف تقضي يا معاذ إذا عرض لك قضاء ؟ قال ، أقضي بكتاب الله ، قال : فإن لم تجد في كتاب الله ؟ قال ، فبسنة رسول الله ، قال : : فإن لم تجد في سنة رسول الله ؟ قال ، أجتهد برأيي ولا ألوا – أي لا أقصر في الإجتهاد – فضرب رسول الله صلعم على صدره ، وقال : الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي الله ورسوله ( الحدث أو كما رسول الله صلعم )
c. Pendapat shahabat :
وكان أبو بكر الصديق رضي الله عنه إذا ورد عليه الخصوم نظر في كتاب الله ، فإن وجد فيه ما يقضي به قضى به ، فإن لم يكن في كتاب الله وعلم عن رسول الله في ذلك الأمر سنة قضى بها ، فإن أعياه أن يجد في سنة رسول الله جمع رؤس الناس وخيارهم فاستشارهم ، فإن أجمع رأيهم علي أمر قضى به ، وكذالك كان يفعل عمر وبقية الصحابة وأمرهم على هذه الخطة المسلمون .
Klasifikasi dalil :
Dari penggunaan dalil diatas, baik yang muttafaqah maupun yang mukhtalafah, ada dua klasifikasi dalil, yaitu :
a. Dalil Naqli ; al Qiur’an, al Sunnah, Ijma’, al Urf, Syar’ orang sbelum kita, dan Madzhab shahabat.
b. Dalil aqli ; Qias, Istishlah, Istikhsan, Istish-hab, dan sdz al Dzari’ah.
Penggunaan dalil:
Penggunaan dalil dalam menjawab setiap masalah yang timbul adakalanya :
• Bersifat mandiri, yakni dalam menetapkan hukum syara’ tidak membutuhkan bantuan perangkat lain, yaitu :
Al Qur’an, al Hadits, Ijma’ dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti Istikhsan, Urf, dan Madzhab shahabat.
• Tidak mandiri, yakni penggunaan dalil yang harus mengacu pada hukum ashal, yaitu Qias.
Penggunaan dalil oleh para Imam :
Dalam menetapkan hukum syara’, baik dalil muttafaqh maupun mukhtalafah dapat dipergunakan. Akan tetapi tidak semua dalil dipergunakan oleh para Imam Madzhab. Berikut ini para Imam Madzhab dan dalil-dlil yang dipakai untuk berijtihad :
a. Imam Abu Hanifah, dalam berijtihad berpedoman pada tujuh dalil pokok, yaitu ; al Qur’an, al Hadits, al Ijma’ al Qias, Istikhsan, Urf, al Istishlah.
b. Imam Malik dalam berijtihad mempergunakan perangkat dalil lima macam, yaitu : al Qur’an, al Hadits, ‘amal ( Ijma’ ) ahlil Madinah, Qias, dan Islishlah.
c. Imam al Syafi’ii, dalam berijtihad, Imam syafi’I menggunakan perangkat dalil lima macam, yaitu : empat dalil yang disepakati penggunaannya dengan tambahan syarat untuk hadits harus yang shahih, dan Istsh-hab.
d. Imam Ahmad bin Hanbal, dia berijtihad menggunakan dalil sebagai berikut , yaitu : al Qur’an, Hadits Marfu’, Fatwa shahabat, Hadits Hasan, Mursal dan Dhaif, dan Qias..
ياأيها الذين أمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤسكم وأرجلكم إلى الكعبين ، وإن كنتم جنبا فاطهروا ، وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لمستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا …. الأية . ( المائدة : 6 )
Perintah :
One. Maslah hukum :
 Identifikasikan maslah maslah hukum yang ada dalam ayat diatas.
 Jelaskan penerapan hukum dalam bab ini, kapan wajib, sunnah, dan seterusnya.
 jelaskan, bagaimana prses Ijtihat para Ulama’ Fiqh sampai menemukan atau menetapkan hukum ini.
 tuliskan dalil lain yang mendukung diberlakukannya perbuatan hukum maslah diatas.
Two. Maslah Thaharah.
• Jelaskan proses diberlakukannya hukum dan wilayah tayammum, jawaban dengan menyebut udzur wudlu .
• Makna lafadz : فاطهروا apabila dikaitkan dengan hak wathi, jelaskan pendapat masing masing Ulama’ fiqh.
• jelaskan illat hukum, mengapa hukum najis, dan cara mensucikan anjing diperdebatkan, dan apa kekuatan maupun kelemahanya apabila anjing dianalogkan dengan hewan najis yang lain.
Three. Maslah Wudlu.
• Jelaskan dalil ijtihad syafi’I, tentang rukun wudlu ada enam.
• Jelaskan pendapat Ulama’ tentang sesentuhan laki-laki perempuan, batasan mengusap kepala, tartib ada’ al wudlu.
• Tuliskan dalil wudlu sebagai syarat syahnya shalat.
Jelsakan, ada berapa sistem hukum yang terkandung dalam ayat ini !
One. Jelaskan sekitar perbedaan Ulama dalam maslah wudlu.
Two.
Sumber-sumber Hukum Syari’ah
Pengertian
Sumber hukum Islam adalah dalil-dalil syari’ah yang dijadikan sebagai sumber penetapan hukum syari’ah. Dalil punya dua makna yaitu :
1. Makna lughat adalah jalan untuk mendapatkan sesuatu, baik secara langsung, maupun secara maknawi (tidak langsung).
2. Menurut Istilah Ahli Usul Fiqh, dalil adalah alat yang dapat dipakai untuk menemukan (menetapkan) hukum syara’ yang amali (praktis) dengan pertimbangan akal yang sehat dan berfikir secara jernih.
Dalil ada dua macam, yaitu Dalil (Al Adillah) yang penggunaannya disepakati olh jumhur ulama dan bai mukallaf wajib Al ittiba; (mengikuti) dan dall (Al Istidlal) yang penggunaannya diperselisihkan oleh para ulama Usul Fiqh.
Dalil-dall yang penggunaannya disepakati ole para jumhur ulama’ adalah al Qur’an. Al Hadis,. Al Ijma’ dan AL Qiyas. Sedangkan dalil-dalil yang penggunaanya diperselisihkan oleh para ulama jumhur, yang masyhur ada tujuh macam, yaitu Al Istikhsan, Al Maslahah Mursalah atau Al Ishtishlah, Al Istishabb, Al ‘Uruf, Madzab Shahabi, Syari’at orang-orang sebelum bi’tsah Rasul (Syar’u Man Qablana) dan Sadz Dzari’ah.
Dalam pengertian lain dalil dapat dipahami, ada kalanya berupa wahyu baik yang dapat dibaca (Matlu), yakni Al Qur’an, maupun yang tidak dapat dibaca (Ghair Al Matlu), yakni sunnah, dan ada kalanya bukan wahyu baik yang berbentuk pendapat ahlil Ijtihad , yakni al Ijma’ maupun berbentuk Analog (menyamakan hukum suatu persoalan denan yang lain kaena persamaan illat, yakni Al Qiyas.
Penggunaan dall-dalil yang disepakati tersebut secaraberurutan adalah Al Qur’an, Al Hadist, Al Ijma’, dan Qiyas didasarkan pada dilil-dalil
a. Al Qur’an
b. Hadist Nabi Muhammad SAW riwayat Muad bin Jabal
a.
يا أيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم ، فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلى الله والرسول
b. Hadits Nabi SAW :
حديث معاد بن جبل الذي بعثه رسول الله صلعم قاضيا بلإسلام إلى اليمن ، فقال له الرسول : كيف تقضي يا معاذ إذا عرض لك قضاء ؟ قال ، أقضي بكتاب الله ، قال : فإن لم تجد في كتاب الله ؟ قال ، فبسنة رسول الله ، قال : : فإن لم تجد في سنة رسول الله ؟ قال ، أجتهد برأيي ولا ألوا – أي لا أقصر في الإجتهاد – فضرب رسول الله صلعم على صدره ، وقال : الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي الله ورسوله ( الحدث أو كما رسول الله صلعم )
c. Pendapat shahabat :
وكان أبو بكر الصديق رضي الله عنه إذا ورد عليه الخصوم نظر في كتاب الله ، فإن وجد فيه ما يقضي به قضى به ، فإن لم يكن في كتاب الله وعلم عن رسول الله في ذلك الأمر سنة قضى بها ، فإن أعياه أن يجد في سنة رسول الله جمع رؤس الناس وخيارهم فاستشارهم ، فإن أجمع رأيهم علي أمر قضى به ، وكذالك كان يفعل عمر وبقية الصحابة وأمرهم على هذه الخطة المسلمون .

ushul Fiqh 2

SILABUS USHUL FIQH
SETIA WALISEMBILAN SEMARANG
Mata Kuliah : Ushul Fiqh II Kode Mata Kuliah : INS.201
Komponen : MKDK Kelas : Semua daerah
Jurusan : PAI Konsentrasi : Pendidikan Fiqh
Program : S 1 Bobot : 2 SKS

TUJUAN
Agar Mahasiswa mengetahui dan memahami Ushul Fiqh sebagai alat untuk mengistinbathkan hukum dari Qur’an dan Hadits dengan menggunakan kaedah kaedahnya.

TOPIK INTI
Methode Ijtihad
Ijtihad, pengertian, dasar hukum, kedudukan, dan fungsi. Obyek, macam amacam ijtihad, syarat syarat Mujtahid, dan tingkat ijtihad.
Istikhsan, Istishab, dan Istislakh
Al Urf, Sadz al Dzari’ah, Syar’u Man Qablana, dan Qaul Shahaby
ب. مباحث الألفاظ :
1. الألفاظ من ناحية وضوحها وقوة دلالتها في المقصود منها :
- واضح دلالة الألفاظ ( الظاهر ، النص ، المفسر ، والمحكم )
- غير واضح دلالة الألفاظ ( الخفي ، المشكل ، المجمل ، والمتشابه
2. الألفاظ من طرق هذه الدلالة ، أهي بصريحة العبارة أم هي بالإشارة ولوازم المعاني ، أو هي بالمنطوق أم بالمفهوم :
- دلالة العبارة ، دلالة النص ، إشارة النص ، دلالة الإقتضاء ، ودلالة المفهوم أي مفهوم المخالفة
3. الألفاظ من حيث ما يشتمل عليه الألفاظ ومدى ما تدل عليه من عموم أو خصوص ، ومن تقييد أو إطلاق :
- العام والخاص ، دلالة العام ، عام القرأن وخاص الحديث ، تحصيص العام ن وتعارض العام والخاص
- المشترك ، اللفظ المشترك في النصوص القرأنية والنبوية
- المطلق والمشترك .
4. الألفاظ من صيغ التكليف :
5. النسح والمنسوح ، شروط النسح ، مالا يقبل النسح ، النصوص التي يدخل النسح ، ونسح القرأن والسنة .
Referensi :
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1997
Wahbah al Zuhaily, Ushul Fiqh
Abu Zahrah, Ushul Fiqh
Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh
TH. Hasby al Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam I, II
Khudari Bik, Ushul Fiqh
Ash-Shidiqieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Pengamatan Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1997
Mukhtar Yahya, Prof. Dr, Prof. Drs, Fatchurrohman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1986
Asqor,Muhammad Sulaiman, Al Wadhih Fi Ushul Al Fiqh, Kuwait, t,t
Azzahidy, Hafidz Tsanaulah, Taisirul Ushul, Majelis At Tahqiq, Al Atsari, Jahlam, Pakistian, t,t
Al Asy Qor, Muhammad Sulaiman, Dr, Al Wadhih Fi Ushul Al Fiqh, Kuwait, t,t


الإجتهاد

( AL - IJTIHAD )

Pengertian
Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mendapatkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’ yaitu Al- Qur’an dan Al- Sunnah. Orang-orang yang mampu menetapkan dan memutukn hukum suatu peristiwa dengan jalan mengerahkan kemampuan berfikir ini disebut mujtahid.
Ijtihad berasal dari kata al-jahd atau al-juhd yang punya arti al masyaqat ( kesulitan dan kesusahan ) dan ath thaqat ( kesanggupan dan kemampuan ). Kata al-jahd menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Nabi mengungkapkan : صلوا علي واجتهدوا في الدعاء Artinya : “ bacalah salawat padaKu dan bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a ”.
Rahmat Syafi’i MA : Ijtihad merupakan masdar dari ijtahada – yajtahidu – ijtihadan yang berarti usaha lebih sungguh-sungguh. Imam asy - Syafi’i memaknakan : ” ijtihad itu adalah menjalankan qiyas, atau membandingkan sesuatu hukum kepada sesuatu hukum yang lain ” . Secara umum, Ulama’ Ushul Fiqh mengartikan Ijtihad : عملية استنباط الاحكام الشرهية من ادالتهاالتفصيليه في الشريعة Artinya : “ Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dan dalil terperinci dalam syari’at”.
Adapun para pemerhati Ilmu Ushul Fiqh mengartikan Ijtihad sebagaimana berikut ini :
A. Hanafi MA : Ijtihad yaitu menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.
Ali Tahqiq : ” Ijtihad ialah Qiyas dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum ” .
Sebagian ulama Ushul : Ijtihat ialah : ” mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari Kitabullah dan Hadits Rasul . Dalam pandangan ini, mengistimbatkan hukum dengan jalan : Istid-lal, Istishhab, Istihsan, Mashlahat, Murasal ( istishlah ), Bara’ah Ashliyah, Saddudz Dzariah dan Urf masuk kategori ijtihad
Dasar hukum ijtihad

Tertib dasar-dasar Tasyri’

Para sahabat mengambil tertib hukum, mula-mula dari Al-Qur’an. Jika tidak didapati didalamnya, maka diambil dari As Sunnah. Jika tidak juga di dalamnya dilihatlah kepada apa yang telah diijmakan. Jika tidak pula didapati di dalam ijma’ mereka menjalankan Ar Ra’yu.
Pokok dasar bagi tertib ini adalah : tanya jawab antara Rasul dengan Mu’adz dikala Mu’adz pergi ke Yaman untuk menjadi hakim.
Hukum berijtihad dan pahalanya.
Seseorang yang telah mencapai tingkatan mujtahid dalam memecahkan masalah yang dihadapinya ia wajib berijtihad sendiri . Mujtahid dalam menghukumi dalil dzan dilarang bertaqliq kecuali karena sempitnya waktu, dia belum sempat berijtihad, maka syah baginya bertaqliq kepada mujtahid lain yang lebih terpercaya, baik mujtahid yang telah tiada maupun yang masih ada. Dalam hal kesanggupan menetapkan hukum ‘amaly, Mujtahid dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut : Wajib Ain, bagi seseorang Mujtahid wajib berijtihad untuk orang lain, apabila tidak ada orang yang sanggup menetapkan hukum peristiwa yang berada pada orang lain itu dan dikhawatrikan kehabisan waktu untuk mengamalkannya . Fardhu kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang suatu peristiwa serta tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut sedang selain dia ada mujtahid lain. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap sesuatu peristiwa yang belum terjadi, baik dinyatakan atau tidak. Haram, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qath’i dan hasil dari ijtihad tadi bertentangan dengan dalil qath’i tadi.
Ijtihad sesungguhnya merupakan pekerjaan yang sangat mulia disisi Allah, sehingga Alla memperhatikan secara khusus kepada mereka sebagaimana Firman Allah SWT, dalam S. An Nisa’ 105
إناأنزلناإليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بماأراك الله
Artinya : “ Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak agar dapat menghukum di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu. ” dan Firmannya lagi dalam Qur’an surat An Nisa’ 59
فإن تنازعتم في شيءفردوه الىالله والرسول
Artinya: “ Jika kamu berselisih dalam satu hal, maka hendaklah kembalikan persoalan itu kepada Allah dan Rasul- Nya. ”
Seorang Mujtahid berhak mendapat imbalan atas jerih payah dalam melakukan ijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan diberi Tuhan satu pahala. Akan tetapi, kalau ijtihadnya tepat dan benar ia akan mendapatkan pahala ganda. satu pahala sabagai imbalan jerih payahnya dan satu pahala yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil ijtihadnya. Sabda Rasulullah saw:

إذَا اْجتَهَدَ اْلحَاكِمُ فَأَ صَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَاِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرُ

Artinya : Apabila hakim itu berijtihad, lalu mengena hasilnya ia memperoleh dua macam pahala, jika salah ia memperoleh satu pahala ( Rw. Bukhari dan Muslim)

Objek Ijtihad
Menurut Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghozali (Imam Ghozali), bahwa objek dari ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang berdasarkan dalil yang bersifat dhonni. Kebenaran nash ini bergantung pada situsasi, kondisi, lingkungan yang melatarbelakangi terbentuknya hukum dan pandangan para Mujtahid ketika melihat obyek hukum. Sedangkan hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam yang berdasarkan dalil-dalil qothi dan hanya memiliki satu kebenaran yaitu kebenaran atas petunjuk syara tidak dibenarkan menjadi obyek ijtihat para Mujtahid, karena kebenarannya muttafaqah ( disepakati ) .

Kebenaran Hasil Ijtihad :
Berkaitan dengan ijtihad terhadap masalah yang dzanny, sebagian ulama berpendapat bahwa yang haq itu tidak terbatas hanya satu. Setiap yang bisa dicapai oleh mujtahid berdasarkan ijtihadnya adalah haq (benar). Orang yang berpendapat demikian itu disebut mushauwibah, karena mereka mengatakan bahwa setiap mujtahid itu adalah orang yang benar (mushib) biarpun pendapat-pendapat itu saling berbeda. Bagi Muqallid dipersilahkan untuk memilih mengikuti mujtahid yang dikehendaki sebagaimana halnya si mujtahid sendiri diperkenankan mengamalkan mana di antara dua pendapat yang saling berlawanan sewaktu tidak mampu mentarjihkan salah satu dari dua dalil yang tidak diketahui tarikhnya. Kelonggaran semacam ini merupakan rahmat seperti yang dikehendaki oleh kata-kata mutiara. “Ikhtilaful-a’immah rahmatun” (perselisihan para imam itu menjadi rahmat).
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang haq itu disisi Allah itu hanya satu tidak berbilang. Barang siapa yang dapat mencapai apa yang dijtihadkan adalah orang benar (mushib) dan siapa yang tidak dapat mencapai ijtihadnya adalah orang yang salah ( muqhti’ ). Dasar yang dipergunakan oleh golongan ini ialah sabda Rasulullah saw. tersebut diatas, dan ucapan Abu Bakar ra, dalam masalah kalalah :
أَ قُوْلُ فِيهَا بِرَأتِىْ, فَاِنَ يَكُنْ صَوابَا فَمِنَ اللهِ وَاِنْ يَكُنْ خَطَأَ فَمِنَ الشَّيْطَانِ.
Artinya : Dalam masalah kalalah kukatakan berdasar pendapatku. Karena itu jika ucapan itu betul adalah dari Allah, dan jika salah adalah dari setan.

Lingkup Ijtihad.
Perlu kiranya diperhatikan bahwa ijtihad dalam beberapa urusan, baik ijtihad perseorangan maupun ijtihad kelompok tidak dimaksudkan untuk menentukan hukum-hukum yang dapat diterapkan kepada seluruh dunia Islam dan berlaku spanjang masa. Umar ra dalam menghadapi masalah yang di kemukakan kepadanya dia berijtihad dan dan mendiskusikan dengan para sahabat yang hidup semasa dengannya, begitu juga para hakim di daerah agar berijtihad dan mendiskusikn msalah yang muncul dengan para sahabat alim pada masanya. Umar pernah menyatakan :

اِخْتِلاَ فُ اْلأَ حْكَامِ اْلاِجْتِهَادِ يَّةِ بِاخْتِلاَفِ اْلبِيْئَاتِ وَالأَ قْطَارِ

Artinya : Perbedaan-perbedaan hukum ijtihad lantaran perbedaan lingkungan dan daerah.
Beberapa hal Umar bin Hattab telah melakukan ijtihad dan hasilnya berbeda dengan hasil Ijtihat yang dilakukan oleh para pendahulunya, seperti :
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Telah jatuh talak tiga ketika seorang suami menyatakan dalam satu waktu;
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Gugurnya hukuman potong tangan pencuri yang mencuri pada waktu musibah kelaparan;
<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–> dan gugurnya hak menerima pembagian zakat bagi orang-orang yang masih dihimbau hatinya untuk memeluk Islam.
Umar bin Abdul-Aziz ketika menjabat sebagai gubernur di Madinah memutuskan gugatan penggugat bila ia dapat mengemukakan seseorang saksi dan sumpah dari penggugat. Sumpah penggugat tersebut sebagai ganti kedudukan seorang saksi yang lain. Akan tetapi, setelah dia menjabat khalifah yang bertempat tinggal di ibu kota negara Syam, tidak mau memberi keputusan apabila saksi yang diajukan penggugat terdiri atas dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ketika dia ditanya perihal ijtihadnya itu dia menjawab : ” Kami melihat orang Syam berbeda dengan orang Madinah ”.
Pada zaman Tabi’it-Tabiin Imam Abu Hanifah membolehkan mengambil keputusan dengan saksi yang tidak diketahui identitasnya sebagai ganti keadilan yang menurut lahirnya saja. Akan tetapi, pada zaman dua orang muridnya dilarang memberikan keputusan dengan persaksian orang-orang tersebut karena dikhawatirkan terjadinya kebohongan dan persekongkolan Imam Abu Hanifah, pada waktu orang-orang Persia baru memeluk agama Islam dan masih sukar sekali mengucapkan bahasa Arab yang fasih., membolehkan melafazkan ayat Al-Qur’an di dalam shalat dengan bahasa Persia. Akan tetapi setelah mereka fasih lidahnya dan tersebar bid’ah dan khurafat dikembalikan lagi seperti sedia kala.

Mulai timbulnya Perselisihan dan Sebab-sebabnya

Walaupun para sahabat itu mengeluarkan hukum dari dalil – dalilnya , tetapi kadang – kadang mereka tidak dapat bersatu paham, karena beberapa sebab :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Dalil-dalil Al-Qur’an dan As Sunnah terkadang berupa lafadz yang musytarak. pada lafad-lafad yang serupa ini kerapkali mereka berselisih. Kata yang seorang “ ini makna yang dipaki disini, “ kata yang lain “ itu makna yang dikehendaki disini.”
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Hadist-hadist yang mereka terima dari Rasul banyak jalan datangnya, sehingga menghasilkan perlawanan antara satu dengan yang lainnya. karena itu, yang seorang mengatakan “ Riwayat ini kita pakai, dan yang lain mengatakan riwayat itu kita terima. Atau yang seorang, tak kuat hatinya mempercayai orang yang menyampaikan hadist dan yang seorang kuat hatinya menerima kebenaran perawi itu. Karena hal yang serupa ini, terjadilah perselisihan paham antara mereka.
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Mereka berbeda pendapat dalam menetapkan sesuatu yang didasarkan pendapat fikiran ( ra’yu ).

Ijtihad pada masa Rasulullah SAW
Ijtihad telah mulai sejak zaman Rasulullah saw. beliau sering melakukan ijtihad, memerintahkan kepada para sahabat untuk melakukan Ijtihad dan mengakui hasil ijtihad mereka. Rasulullah melakukan ijtihad ketika muncul masalah dan wahyu ebagai jawaban atas masalah tersebut tidak turun. Rasul bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Salama:
اِ نِّى أَقْضِى بِيْنَكُمْ بِا لرَّأْ يِ فِيْمَا لَمْ يَنْزِلْ فِيْهِ وَ حُي
Artinya : Aku memutuskan perkara di antara kamu dengan pendapatku dalam peristiwa yang tidak diturunkan wahyu padanya..
Diantara Ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Rasulullah saw. berijtihad dalam penyelesaian tawanan perang Badar bersama dengan Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar menyarankan, bahwa tawanan perang agar membayar tebusan, sedangkan Umar menghendaki bahwa tawaan perang dibunuh. Ketetapan Rasululullah adalah usulan Abu Bakar Siddiq RA.
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Rasulullah saw menetapkan, haram hukumnya memadu seorang istri dengan bibinya, putri bibinya dan saudara istrinya. ketetapan ini diqiskan dengan Nash Alqur’an yang mengharamkan menikahi perempuan kakak beradik sekaligus
لاَ تُنْكَحُ اْلمَرْ أَةُ عَلَى عَّمِتَهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ عَلَى اْبْنَةِ أَ خِيْهَا وَلاعَلَى اْبْنَةِ اُخْتِهَا فَاِ نَّكُمْ اِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْ حَامَكُمْ
Artinya : Wanita tidak dinikah bersama saudari bapaknya, saudari ibunya, anak perempuan saudara dan anak perempuan saudarinya. Jika kamu melakukan yang demikian itu, niscaya kamu memutus tali kekerabatanmu.
Sahabat-sahabat Mujtahidin
Para shahabat juga dibenarkan berijtihad. Mereka telah mendapat mandat dan kesempatan dari Rasulullah untuk melakukan ijtihad. adapun ketentuan shahabat boleh berijtihad adalah mereka yang memahami Al-Qur’an dan As Sunnah dengan sempurna, tahu ayat-ayat Mutasyabihah dan Muhkamah; tahu sebab-sebab turun ayat; tahu keadaan masyarakat dan suasana yang melatarbelakanginya; karena mereka telah mempelajari dari Rasul, atau dari seseorang sahabat lain. hasil ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat dapat difatwakan kepada kaum Muslimin. Para Mufti yang terkenal pada periode ini ialah :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Abu Bakar ash shiddiq r.a (wafat tahun 13 H)
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Umar ibn Khaththab r.a ( wafat tahun 23 H)
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Utsman ibn Affan r.a (wafat tahun 35 H)
<!–[if !supportLists]–>d. <!–[endif]–>Ali ibn Abi Thalib r.a (wafat tahun 44 H)
<!–[if !supportLists]–>e. <!–[endif]–>Abu Musa Al Asy’ari r.a (wafat tahun 32 H)
<!–[if !supportLists]–>f. <!–[endif]–>Abdullah ibn Mas’ud r.a (wafat tahun 32 H)
<!–[if !supportLists]–>g. <!–[endif]–>Zaid ibn Tsabit r.a (wafat tahun 45 H)

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Syarat Ijtihad (Mujtahid)
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. seorang mujtahid emiliki kewenangan melakukan ikhtiar menggali dan menetapkan hukum syara’ dengan ketentuan berbagai syarat untuk berijtihad telah mereka penuhi, diantaranya :
<!–[if !supportLists]–>1). <!–[endif]–>Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadist Nabi yang bersangkutan dengan masalah hukum.
<!–[if !supportLists]–>2). <!–[endif]–>Mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu, artinya dapat menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist secara benar.
<!–[if !supportLists]–>3). <!–[endif]–>Mengetahui ilmu usul fiqh dan qaidah-qaidah fiqh yang seluas-luasnya. Al Fakhrurrazi dalam Al Mahsul : اِنَّ أَهْمَّ اْلعُلُوْ مِ لِلمُجْتَهِدِ عِلْمُ أُصُوْلِ اْلفِقْه Sepenting-penting ilmu buat seseorang mujtahid, ialah: ilmu ushul “
<!–[if !supportLists]–>4). <!–[endif]–>Mengetahui soal-soal ijma, hingga tidak timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma itu.
<!–[if !supportLists]–>5). <!–[endif]–>Mengetahui nasikh - mansukh dari Al Qur’an dan Sunah.
<!–[if !supportLists]–>6). <!–[endif]–>Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan mana hadist shohih dan hasan, mana yang dlaif maqbul dan yang mardud.
At Taftaji menambahkan, selain syarat diatas, seorang mujtahid juga harus mengetahui maqashidu Asy Syari’ah ( tujuan syari’at ) secara umum. Asy Syathibi mensyaratkan pula agar para mujtahid itu memahami benar-benar maksud-maksud syara’.
Imam Al Ghazali menyatakan :
اِنَّ أَعْظَمَ عُلُوْمِ اْلاءِجْتِهَادِ يَسْتَمَلُ عَلَى ثَلاَ ثَةِ فُنُوْنٍ: اَلحَدِيْثُ وَاللُّغُةُ وَأُصُوْلِ اْلفِقْه
” Perangkat yang paling utama dalam ilmu ijtihad mencakup tiga pokok ilmu, ilmu hadist, Ilmu lughah dan Ilmu Ushul Fiqh ”
Ulama berbeda pendapat, bagi para mujtahid harus menguasai ilmu – ilmu tertentu, seperti ilmu aqli, ilmu Ushuludin ( ilmu kalam ) dan segala hukum yang furu’ ( detail-detail hukum fiqh )
Asy Syathibi dalam Al Muwafaqat : “Derajat ijtihad itu diperoleh mereka yang mempunyai kemampuan:
<!–[if !supportLists]–>a) <!–[endif]–>Memahamkan segala maksud Syariat dengan sesempurnanya.
<!–[if !supportLists]–>b) <!–[endif]–>Beristinbat berdasarkan kepada pemahamannya tentang maksud –maksud syariat tu.
Syarat lain dari seorang mujtahid harus berbekal kuat, adil dan jujur berakhlak yang baik, dan mengetahui madarikil ahkam, yakni mengetahui dalil-dalil syara’ dan jalan-jalan mengikutinya, serta mengetahui lughah, tafsir, asbabinnuzul, ilmu rijalil hadist, jalan-jlan jarah dan ta’dil, nasikh dan mansukh.
Syarat-syarat yang tersebut ini, diperlukan benar-benar bagi mujtahidin mutlhlaq yang berijtihad dalam segala masalah fiqh. Adapun seseorang mujtahid yang berijtihad ada dalam beberapa masalah, cukup mengetahui dalil-dalil yang berpautan dengan masalah-masalah itu.
<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Tingkatan Mujtahid
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan mujtahid itu terbagi dalam empat empat tingkatan.
<!–[if !supportLists]–>a) <!–[endif]–>Mujtahid Fisy-syar’i
Yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijitihadkan seluruh masalah syari’at yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun madzab-madzhab tertentu. Oleh karena ijtihad yang mereka lakukan itu semata-mata hasil usahanya sendiri, tanpa mencangkok dari pendapat orang lain, maka mereka juga disebut dengan mujtahid mustaqil ( berdiri sendiri ). Mereka itulah antara lain Imam Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal ( pendiri madzhab empat), Imam Al-Auza’I, Imam Daud Azh-Zhahiri, dan Jafar Ash-Shadiq.
<!–[if !supportLists]–>b) <!–[endif]–>Mujtahid Fil-madzhab.
Ialah mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk madzhab tersendiri, akan tetapi mereka cukup mengikuti salah seorang imam madzhab yang telah ada dengan beberapa perbeaan baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Muzani adalah mujtahid fil-madzhab Syafi’i.
<!–[if !supportLists]–>c) <!–[endif]–>Mujtahid Fil-Masa’il
Ialah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu madzhab bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya At-thawawi mujtahid dalam madzhab hanafi, Imam Al-Ghazzali muijtahid dalam madzhab Syafi’I dan Al-Khiraqi Mujtahid dalam madzhab Hambali. Mujtahid fil-masai’il ini juga disebut mujtahid fil-futya.
<!–[if !supportLists]–>d) <!–[endif]–>Mujtahid muqayyad.
Ialah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengatahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan yang lebih utama di antara pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam suatu madzhab dandapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka itu antara lain Ar-Rafi’I dan An-Nawawi, mujtahid dalam madzhab Syafi’i.
Menurut Imam Nawawi Ibnu Sholah, tingkatan ijtihad terbagi menjadi 5 tingkatan yaitu :
<!–[if !supportLists]–>1). <!–[endif]–>Mujtahid Mushahil
Yaitu mujtahid bebas menggunakan kaidah-kaidah yang dibuat sendiri, dia menyusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzab yang ada. Menurut As Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
<!–[if !supportLists]–>2). <!–[endif]–>Mujtahid Mutlaq
Adalah orang yang memilki kriteria seperti mushahil namun tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam madzab.
<!–[if !supportLists]–>3). <!–[endif]–>Mujtahid Muwayyad/Mujtahid Takhrij
Ialah mujtahid yang terkait oleh madzab imamnya dan diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil tetapi boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya.
<!–[if !supportLists]–>4). <!–[endif]–>Mujtahid Tarjih
Yakni mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij. Menurut imam Nawawi dalam kitab Majmu Mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat.
<!–[if !supportLists]–>5). <!–[endif]–>Mujtahid Fatwa
Mujtahid yang hafal dan faham terhadap kaidah-kaidah imam madzab, maupun menghadapi permasalahan yang sudah jelas ataupun sulit, akan tetapi masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

Kedudukan Dan Fungsi Ijtihad
Kedudukan dan fungsi ijtihad sangatlah penting sekali dalam menjelaskan hukum-hukum (syara’) karena ada beberapa hukum yang tidak dapat diketemukan dalam firman Allah secara jelas. Maka kedudukan dari ijtihad merupakan sumber hukum setelah Al Qur’an dan Sunah karena hasil ijtihad yaitu Ijma maupun Qiyas merupakan sumber hukum bagi umat islam.
Sedangkan fungsi dari ijtihad yaitu sebagai penjelas atas hukum-hukum yang telah diketengahkan dalam Al Qur’an maupun Al Hadist. Ada beberapa alasan mengapa harus melakukan ijtihad diantaranya adalah :
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Diantara hukum syara’ ada yang dapat dipahami dengan mudah karena kitab Allah cukup jelas, artinya dan pasti tujuannya.
Contoh :
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>masalah wudhu
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>larangan berkata kasar kepada orang lain
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>melakukan perbuatan zina dikenai sanksi dera 100 X
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>ada kalanya terdapat hukum tidak dapat ditemukan dari apa yang tersebut dalam firman Allah secara jelas, namun dapat dipahami melalui permahaman akan maksud sebuah lafadz oleh karena hukum itu tersirat dibalik lafadz tersebut.
Contoh :
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>hukum memukul orang tua tidak terdapat dalam Al Qur’an, namun dapat dipahami melalui pemahaman larangan berkata kasar kepada orang tua.

DALIL-DALIL SYARA’ YANG MASIH DIPERSELISIHKAN
Selain ada 4 macam dalil-dalil syara’ (sumber hukum) tersebut yang pengggunaannya disepakati, masih terdapat dalil-dalil syara’ yang lain yang belum mendapat kesepakatan dari jumhur fuqoha. Sebagian dari mereka mengakuinya sebagai dalil-dalil syara’ dan sebagai alat beristidlal, sedang sebagian yang lain masih mengingkarinya.
Dalil-dalail syara’ yang masih mereka perselisihkan itu yang terkenal ada 6 macam, yaitu:
<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Al-Istihsan
<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Al-Mashlahah-mursalah
<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Al-Istishhab
<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Al-Urf
<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Madzahib shahabi dan
<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>As-Syaru man qablana

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Istihsan
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Ta’arif
Secara harfiah, Istihsan mengandung arti berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul, antara lain :
1). Imam Ghozali
Dalam kitab Al Mustashfa juz 1: 137. Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.
<!–[if !supportLists]–>2) <!–[endif]–>Al Muwafiq Ibnu Qudamah Al Hambali
Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandanganya karena adanya dalil tertentu dari Al Qur’an dan As Sunah.
<!–[if !supportLists]–>3) <!–[endif]–>Abu Ishaq Asy Syatibi
Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.
<!–[if !supportLists]–>4) <!–[endif]–>Al Hasan Al Kurkhi Al Hanafi dan Muhammad Abu Zahra
Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain.
Sedangkan menurut bahasa, ishtisan yaitu mengembalikan kepada yang baik. Dan secara umum istihsan menurut istilah adalah membandingkan yang dilakukan oleh mujtahid dari qias Jalli (jelas) kepada qias khafi ( yang tersembunyi ) atau dari hukum yang umum ( kulli ) kepada hukum pengecualian ( istitsna’I ), sehingga terdapat kecenderungan yang lebih kuat untuk mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak berdasarkan nash.
Dalam pandangan yang lain : Istihsan ialah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata ( samar-samar ) atau meninggalkan hukum kullli menjalankan hukum istitsna’I ( pengecualian ) disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.
Bila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedang untuk mencari hukumnya terdapat dua jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dapat memberi ketetapan hukumnya dan jalan yang lain samar-samar. Yang dapat menetapkan hukumnya dan dapat pula menetapkan hukum yang lain, padahal pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat dipergunakan untuk mentarjihkan jalan yang samar samar, maka ia lalu meninggalkan jalan yang samar-samar, maka ia lalu meninggalkan jalan yang nyata tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar itu. Demikian juga bila ia mendapatkan suatu dalil yang menetapkan suatu hukum, kemudian setelah ia mendapatkan dalil lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli itu.
اِسْمٌ لِدَ لِيْلٍ يُعَا ر ِ ضُ اْلقِيْا سَا اْلجَلِيَّ وَيَعْمَلُ بِهِ اِذَا كَانَ أَقْوَى مِنْهُ
Artinya : ” Dalil yang melewati qiyas dan diamalkan apabila dipandang lebih kuat dari qiyas jali ”
Dasarnya firman Allah SWT :
فَبَشِّرِ عِبَادِيَ أَلذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ اْلقُوْ لَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ
Artinya : ” Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang mendengar perkataan, lalu mengikuti yang lebih baik dari padanya

Al-Karachi menerangkan bahwa :
اَلْعُدُوْ لُ مِمَّا حُكِمَ بِهِ فِى نَظَائِرِ مَسْئَلَتِهِ اِلَى خِلاَ فَهِ لِوَ جْهٍ أَقْوَى مِنْهُ
“ Istihsan itu, berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya, kepada hukum yang berlawanan, karena ada sesuatu sebab yang dipandang lebih kuat .”
Dan terkadang-kadang istihsan ini dinamai qiyas khatil. Karena itu dalam membahas istihsan kita harus berpegang teguh kepada takrif ulama-ulama Hanafiah sendiri
Abu Hanafiah berkata:
اَلاءِسْتِحْسَا نُ تِسْعَةُ أَ عْشَا رِ اْلعِلْمِ
Artinya : Istihsan itu sembilan persepuluh ilmu.
Dalam Ar Risalah Asy Syafi’y membantah keras dasar-dasar istihsan ini. Asy-Asy Syafi’y berkata :
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
Artinya : Barang siapa menetapkan hukum dengan istihan, berartilah membuat syari’at at sendiri.
Akan tetapi, apabila kita perhatikan dengan seksama istihsan yang dipergunakan Abu Hanifah, yaitu: “ meninggalkan qiyas karena jika dilihat kepada illatnya, berlawanlah dengan kemaslahatan manusia yang telah dipandang syara’.
Ulama-ulama Malikiyah yang juga mempergunakan istihsan mentakfirkan istihsan dengan : meninggalkan dalil atas pengeculian dan memberikan rukhsah karena ada sesuatu yang menentangnya
Ulama Hanifah membagi istihsan ada dua:
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Istihsan qiyas
Yaitu : jika ada pada suatu masalah, dua sifat yang menghendaki dua hukum yang berlawanan. Yang pertama qiyas yang sudah diterangkan dalam bab qiyas. Yang sebuah lagi tidak terang yang menghendaki kita hubungannya, dengan pokok yang lain. Maka mengambil yang tidak terang itu. Lantaran sesuatu sebab yang kuat itu istihsan.
Contoh : Seseorang wanita, seluruh anggota badan, dari ujung kepala hingga telapak kaki merupakan aurat. Kemudian kita diizinkan melihat beberapa bagian badanya bila perlu. Ini sebenarnya mempergunakan illat yang tersembunyi karna lebih kuat bekasnya dalam soal yang diperselisihkan.
Dalam ilmu perundang-undangan sekarang, istihsan ini dapat dinamakan : menuju kepada jiwa undang-undang (ittijah ila ruhil qanum).
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Istihsan dalam arti meninggalkan qiyas karena terdapat sesuatu yang berlawanan dengan qiyas. ada kalanya istihsan sunnah, istihsan ijma’ dan istihsan darurat.
Istihsan sunnah seperti memandang sah puasa orang yang lupa lalu makan atau minum. Menurut qiyas puasa itu batal. Akan tetapi disini harus ditolak karena berlawanan dengan riwayat (hadist).
Istihsan ijma’ seperti meninggalkan qiyas pada suatu masalah karena telah terjadi ijma’ yang menyalahi qiyas itu. Ulama Islam mensahkan akad yang terjadi antara seseorang dengan tukang. Menurut qiyas, akad itu tidak sah karena barang yang diakadkan itu belum ada. Akan tetapi, masyarakat seluruhnya melakukannya. Maka dalam soal ini kita pegang ijma’ kita tinggalkan qiyas.
Istihsan Darurat seperti membersihkan kolam-kolam dan sumur-sumur. Menurut qiyas tak mungkin kita menuangkan air kedalam kolam atau sumur supaya bersih. Oleh karena itu ditetapkan bahwa sumur itu disucikan dengan menimbakan airnya, karena terpaksa berbuat demikian ( karena tak dapat kita lakukan yang lain dari pada itu ).
Ulama Malikiyah membagi istihsan kepada : meninggalkan dalil lantaran uruf. Meninggalkan dalil lantaran ijma’ meninggalkan dalil lantaran maslahat dan meninggalkan dalil untuk memudahkan dan menghilangkan kepicikan.
Ibnul Anbari menandaskan bahwa istihsan yang dikehendaki dalam mazhab Malik, ialah : mempergunakan masalah juz-iyah sebagai imbangan qiyas yang kulli.
Contoh : kalau seseorang membeli barang dengan khiyar, kemudian ia mati, lalu ahli warisnya berselisih apakah meneruskan pembelian atau tidak.
Kata Asyhab : “ Menurut qiyas pembelian itu dibatalkan, akan tetapi kami memandang baik apabila pihak yang mau meneruskan, mau menerima bagian pihak yang membatalkan bila penjual enggan menerimanya kembali, supaya diteruskan pemberian itu.
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Urf
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Ta’rif
Kata ‘Urf berasal dari kata عرف يعرف ( ‘arafa ya’rifu ) berarti yang baik, dan sering disebut “ al Ma’ruf ” sesuatu yang dikenal . Dalam Al Qur’an kata ‘Urf sama dengan ma’ruf yakni kebajikan ( berbuat baik ) sebagaimana disebut dalam Surat al - A’raf ayat 7.
خذالعفووأمربالمعروف
Artinya : “ Maafkanlah dia dan suruhlah berbuat ma’ruf ”.
Menurut ulama usul fiqh Urf diartikan : :
عادة جمهورقوم في قول أوفعل
Artinya : “ kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan ”
atau dengan istilah lain : Urf sama dengan adat kebiasaan , yakni apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan ” .
kebiasaan yang berupa perkataan ( Urf qauli ) misalnya perkataan “ Walad” (anak) menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedang anak perempuan tidak masuk dalam perkataan itu dan perkataan “ lahm ” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari tidak mencakup ikan.
kebiasaan yang berupa perbuatan ( Urf amali ) seperti jual beli ( bai’ ) mu’athah yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab-qobul, karena harga barang tersebut sudah dima’lumi bersama.
Dipandang dari segi materi yang biasa dilakukan, urf dibedakan menjadi 2 macam :
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>‘Urf Umum : Kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir seluruh dunia. Contoh mengangguk kepala tanda setuju.
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>‘Urf khusus : kebiasaan yang digunakan di tempat khusus (tertentu) maupun waktu tertentu. Contoh di Minangkabau menarik garis keturunan melalui garis Ibu.
Dan dipandang dari manfa’at ( baik dan buruk ) ‘urf dibedakan menjadi 2 :
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Urf shahih ialah adat yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’ tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya adat kebiasan yang berlaku dalam dunia perdagangan tentang indent, adat kebiasaan dalam pembayaran mahar, secara kontan atau, hutang, adat kebiasaan seorang yang melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar, dan lain sebagainya.
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>‘Urf Fasid, ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan ketentuan syari’at karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat riba, kebiasaan-kebiasaan dalam mencari dana dengan mengadakan macam-macam kupon berhadiah, menarik pajak hasil penjualan dan lain sebagainya.
Urf itu brbeda dengan ijma’ disebabkan karena Urf itu dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang yang berbeda-beda tingkatan mereka. Sedang ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari para mujtahidin. Orang-orang umum tidak ikut dalam pembentukan ijma; itu.

<!–[if !supportLists]–>b.<!–[endif]–> Kedudukan Urf
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Urf Shahih harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan perkata. Karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak adalah menjadi kebutuhan dan menjadi maslahat yang diperlukannya. Selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syari’at, haruslah dipeliharanya syari’at sendiri memelihara adat kebiasaan orang Arab yang baik dalam menetapkan hukum. Misalnya syari’at menetapkan adanya kafa’ah dalam perkawinan.
Atas dasar itulah para ulama Ahli Ushul membuat qaidah “ Al-adatu muhakkamah” ( adat kebiasaan itu merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai hukum )
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Urf Fasidah tidak harus diperhatikan , karena memeliharanya berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Oleh karena itu, apabila seseorang membiasakan mengadakan perikatan-perikatan yang fasid, seperti perikat yang mengandung riba atau mengandung unsur penipuan, maka kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan perikatan tersebut. Hanya saja perikatan-perikatan semacam itu dapat ditinjau dari segi lain untuk dibenarkannya. Misalnya dari segi sangat dibutuhkan atau dari segi darurat. Dengan demikian dibolehkan mengerjakan perbuatan yang demikian itu dengan alasan darurat, bukan karena sudah bisa dilakukan oleh orang banyak.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Istishab
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Ta’rif
Ditinjau dari segi bahasa istishhab berarti persahabatan, atau mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Jumhurul Ushuliyyin Istihhab adalah menetapkan hukum sesuatu keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yag merubahnya. atau diartikan istishhab adalah menjadi hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu . atau dengan definisi yang lain adalah ” menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan ” .
Imam al-Syaukany dalam kitab Irsyad al-Fuhul mengemukakan bahwa istishhab adalah dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada yang mengubahnya. Dalam pengertian bahwa ketetapan di masa lampau, berdasarkan hukum asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa akan datang.
Sementara Ibnu al-Qoyim memberikan definisi bahwa istishhab adalah melestarikan yang sudah positif dan menegaskan yang negatif ( tidak berlaku). Yakni berlaku hukum asal, baik yang positif maupun yang negatif, sampai ada dalil yang mengubah statusnya. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya dalil yang melegitimasi ( dalil ijaby ). Hukum itu terus berlaku dengan sendirinya sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya.
Contoh : masalah yang berkenaan dengan orang yang diketahui masih hidup pada masa tertentu. Ia tetap dianggap hidup sampai ada bukti ( dalil atau indikasi ) atas kematiannya.
<!–[if !supportLists]–>b.<!–[endif]–> Macam-macam isitishab
Isitshab itu ada dua macam, yaitu :
Pertama istishab kepada hukum asal dalam predikat ibadah ( mubah ) atau baraatul ashliyah ( kemurnian menurut aslinya ).
Misal :
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>Setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah. Sebab Allah Ta’ala menciptakan segala sesuau yang ada dimuka bumi ini agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh manusia, sesuaidengan firman-Nya:

هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَافِى اْلأَرْ ضِ جَمِيْعًا ( البقرة : 29)
Artinya : Dialah zat yang menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi semuanya. (Al-Baqarah: 29)
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>Segala macam perikatan dan perjanjian yang diadakan oleh manusia untuk saling mempertukarkan harta benda dan manfaat, selama tidak ada dalil yang menunjuk keharamannya, adalah mubah, mengingat bahwa sesuatu adalah mubah.
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>Ketetapan tidak wajib menjalankan sholat fardlu 6 kali atau tidak wajib menjalankan puasa bulan Sya’ban adalah berdasarkan istrishab kepada hukum asal dengan baraatul ashliyah ( berdasarkan menurut aslinya ) Karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya.
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>Jika si Ahmad mengaku memberi hutang kepada si Badri, padahal si Ahmad tidak mempunyai bukti atas pengakuannya itu, maka si Badri adalah bebas dari kewajiban membayar berdasarkan baraatul ashliyah. Karena demikianlah menurut hukum aslinya, sampai si Ahmad dapat membuktikan pengakuannya.
Kedua Istishab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada satu dalil pun yang merubahnya.
Misal :

Hukum - hukum yang diciptakan oleh Syari’ berdasarkan sebab-sebab tertentu dengan keyakinan yang kuat, maka terciptalah suatu hukum dan hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. seperti seorang yang berwudhlu kemudian ia ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ia dihukumi sebagai orang yang masih dalam keadaan berwudlu, berdasarkan istishab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya secara yakin.

Dalam dimensi yang lain, Istishhab dibagi menjadi lima macam, yaitu :

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Istishhab yang menunjukkan hukum mubah terhadap segala sesuatu sebelum datangnya dalil yang mengharamkan ( istishhab hukum )
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Istishhab kepada hal yang umum sampai ada yang men-takhsis, dan istishhabnya nash sampai ada yang menasakh
<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Istishhab yang diakui eksintensinya oleh akal dan syara’. Ibnu Qoyyim memberi istilah istishhab al-washfi.
<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Istishhab al-adam al-ashly al-ma’lum bi al-aqli fi ahkamu al-syari’ah
<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>Istishhab hukum yang telah menjadi ijma di dalam perkara yang menjadi khilaf para ulama.
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Kehujjahan Ishtishab
Para ulama fiqh sepakat menggunakan istishhab, namun untuk penerapannya pada kasus-kasus tertentu masih tetap tak terhindarkan dari perbedaan pendapat. Ulama Syafi’i dan Hambali mengamalkan istishhab sifat secara mutlaq. Sementara itu, Ulama Hanafi, dan Maliki memakai istishhab sifat terbatas pada hal yang bersifat penolakan.Misalnya kasus orang hilang. Selama masa raibnya, ia masih dianggap hidup dalm kaitan dengan harta bendanya hingga masih tetap menjadi hak miliknya; istrinya masih tetap berada dalam tanggungannya, sampai ada indikasi yang menunjukkan kematiannya atau hakim memutuskan kematiannya. Akan tetapi ia tidak berhak mendapatkan hak-hak baru selama raib, misalnya warisan atau wasiat. Dengan demikian apabila pada saat raib ada orang yang meninggal, maka bagian warisan ditangguhkan ( mauquf ) sampai diketahui kabarnya.
Dalam menghadapi kasus orang hilang Ulama’ Safi’i dan Hanbali ber istishhab secara mutlaq, baik bersifat penolakan maupun penetapan, yaitu menganggap masih hidup sampai ada kepastian tentang kematiannya. Selam masa itu, harta bendanya tetap menjadi hak miliknya, dan ia berhak menerima setiap harta yang berhubungan dengannya , baik melalui warisan maupun wasiat.
Istishhab telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syari’at antara lain Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya, hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل في الأشياءالأباحة
“ Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan ”.
Istishhab didasarkan pada “ persangkaan yang kuat “, bahwa kontinuitas status quo mengharuskan adanya kontinuitas hukum. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak dapat dipandang sebagai dalil yang kuat untuk Istinbath hukum. Dalam hubungan ini al-Khawarizmi mengatakan bahwa istishhab merupakan sumber terakhir di dalam memberikan fatwa, setelah tidak ditemukan pada sumber lain. Seorang mufti jika ditanya tentang suatu masalah ( kejadian ), maka ia bicara secara berurutan mencari ketetapan hukumnya dari al-Kitab ( Qur’an) , as-Sunah, ijma’, dan qiyas . Jika dari keempat sumber hukum tersebut tidak ditemukan ketentuan hukumnya, maka baru menggunakan dalil istishhab.
Ulama bersepakat; Mengenai sesuatu yang pasti, seperti keyakinan tentang kerasulan Muhammad saw. dan mengenahi kejadian yang telah ditetapkan dengan dalil syara’, Istishhab tidak dapat digunakan an ditetapkan untuk hujah
Ibnu al-Qoyyim menjelaskan pengertian kata “ penolakan” ( dafa’ ) dan “penetapan” ( itsbat ) yang dipakai para ulama yang berbeda pendapat mengenai kekuatan pemaikaian istishhab sifat : “ Pengertian kata tersebut, ialah bahwa istishhab bisa dipakai menolak orang yang menganggap adanya perubahan keadaan, karena tetapnya perkara pada keadaan semula. Tetapnya perkara pada keadaan semula disandarkan pada adanya sebab hukum, bukan tiadanya hal yang merubah. Sebab kami tidak menemukan adanya dalil yang menafikan atau menetapkan yang dapat kami jadikan pegangan untuk tidak menetapkan hukum atau tidak menafikannya. Dan hanya dengan menggunakan dalil istishhab kami menolak anggapan orang yang menetapkannya. Dengan demikian, perpegang pada istishhab sama halnya dengan mu’taridh ( orang yang menentang dalil ). Dalam hal ini, mustadil memenangkan atas mu’taridh, karena ia mengemukakan dalil yang menolak anggapan mu’taridh. Ini beda halnya dengan mu’aridh ( orang yang saling berlawanan, yang sama-sama mengemukakan dalil ). Jadi mu’aridh adalah satu bentuk, sedang mu’taridh adalah bentuk lain lagi “
Ulama Mazhab Hanafi dan maliki menganggap orang yang berpegang pada istishhab seperti mu’taridh ( orang yang menentang dalil ) menolak perubahan. Sedang ulama Syafi’i dan Hanbali menjadikan istishhab sebagai dalil mu’aridh ( yang melawan ) dan menetapkan, yang tidak hanya menentang belaka.

Dari istishhab banyak sekali ditetapkan qaidah-qaidah dalam fiqih antara lain :
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Apa yang yakin telah ada, tidak akan hilang hanya dengan adanya keragu-raguan.
Contoh : seseorag telah wudlu, akan tetapi ia ragu-ragu apa wudlunya telah batal atau belum, maka wudlunya tetap sah. Imam Malik berpendapat, ia tidak boleh mengerjakan shalat sampai ia berwudlu kembali ( dengan wudlu baru ). Seseorang menceraikan istrinya, dan ia ragu-ragu apakah melakukan talaq tiga atau cuma talaq satu, maka jumhur ulama berpendapat bahwa talah itu jatuh hanya satu kali. Sedang menurut Imam Malik, jatuh talaq tiga. Hal ini karena adanya dua asal yang saling bertentangan. Pertama tetapnya kehalalan. Sementara itu timbul keraguan mengenai talaq, dan karenanya kehalalan menjadi hilang. Kedua, bahwa perceraian apabila telah jatuh, berarti telah berlangsung dengan yakin. Yang diragukan ialah mengenai thalaq raj’i atau tidak. Sedang talaq raj’iy tidak terjadi dengan syak ( keraguan ).
Seseorang yang menceraikan salah satu dari dua istrinya, dan ia ragu istri mana yang ia ceraikan, maka jatuh talaq atas keduanya menurut Imam Maliki. Akan tetapi Jumhur ulama menetapkan bahwa apa yang telah tetap dengan yakin, yaitu hubungan perkawinan, tidak bisa dihalangi dengan syak. Berakitan dengan ini, Ibnu Hazm berkata : “ dengan menetapkan jatuhnya talaq atas semua istri hanya mendasarkan pada syak, berarti mereka memperbolehkan istri-istri itu berkawin dengan orang lain, diatas perkara halal yang diragukan”.
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Hukum yang pokok bagi sesuatu ialah ibadah ( kebolehan ) hingga datang dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut. tidak adanya kewajiban tetap berlaku, seperti tidak adanya kewajiban shalat yang keenam, sebagai tambahan sholat yang kelima.

<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Istishlah
Pengertian istishlah menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak / menghindarkan kemadhoratan atau kesusahan. pengertian yang lain menyatakan, Istishlah adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan.
Imam Al Ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan (manfaat) dan menjauhkan madharat (kewisahan).
المحافظةعلىمقصودالشرع

Artinya : “ memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) ”.
Al Khawarizmi menyatakan :
المحافظةعلىمقصودالشرع بدفع الفاسدعن الخلق

Artinya : “ memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia.”
Menurut Al Ghozali, tujuan syara’ dalam menetapkan hukum ada lima yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>Saddudz-Saddudz Dzariah
Secara etimologi dzariah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. atau Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak keruskan atau menyumbat jalan yang meyampaikn seseorang kepda kerusakan”
Iman Al Syathibi mendefinisikan dzariah dengan :

التوسل بماهومصلحة الىمفسدة

Artinya : “ melakukan suatu pelajaran yang semua mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan.”
Contohnya adalah jual beli dengan bay’u al ajal, yaitu jual beli dengan melipat gandakan hutang, dan hal ini dilarang dalam agama.
Ibnu Qoyyim dalam rumusan tentang dzariah yaitu apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Sedangkan Badran memberikan definisi tidak netral adalah apa-apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan.
Apabila suatu perbuatan yang bebas dari kerusakan dan dapat menjadi jalan kepada kerusakan, hendaklah kita larang perbuatan itu.
Saddudz Dzari’ah itu, adalah sesuatu perbuatan yang tidak ditegah syara’ bila dipandang dapat mengakibatkan yang mengerjakannya kepada suatu hukum yang terang dicegah syara’
Malik dan Ahmad memegangi dasar Suddudz Dzari’ah. Fuqoha yang sedikit memakainya ialah Asy Syafi’y.
Dzara-iini, sebagaimana dipergunakan untuk menolak kefasadan, dipergunakan juga untuk mencari kemanfaatan.
Al-Qarafi mengatakan bahwa: Dzari’ah ini, sebagaimana wajib kita menutup, wajib juga kita membukanya. Karenanya, ada Dzari’ah wasilah dimakruhkan, di sunnatkan dan di mubahkan. Dzari’ah adalah wasilah kepada wajib, tentu diwajibkan, seperti berjalan ke Jum’at. Dalam pada itu, dalam mempergunakan dasar ini tidak boleh berlebih-lebihan, karena orang yang terlalu meragukannya, mungkin tidak akan mengerjakannya sesuatu yang mubah atau mandub, atau wajib, lantaran takut terjerumus dalam kezaliman, seperti tidak mau mengurusi harta anak yatim, karena takut mendapat tuduhan yang jelek dari masyarakat.
Ibnul Arabi memberi suatu pedoman: sesuatu yang haram karena dzari’ah dapat ditetapkan keharamannya jika yang diharamkan yang disumbat dzari’ahnya, sesuatu yang haram dengan nash.bukan dengan qiyas dan dzari’ah. Penetapan ini menghasilkan dua prinsip:
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Kita pergunakan dzari’ah apabila menyampaikan kepada kerusakan yang dinashkan, atau yang diqiyaskan, jika menyampaikan kepada halal yang manshush.
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Segala urusan yang mempunyai hubungan dengan soal-soal amanah, tidaklah dicegah lantaran terkadang-kadang terjadi khianat padanya. Karenanya, haruslah kita memperhatikan masalah pemakaian dzari’ah ini dengan istihsan.

<!–[if !supportLists]–>6. <!–[endif]–>Qaul Shahaby
Qaul Shahaby atau yang biasa dikenal madzhab shahaby yaitu fatwa sahabat secara perorangan. Abu Zakrah menguraikan beberapa kemungkinan bentuk madzhab shahabi kedalam beberapa bentuk antara lain:
<!–[if !supportLists]–>1). <!–[endif]–>Apa yang disampaikan shahabat itu adalah suatu berita yang didengar dari Nabi, namun ia tidak menjelaskan bahwa berita itu sebagai sunnah Nabi.
<!–[if !supportLists]–>2). <!–[endif]–>Apa yang disampaikan shahabat itu sesuatu yang dia dengar dari orang yang pernah mendengarkannya dari Nabi, tapi tidak ada penjelasan dari orang tersebut bahwa yang didengarnya itu berasal dari Nabi.
<!–[if !supportLists]–>3). <!–[endif]–>Apa yang disampaikan shahabat itu adalah hasil pemahamanya terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang lain tidak memahaminya.
<!–[if !supportLists]–>4). <!–[endif]–>Apa yang disampaikan shahabat itu sesuatu yang sudah disepakati oleh lingkungannnya, namun yang menyampaikannya hanya shahabat tersebut seorang diri.
<!–[if !supportLists]–>5). <!–[endif]–>Apa yang disampaikan shahabat itu adalah hasil pemahamannya atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafaz.
Menurut para ulama usul fiqh yang dimaksud shahabat adalah “seseorng yang bertemu dengan Rosulullah Saw dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah Saw.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Qaul Shahaby tidak dapat dijadikan hujjah. tapi pendapat lain menyatakan, pendapat atau qaul shahaby menjadi hujjah dan didahulukan dari pada qiyas. Demikian pendapat malik, golongan Hanafiah dan Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal menetapkan bahwa fatwa shahabi itu hujjah dan menempatkannya sesudah hadist shahih, mursal dan sebelum hadist dlai’if: apabila beliau tidak menemukan sesuatu hadist dalam soal yang dihadapinya, beliau mengambil fatwa shahabat dan mendahulukan fatwa shahabah itu atas hadist mursal dan hadist dla’if.
Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat : Fatwa shahabi, adalah hujjah. Karena itu, bila mereka mendapat fatwa shahabi meninggalkan qiyas tabi’in dan orang-orang lain.
Walaupun Al-Ghazzali menetapkan bahwa fatwa shahabi bukan hujjah, namun imam empat memegangi Al-Kitab, As Sunnah dan ikma’ shahabat. Dalam hal yang mereka perselisihkan diambil mana yang kuat hubungannya dengan kitab, dan sunnah. Kalau tidak jelas niscaya para imam mengikuti apa yang diamalkan oleh khulafaur Rasyidin. Oleh karenanya, kurang tepat apabila kita mengatakan bahwa Asy Syafi’y dalam madzhab jadidnya tidak mengambil fatwa shahabi. Dalam Ar Risalah tegas diterangkan bahwa As Syafi’y menerima pendapat shahabat yang disepakati. Jika mereka berselisih, diambil mana yang lebih dekat kepada Al-Kitab dan As Sunnah.
Walaupun Al-Ghazzali menetapkan bahwa fatwa shahabi bukan hujjah, namun imam empat memegangi Al-Kitab, As Sunnah dan ikma’ shahabat. Dalam hal yang mereka perselisihkan diambil mana yang kuat hubungannya dengan kitab, dan sunnah. Kalau tidak jelas niscaya para imam mengikuti apa yang diamalkan oleh khulafaur Rasyidin. Oleh karenanya, kurang tepat apabila kita mengatakan bahwa Asy Syafi’y dalam madzhab jadidnya tidak mengambil fatwa shahabi. Dalam Ar Risalah tegas diterangkan bahwa As Syafi’y menerima pendapat shahabat yang disepakati. Jika mereka berselisih, diambil mana yang lebih dekat kepada Al-Kitab dan As Sunnah. Al-Gazhazali menetapkan bahasanya hujjah syari’iyah hanyalah hadist yang shahih diterima dari Rasul. Shahabi, bukanlah orang yang hanya meriwayatkan asja, tetapi juga beristinbath, atau berqiyas, maka boleh jadi madzhabnya itu hasil dari istibath dan ijtihad. Menurut jumhur, fatwa seseorang shahabt bukanlah hujjah :
Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpendapat bahwa kehujahan pendapat shahabah itu adalah secara terbatas bagi shahabat tertentu. Beberapa pendapat itu antara lain
<!–[if !supportLists]–>1). <!–[endif]–>Pendapat shahabat berdaya hujjah bila lahir dari Abu Bakar dan Umar bin Khattab bersama-sama dasarnya.
إقدأباالذين من بعدىابوبكروعمر ( قال الترمذي , هذا حديث حسن )
Artinya :
“ Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar.”
<!–[if !supportLists]–>2). <!–[endif]–>Pendapat empat orang shahabat dari khulafa Al-Rasyidin yang menjadi hujjah dasarnya (ini dishahihkan oleh Al Tarmidzi)

عليكم بسنتىوسنةالخلفاءالراشدين من بعدى

Artinya : adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa al rasyidin yang datang sesudahku.”
<!–[if !supportLists]–>3). <!–[endif]–>Pendapat salah seorang khulafa al Rasyidin selain Ali menjadi hujjah, alasannya pada waktu Ali menjadi khalifah ia memindahkan kedudukan kekuffah dan waktu itu pula shahabat lainya tidak ada.
<!–[if !supportLists]–>4). <!–[endif]–>Pendapat yang mendapat keistimewaan dari Nabi menjadi hujjah, dia ia berbicara pada bidang keistimewaannya seperti Zaid bin Tsabit (hukum waris), Muaz bin Jabal (bidang hukum) dan Ali bin Abi Thalib (peradilan).

<!–[if !supportLists]–>7. <!–[endif]–>Syar’u Man Qablana
Syaru’ Man Qablana
Yaitu syari’at sebelum islam atau sebelum Nabi Muhammad. Para ulama usul fiqh sepakat mengatakan bahwa syari’at yang diturunkan Allah sebelum islam melalui para Rosul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at islam.


مباحث الفاظ القرأن
Pembahasan lafadz alqur’an
<!–[if !supportLists]–>B. <!–[endif]–>Muqaddimah

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Memahami dalil.
Alqur’an merupakan dalil yang menunjuk pada arti ilmu dan yakin sedangkan al ’ammarah adalah dugaan kuat untuk mengetahui sesuatu yang akan dikenali atas petunjuknya. Ammarah dapat terjadi karena melekat dan menjadi ciri dari sesuatu dan ammarah dapat terjadi dari tanda tanda diluar sesuatu tetapi menunjukan akan terjadinya sesuatu itu. Alqur’an sebagai ammarah atas “ hukum sesuatu “ yang akan berakibat pada pemahaman manusia mengetahui hukum sesuatu dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Kekuatan kebenaran dan keyakinan petunjuk alqur’an juga bergantung pada tingkat kemampuan pemahaman dan petunjuk yang diberikan oleh alqur’an sebagai mathlub khabary.
Kajian yang benar dan akan mampu mengeluarkan suatu hukum dari petunjuk dalil mengharuskan adanya dua perkara yang sangat penting pada orang ( yang sedang berijtihad ) hendak memahami dalil untuk digunakan menggali suatu hukum. Kedua perkara itu adalah :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>pengetahuan tentang pembahasan lafadz lafadz dan dalalahnya;
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>pengetahuan tentang bagian bagian dari al kitab dan as sunnah.
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>pemahaman tentang bahasa
Bahasa adalah suara yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu untuk mengungkapkan maksud yang yang masih tersembunyi dalam benak. Lafadz mengungkap sesuatu dari lubuk hati tidak sepenuhnya mengungkapkan hakikat, sehingga lafadz berbeda dengan ide dan pemikiran. Pemikiran untuk mengungkap fakta yang terkadang berbeda dengan lafadz, dan lafadz tidak diciptakan untuk menunjukkan hakikat suatu fakta, juga tidak menetapkan hukum terhadap fakta. Dalam alqur’an, bahasa sering disebut laghout ( ( لغوت sama dengan takallamt تكلمت ) ( artinya berbicara . Firman Allah :
وإذا مروا باللغو مروا كراما
“ apabila mereka melewati pembicaraan ( yang bathil ) maka mereka akan melewatinya dengan sikap mulia “
Bahasa merupakan istilah yang diciptakan oleh kelompok ummat manusia ( وعلم أدم الأسماء كلها ) dan bahasa merupakan simbul dan identitas kaum tertentu untuk mengidentifikasi terhadap mengungkapan benda tertentu atas kepentingan hukum benda itu sendiri ( ومن أياته اختلاف ألسانكم ) dan bahkan lughoh yang enjadi perantara risalah para rasul tercipta terlebih dahulu dari pad diutusnya Rasul itu sendiri ( وما أرسلنا من رسول إلا بلسان (
Dalam Hadits Nabi dikatakan :
من قال في الجمعة صه فقد لغا
“ siapa yang mengatakan “ shah “ ( diamlah kamu ) ketika ( khutbah ) jum’at maka berarti dia lagha ( bersenda gurau ) “ . Mengetahui makna lughah untuk menunjuk kepentingan tertentu dapat terjadi melalui periwayatan atau asal mula kemunculannya. Dalam catatan ahli bahasa , lughah dilihat dari sisi kemunculannya dapat dibagi menjadi :
a. Lughah samiyah; Bahasa Arab, Ibrani, Sumeria, Kaldea, Habsyi, Babilonia, dan lain lain;
b. Bahasa Ariya; mencakup bahasa hindu kuno-sansekerta, persia kuno, jerman dan cabang-cabangnya yang kemudian dipergunakan sebagai bahasa modern sekarang ini
c. Bahasa Thurani, bahasa mesir kuno, Turki, Hongaria, Tartar, dan Mongolia.
Dalam kajian lain, bahasa dapat dilihat dari segi tampilan kegunaannya yakni bahasa Ahadi; bahasa yang tersusun dari stu suku kata yang tidak berubah rumah , bahasa Mazji; bahasa yang terangkai dari dua suku kata yang saling mengkait dan berakibat pada lahirnya makna baru, Bahasa Mutasharrifah; bahasa yang kata dasarnya dapat berubah rubah menjadi bentuk kata yang bermacam macam dan perubahan itu akan erakibat pada perubahan makna.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Alqur’an Berbahasa Arab.
Bahasa Alqur’an secara keseluruhan adalah berbahasa Arab. Bahasa Alqur’an tidak tercampuri oleh bahasa selain bahasa Arab ( إنا أنزلناه قرأنا عربيا قرأنا عربيا غير ذي عوج لعلهم يتقون - ) pada ayat lain qur’an memberi informasi (ولو جعلناه قرأنا أعجميا لقالوا لولا فصلت أياته ). Lughah dan nama sebutan sesuatu selain Arab yang dipakai oleh orang arab dan bahkan menjadi bahasa Alqur’an sudah di Arabisasi sehingga menjadi bahasa arab, seperti الأمشكاة, القسطاس ، الإستبراق , سجيل. bahasa selain arab juga banyak dipergunakan oleh para penyair jahiliyyah yang kemudian digubah kaidah lughahnya dengan kaidah arab. Arabisasi hanya boeh dan lumrah dilakukan oleh para mujtahid bidang bahasa Arab dan biasa mempraktekkan penggunaan bahasa arab dan mereka umumnya membatasi hanya untuk sebutan nama dan barang barang indrawi. Penggunaan bahasa untuk obyek penghaylan dan penyerupaan dalam bahasa arab telah dikenal istilah majaz.
<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Tata cara orang Arab mengungkapkan makna.
Beberapa cara yang dipergunakan oleh orang Arab dalam mengungkapkan makna lafadz yang akan diucapkan
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Hakikat ; pengungkapan dengan pernyataan ini menyangkut tiga bagian , hakikat lughowiyyah, syar’iyyah, dan ’urfiyyah
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Majaz ; untuk mengungkapkan penghayalan dan penyerupaan,
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Ta’rib; untuk mengungkapkan nama nama benda dan ismim alam
<!–[if !supportLists]–>d. <!–[endif]–>Istiqaq ; untuk mengungkapkan makna makna



<!–[if !supportLists]–>B. <!–[endif]–>Dalalah Lafadz
Lafadz adalah perkara yang menunjukkan pada suatu makna. Makna adalah suatu pengertian hakikat yang ditunjuk oleh lafadz. Membahas lughah meliputi pembahasan tentang lafadz, lafadz dan makna dan makna itu sendiri. Membahas lafadz dan makna lafadz alqur’an dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan; kejelasan makna, methode pemaknaan, hakikat suatu lafadz, dan dengan pendekatan yang lain. Erikut ini akan dibahas pendekatan mengambnil makna lafadz sesuai dengan pendekatan yang dipergunakan.
الألفاظ من ناحية وضوحها وقوة دلالتها
في المقصود منها :
Tinjauan Lafadz dari sisi kejelasan dan
kekuatan dilalah ketika diturunkan.
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Macam – macam Dilalah
Dilalah Nash ada dua macam, yaitu :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Jelas dilalahnya : واضح دلالة الألفاظ
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Tidak jelas dilalahnya : غير واضح دلالة الألفاظ
2. Perbedaan :
Dilalah Nash tersebut memperhatikan faktor luar atau tidak atas makna yang dimaksud :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Nash yang dapat difahami tanpa memperhatikan faktor luar disebut Wadlih al Dilalah
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Nash yang tidak dapat difahamin tanpa memperhatikan faktor luar disebut Ghairu wadzih al Dilalah
3. Tingkatan Kejelasan :
Dilalah yang jelas :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Nash yang maknanya difahami dari bentuk nash itu sendiri; dan tidak adanya kemungkinan dapat difahami daripadanya arti yang lainnya; adalah lebih jelas dari :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Nash yang maknanya dapat difahami, serta ada kemungkinan dapat difahami dari padanya arti yang lainnya

<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Macam macam Nash yang jelas Dilalahnya :
Nash yang jelas Dilalahnya ada empat macam, yaitu :
a. Al Dzahir : Nash yang dapat ( 1 ) menunjukkan makna yang dimaksud dengan bentuk nash itu sendiri; ( 2 ) tanpa memperhatikan dari padanya pemahaman dari faktor luar atau ( 3 ) bukan yang dimaksud menurut redaksi asal kata dan yang ( 4 ) mengandung takwil.



Contoh :
إن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى ، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة

Dalam ayat ini, berdasarkan dzahir al Nash :
<!–[if !supportLists]–>1) <!–[endif]–>Boleh nikah sampai empat, dan tidak boleh lebih
<!–[if !supportLists]–>2) <!–[endif]–>Adil adalah tuntutan agama, bukan tuntutan pelaksanaan
<!–[if !supportLists]–>3) <!–[endif]–>Maksud nash yang berhubungan dengan faktor luar, keadilan terhadap anak yatim dan wanita
<!–[if !supportLists]–>4) <!–[endif]–>Takwil tang dmaksud dalam nash al Dzahir adalah keadilan, yakni apabila tidak dapat berbuat adil, maka poligami dilarang.
Aspek Hukum.
Nash al Dzahir wajib diamalkan menurut sesuatu yang tampak jelas dari padanya selama tidak ada dalil lain yang menghalangi dan mungkin menerima takwil; menerima tahsis; dan menerima nasakh.
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Al Nash : Nash yang dibentuknya itu sendiri telah dapat menunjukkan kepada makna yang dimaksud oleh redaksi katanya, dan bisa menerima takwil
Faktor-faktor :
<!–[if !supportLists]–>1) <!–[endif]–>Dapat difahami dari lafadz;
<!–[if !supportLists]–>2) <!–[endif]–>Memahaminya tanpa memperhatikan faktor luar;
<!–[if !supportLists]–>3) <!–[endif]–>Lafadz itu adalah tujuan
Contoh :
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>أحل الله البيع وحرم الربا
Makna nash :
Jual beli adalah halal; dan tidak sama dengan riba
Makna diatas merupakan makna dari bunyi lafadz dan tujuan redaksi kata
<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>فانكحوا ما طاب لكم …. الأية
Setiap laki laki boleh menikah sampai empat merupakan makna yang tersurat dalam bunyi lalafadz, dan merupakan tujuan ari redaksi.
Aspek Hukum :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Hukumnya adalah al Dzahir (wajib mengamalkan makna yang di nash oleh hukum dzahir itu )
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Hukum dzahir bisa ditakwil ( yang dimaksudkan dari padanya, selain makna yang di nash olehnya )

Makna Takwil
Bahasa : menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya sesuatu hal
Ishtilah : memalingkan lafadz dari dzahirnya lantaran ada dalil ( ada nash atau kiyas didasarkan pada jiwa pembentukan hukum ( prinsip prinsip umum )
Contoh :
أحل الله البيع وحرم الربا
Dari ayat ini, bai’ al Ghurur dilarang
Al Ghurur merupakan pemaknaan dari keharaman riba.

فكفارته إطعام عشرة مساكين
Ayat ini memerintahkan membayar kafarat dengan memberi makan 10 orang miskin; makna takwilnya adalah memberi makan 1 orang 10 kali.

Hikmah Takwil
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–> Mengunci pintu takwil; kadang kadang mendatangkan kepada hal yang jauh dari jiwa pembentukan hukum dan keluar dari pokok pokoknya yang umum, serta melahirkan nash nash yang kontradiktif;
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–> Membuka pintu takwil tanpa teliti dan hati hati kadang kadang bisa tergelincir dan mempermainkan nash nash serta mengikuti hawa nahsu

<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>al Mufassar : Nash itu sendiri sudah bisa menunjukkan kepada artinya yang sudah terperinci yang tidak ada kemungkinan untuk mentakwil

Faktor faktor :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–> Nash menunjuk dalalah dengan jelas makna yang terinci;
Nash meniadakan arti yang lain.
Contoh :
فاجلدوهم ثمانين جلدة … الأية .
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–> Ada shighat nash global, tidak terinci tetapi Syari’ telah mendatangkan penjelasan berupa tafsirnya secara pasti sehingga tidak mengandung takwil
أقيموا الصلاة وأتوا الزكاة = صلوا كما رأيتموني أصلي
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا = خذوا عني مناسككم
Hukum Mufassar
Wajib diamalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya dan dapat menerima nasakh.

Beda Takwil dan Tafsir
Terlepas dar persamaannya, yakni keduanya menjelaskan maksud nash; keduanya mempunyai perbedaan, yaitu :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Tafsir : dengan dalil qath’I dari syari’ sendiri sehingga tidak mempunyai kemungkinan pengertian lainnya.
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Takwil : dengan dalil dzannin lantaran ijtihad; bukan pasti dalam menentukan maksud, karena punya kemungkinan maksud lainnya.

<!–[if !supportLists]–>d. <!–[endif]–>al Muhkam : sesuatu yang menunjukkan pada artinya, yang tidak menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya secara jelas dan sama sekali tidak mengandung takwil, dan tidak menerima nasakh, sifatnya asasi, dan tidak menerima penggantian.
Contoh :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Ke- Esaan Allah, percaya pada Rasul dan Kitab kitab-Nya
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>Prinsip prinsip keutamaan yang abadi; berbakti kepada kepada orang tua, dan berbuat adil

Hukum Muhkam
Wajib diamalkan secara pasti, tidak ditakwil dan dinasakh.



غير واضح دلالة الألفاظ
Lafadz yang Tidak jelas dilalahnya

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Pengertian :
Adalah Nash yang bentuknya itu sendiri tidak bisa menunjuk pada arti yang dimaksud dari padanya, dan untuk memahami maksud diperlukan faktor luar.
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–> Jika kesamaran dalil dapat dihilangkan dengan penelitian atau ijtihad dinamakan al Kahfi, atau al Musykil
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–> Apabila kesamaran tidak dapat dihilangkan kecuali melalui penjelasan Syari’ disebut al Mujmal
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–> Adapun apabila kesamaran tidak dapat dihilangkan sama sekali, disebut al Mutasyabi
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Al Khafi.
Lafzd yang dapat menunjuk artinya secara jelas, tetapi dalam menerapkan itu kepada sebagian dari beberapa person merupakan macam yang samar dan tidak jelas. Upaya untuk menghilangkan kesamaran atau ketidak jelasan dibutuhkan ijtihad ( berfikir mendalam )
Indikator-indikator :
<!–[if !supportLists]–>ü <!–[endif]–>Kesamaran terjadi apabila dihubungkan kepada sebagian dari beberapa satuan
<!–[if !supportLists]–>ü <!–[endif]–>Kesamaran pada satuan didalam lafadz merupakan sifat tambahan
<!–[if !supportLists]–>ü <!–[endif]–>Kesamaran itu timbul tidak dari lafadz al khafi itu sendiri, tetapi didalam menerapkan artinya kepada sebagaian satuan karena adanya faktor dari luar
Contoh I :
السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسب من الله … الأية .
Kesamaran ayat ini ketika diterapkan untuk satuan perbuatan yang mempunyai indikasi perbuatan yang sama, tetapi memiliki keahlian tambahan, seperti al Nisyal ( jambret ) , al Thirar ( merampok ), menyamun dan lain lain.
Catatan : Abu Hanifah tidak menghukumi mencuru pada al Nibasy ( mengambil Mori mayat dalam kubur ) tidak termasuk al Sarik karena kuburan bukan tempat menyimpan yang benar, dan mori atau barang mayyit yang lain merupakan barang yang tidak disukai orang. Sementara Imam yang lain, termasuk Abu Yusuf, menghukumi mereka sebagai pencuri yang dipotong tangannya.
Akibat Hukum.
Akibat hukum dari perbuatan yang illatnya samar tersebut ulama madzhab berbeda pendapat :
Abu Hanifah : tidak dikenahi had ( hukuman dari perbuatan aslinya )
Syafi’I, Maliki, Hanbali, dan Abu Yusuf : dikenahi hukuman sama dengan perbuatan yang mempunyai illat hukum jelas, perbuatan tersebut merupakan nama lain dari yang asli.
Contoh II :
Hadits Nabi :
لايرث القاتل شيئا
Yang dimaksud dalam hadits ini adalah pembunuhan al amdu ( dengan disengaja ) . Adapun pembunuhan al Hatha’ ( dengan tidak sengaja ) terdapat kesamaran hukum.
Imam Malik, Pembunuhan dengan tidak sengaja tidak termasuk katagori pembunuhan, sehingga tidak menghalangi hak warits.
Jumhur Ulama, pembunuhan al Hatha’ termasuk pembunuhan, sehingga menghalangi hal warits;
Imam Hanafi, harus dipelajari dahulu kesalahan dalam melakukan pembunuhan, apabila ada indikasi yang mengarah pada perbuatan pembunuhan maka hukumnya sama dengan al ‘amdu, dan menghalangi hak warits.
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Al Musykil.
Lafadz yang bentuknya itu tidak dapat menunjuk pada artinya, bahkan harus ada qarinah dari luar yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud dari padanya. Qarinah dapat ditemukan dalam pembahasan.
a). Lafadz al Musykil; lafadz itu samar karena dia menurut bahasa dibuat untuk obyek beberapa arti , dan pengertiannya tidak dapat difahami dengan sendirinya, atau karena kontradiksi pemahaman satu nash dengan yang lain.
Cara memahami makna dari lafadz seperti ini adalah :
<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>dengan memahami syi-yaqul kalam ( kesesuaian makna dengan kondisi yang melatar belakangi )
<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>dengan dalil luar yang memperjelas makna lafadz itu.
Contoh :
Pemaknaan lafadz : أنى dalam beberapa ayat Alquran berikut ini :
1- أنى بمعنى كيف :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>فأتوا حرثكم أنى شئتم ، لفظ أنى في هذه العبارة بمعنى كيف – بأي كيفية شئتم قاعدة أو قائمة أو على جنب أو من الخلف في القبل ، لأن ( الحرث ) هو موضع طلب الأولاد والنسل ، والدبر ليس محلا لها .
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>أنى يكون لي غلام .
2- أنى بمعنى من أين :
أنى لك هذا

b) samar karena lafadznya Musytarak; yang menurut bahasa adalah obyek beberapa arti dan dilalah sighatnya tidak tertentu satu arti, sehingga membutuhkan qarinah dari luar yang menentukannya.
Contoh :
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاث قروء
Lafadz “ quru’ “ obyek bagi arti suci dan mens, sehingga iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali haidz ( Ulama Hanafi dan Ulama Hanbali ) karena ada hadits lain yang pemaknaannya sama, yaitu :

1- عدة الأمة حيضتان
2- المستحاضة تدع الصلاة أيام أقرائها
Adapun Ulama Syafi’I dan Maliki memaknai quru’ tiga kali masa suci dengan qarinah kaidah lughawiyyah, seperti yang terdapat dalam ayat yang lain :
الذي بيده عقدة النكاح في قوله تعالى إلا أن يعفون أو يعفوا
الذي بيده عقدة النكاح . أي الزوجة أو الولي

Kesulitan juga muncul karena adanya perbandingan antara satu nash dengan yang lain ( nash itu pada batas-batasnya mempunyai dalalah yang jelas atas maknanya dan tidak ada kesulitan, tetapi kesulitan timbul ketika dikompromikan antara nash-nash itu.

<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>ما أصابك من حسنة فمن الله وما أصابك من سيئة فمن نفسك،
قل كل من عند الله
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>إن الله لا يأمر بالفخشاء ، وإذا أردنا أن نهلك قرية أمرنا مترفيها ففسقوا منها فحق عليها القول فدمرناها تدميرا .

Jalan untuk menghilangkan kesamaran adalah ijtihad, sehingga mujtahid dapat mentakwil secara benar dan dapat menyatakan nash-nash itu serta dapat menghilangkan perbedaan yang terdapat pada formalnya.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Al Mujmal.
Adalah lafadz yang sighatnya tidak dapat menunjukkan pada pengetian yang dikandung olehnya dan tidak terdapat qoarinah-qarinah lafadz atau keadaan yang menjelaskannya. Sebab sebab kesamaran bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru datang. Termasuk al Mujmal; pertama adalah lafadz yang pengertian bahasanya dipindah oleh Syari’ untuk pengertian istilah syari’ secara khusus, seperti Shalat, Shiam, Zakat, Haji, riba, dan lain lain. Pengertian lafadz lafadz itu adalah oleh penafsiran dari syari’ itu sendiri; kedua Lafadz asing yang ditafsiri oleh nash itu sendiri dengan arti yang khusus.
Contoh :
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>القارعة ، ما القارعة ، وما أدراك ما القارعة ، يوم يكون الناس كالفراش المبثوث ، … الأية
<!–[if !supportLists]–>* <!–[endif]–>إن الإنسان خلق هلوعا ، إذا مسه الشر جزوعا ، وإذا مسه الخير منوعا .
Ketiga Lafadz itu musytarak, sedangkan syara’ tidak menjelaskan qarinahnya. Ketika ada kesulitan mendapatkan kejelasan makna ayat karena tidak ada qarinah, maka ayat tersebut termasuk al Mujmal. Seperti makna lafadz الموالي dalam ungkapan أوصيت بثللث مالي لموالي , makna kalimat diatas mungkin orang yang memberi kemerdekaan berarti datangnya wasiat dari hamba yang dimerdekakan, tetapi juga mungkin maknanya adalah hamba yang dimerdekakan, berarti wasiat datang dari sayyid yang memerdekakan. Yang dapat menjelaskan makna الموالي diatas adalah orang yang melakukan wasiat sendiri dan apabila yang berwasiat mati, serta belum ada kejelasan makna dari yang bersangkutan, maka wasiat batal, karena tidak mungkin terjadi dua pemaknaan ( Imam Hanafi ).

<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>al Mutasyabih .
Adalah lafadz yang sighatnya itu sendiri tidak mrnunjuk pada artinya dan tidak terdapat qarinah-qarinah luar yang menjelaskannya, sedangkan Syari’ sudah mencukupkannya begitu saja berdasarkan ilmu-Nya dan tidak menjelaskannya. Termasuk katagori al Mutasyabih ialah ayat ayat qur’an yang berupa potongan potongan huruf, seperti : يس ، ألم ، كهيعص , dan ayat ayat yang formalnya menyerupakan Allah dengan mahluknya, seperti : يد الله فوق أيديهم ، و اصنع الفلك بأعيننا ، ما يكون من نجوى ثلا ثة إلا هو رابعهم ولا خمسة إلا هو سادسهم ولا أدنى من ذلك ولا أكثر إلا هو معهم أينما كانوا dan perbuatan perbuatan yang dilakukan oleh Allah, seolah olah Allah melakukannya dengan jasmani dan ditentukan oleh waktu tertentu, seperti الرحمن على العرش استوى ، وجاء ربك والملك صفا صفا ، وقوله صلعم : إذا كاتت ليلة النصف من شعبان ، فقوموا ليلها ، وصوموا يومها ، فإن الله تبارك وتعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى السماء الدنيا ، فيقول : ألا من مستغفر فأغفر له ؟ ألا من مسترزق فأرزقه ؟ ألا من مبتلي فأعافيه ، ألا كذا ، ألا كذا ، حتى يطلع القجر - رواه ابن ماجة عن علي رضي الله عنه-
tentang keijmalannya itu ulama berselisih pendapat :
<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Ulama’ salaf : ayat ayat Mutasyabih artinya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, dan mereka mempercayainya, serta tidak hendak mentakwil
<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>Ulama’ khalaf berpendapat, ayat ayat yang formalnya mustahil harus ditakwil dan dipalingkan dari arti formalnya, sehingga tidak terjadi penyerupaan al Khaliq pada Makhluq
<!–[if !supportLists]–>6. <!–[endif]–>Abdul Wahab al Khallaf, ayat ayat diatas ditakwil dengan ketentuan tidak timbul perbedaan mentakwilnya. Dan masalah yang berhubungan dengan huruf hijaiyyah di permulaan ayat qur,an, itu bukti, bahwa alqur’an dibuat dari huruf-huruf, bukan dari yang lain.

Poros ayat Mutasyabih.
Pembicaraan ayat mutasyabih didasarkan pada ayat :
وهو الذي أنزل عليك الكتاب ، منه أيات محكمات هن أم الكتاب و أخر متشابهات، فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه إبتغاء الفتنة وابتغاء تأويله، وما يعلم تأويله إلا الله ، والراسخون في العلم يقول أمنا به ، كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب ، ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا …. الأية .
Terhadap ayat ini ada perbedaan :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Ibnu Hazm; Mutasyabihat hanya pada huruf huruf terpenggal diawal surat, dan sumpah sumpah Allah, sepertiلا أقسم بهذا البلد … والشمس وضحها
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Ulama’ yang lain, sama dengan pendapat diatas, dengan menambahkan ayat ayat yang menimbulkan salah sangka penyerupaan Allah dengan Mahluk.
Menemukan secara yakin makna mutasyabih tidak mungkin, upaya yang ditempuh adalah :
<!–[if !supportLists]–>7. <!–[endif]–>mengalihkan maknanya
<!–[if !supportLists]–>8. <!–[endif]–>tidak membahas sama sekali.

Ayat ayat taklif, dan ayat tentang syari’at ( hukum ) tidak ada yang mutasyabih, bahkan semua jelas, baik secara langsung maupun lewat penjelasan Nabi.



Cara Menerangkan Nash
الألفاظ من طرق هذه الدلالة ، أهي بصريحة العبارة أم هي بالإشارة ولوازم المعاني ، أو هي بالمنطوق أم بالمفهوم
Masalah Cara Menerangkan Nash ( Dalalah )
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Pengertian.
Menurut bahasa Dalalah artinya petunjuk, sedangkan menurut Ulama’ Ushul Fiqh, Dalalah :
الدلالة هي ما يدل اللفظ من معنى
yakni suatu pengertian yang ditunjuki oleh lafadz.
Atau diartikan :
الدلالة هي ما يقتضيه اللفظ عند الإطلاق
yakni suatu yang dikehendaki oleh lafadz ketika diucapkan secara muthlak.
b. Pembagian
Ulama’ Hanafi menyatakan bahwa pedoman yang dipakai untuk menggali dan memahami lafadz-lafadz al nash alqur’an dan sunnah dapat dilakukan melalui pemahaman dalalah al lafdz dan dalalah ghairu al lafdz. Sedangkan al Syafi’I pemahamannya melalui al manthuq dan al mafhum.

Ulama’ Hanafi membagi Dalalah ke dalam :
دلالة النص ، دلالة الإقتضاء ، ودلالة المفهوم أي مفهوم المخالف


<!–[if !supportLists]–>a.<!–[endif]–>Pengertian ‘Ibarat al Nash.
دلالة العبارة هي المعنى المفهوم من اللفظ سواء أكان ظاهرا فيها أم كان نصا سواء كان محكما أم كان غير محكم

“ Makna yang dapat difahami dari lafadz, baik itu lafadz al dzahir atau lafadz al nash, atau baik itu lafadz al muhkam atau bukan muhkam “
عبارة النص وهو اللفظ ومعناها دلالة اللفظ على المعني مقصودا أصليا او غير أصلي

“ Lafadz dan artinya adalah petunjuk lafadz atas makna yang dimaksudkan; baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli “

دلالة العبارة هي دلالة الصيغة على المعنى المتبادر فهمه منها المقصود من سياقها سواء أكان مقصودا من سياقها أصالة أو مقصودا تبعا

“ petunjuk dari bentuk makna yang cepat dapat difahami dari padanya, serta dimaksudkan oleh susunan lafadznya. Baik susunan lafadz itu dimaksudkan untuk makna asli atau karena makna ikutan ( bukan makna asli) “
makna dari definisi diatas, Ibarat al nash :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>lafadz yang tersusun dari dua makna maksud hukum; maksud hukum asli, atau bukan asli
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>mengandung makna yang segera dapat difahami dari susunan lafadznya
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>diantara lafadznya mengandung lafadz al dhahir, al nash, al muhkan dan ghairu muhkam

Contoh :
أحل الله البيع وحرم الربا
Makna asli; jual beli itu bukan riba. Dengan latar belakang turunnya ayat ini sebagai bantahan terhadap anggapan
bahwa jual beli itu identik dengan riba, sebagaimana firman Allah :
إنما البيع مثل الربى

arti tidak asli adalah jual beli itu halal, dan riba itu haram. Makna ini meniadakan persamaan antara keduanya, serta menunjukkan hukum masing masing.
Contoh lain :
إن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى ، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Makna ayat ini adalah :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>boleh menikah dengan wanita cantik
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>membatasi bilangan sampai empat
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>kewajiban membatasi satu istri apabila dihawatirkan terjadi dzalim ketika berbilangan istri
makna asli adalah arti kedua dan ketiga; makna ketiga dimaksudkan untuk menjelaskan para wali penerima wasiat untuk membatasi diri, mereka menolak menerima wasiat karena takut aniaya terhadap anak yatim, sehingga dibatasi hanya beristri Satu saja
sedangkan makna tidak asli adalah makna pertama, yakni menikahi wanita cantik, dan cukup satu hubungannya dengan keadilan
Nash Syar’I atau Undang undang wajib iamalkan dengan apa yang telah difahami tentang kata kata itu, atau isyaratnya, atau dalil dalilnya, atau hukum hukumnya. Setiap apa yang difahami dari nash itu dengan salah satu methode yang empat berdasarkan nash itu merupakan hujjah terhadapnya.
Kaidah pertama , Kata kata nash :
دلالة العبارة
adalah shighat yang terbentuk dari mufradad dan kalimat. Sedangkan makna dari “ apa yang difahamkan dari kata kata nash “ adalah pengertian yang cepat ditangkap dari shighatnya itu yaitu apa yang dimaksud oleh pembicaraan. Makna dapat difahami dengan jelas dari shighat ( kata kata ) nash itu, ketika pembicaraan untuk menyatakan dan menetapkannya.
Catatan :
Nash : Pembicaraan untuk menyatakan dan menetapkannya.
Yang diterangkan : Kata kata Nash
Yang menunjukkan kata kata : shighat atas makna yang cepat difahamkan maksud dari pembicaraan itu ( apakah maksud pembicaraan itu pokok pembicaraan atau yang mengiringi )
Contoh :
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Semua hukum perundangan tentang sesuatu yang ditunjuk oleh kata tertentu menunjukkan dalil yang jelas terhadapnya. Semua fasal arti katanya menunjuk pada makna yang dimaksud.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Firman Allah :
أحل الله البيع وحرم الربا
Nash ini menunjukkan bahwa sighat ini merupakan dalil nyata untuk menjelaskan apa yang dimaksud oleh pembicaraan itu, seperti pertama jual beli itu bukan seperti riba; dari nash ini dikandung maksud bahwa anggapan, bahwa jual beli itu tidak seperti riba, kedua, jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram
<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Firman Allah :
إن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى ، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة

Dari nash ini dapat difahami dengan tiga pengertian, pertama boleh menikah dengan wanita yang disenangi, kedua sebanyak banyaknya sampai empat orang, dan ketiga adalah ketersangkutan dengan kekejaman dan harta anak yatim.
b. Isyarat Nash إشارة النص ) )
<!–[if !supportLists]–> i. <!–[endif]–>Pengertiannya
Menutur Khudhari Bik :
إشارة النص هى دلالته على ما لم يقصد له اللفظ أصلا
Isyarat Nash adalah petunjuk nash atas makna yang tidak dimaksudkan oleh lafadznya menurut makna aslinya
Menurut syeikh Abu Zahrah :
إشارة النص هي ما يدل عليه اللفظ بغير عبارته ولكنه يجيئ نتيجة لهذه العبارة فهويفهم من الكلام ولكن لا يستفاد من العبارة ذاتها
Adalah suatu makna yang ditunjuki oleh lafadz bukan dari segi ibaratnya. Akan tetapi ia muncul sebagi natijah ( konklusi ) dari ibarat ini; ia dapat difahami dari susunan kalimat, tetapi tidak memberikan faedah dari dzat ( hakikat makna yang tersurat dalam ) ibaratnya
Menurut DR. Abdul Wahab Khalaf :
دلالة الإشارة هي دلالة النص عن معنى لازم لما يفهم من عبارته غير مقسود من سياقه يحتاج فهمه إلى فضل ثأمل أو أدناه حسب ظهور وجه التلازم وخفائه
Adalah petunjuk nash atas makna yang lazim ( tetap ) yang dapat difahami dari uangkapannya serta tidak dimaksudkan oleh susunan lafaznya; dan untuk memhami (makna) nya diperlukan pemikiran sedalam-dalamnya atau pemikiran yang sederhana, menurut terang dan tidaknya dari segi ketetapannya
Menurut Zakiy al Din Sya’ban :
هي دلالة للفظ على حكم لم يقصد منه أصالة ولا تبعا ولكنه لازم للمعنى الذي سيق الكلام لإفادته ولا يتوقف عليه صدق الكلام ولا صحته شرعا
Adalah petunjuk laadz atas hukum yang tidak dmaksudkan baik oleh makna asli maupun makna tabi’I ( bukan asli ). Akan tetapi hukum itu tetap ada bagi makna yang tersusun ( dalam ) susunan lafadz untuk keprluannya, dan tidak dapat diketahui atas makna hukum itu suatu kebenaran dan keshahihan susunan lafadz menurut syara’
2. Unsur-unsur Isyarat Nash :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Mengandung makna ( hukum ) tetap yang tidak dimaksudkan baik oleh makna asli maupun makna tabi’iy dalam susunan lafadznya
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Dala memahaminya kadang kadang diperlukan pemikiran sedalam-dalamnya atau pemikiran yang sederhana mungkin
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Kebenaran dan kesahihan makna ( hukum ) dari isyarat al Nash ini tidak dapat diketahui dalam tuntutan syara’
Contoh :
وإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Makna Ibarat :
Adil menurut tuntutan agama maupun peradilan adalah syarat bagi laki-laki yang mau menikah lebih dari satu
Makna Isyarat :
Adil adalah tuntutn kehidupan dan bersifat abadi, dan adil merupakan lawan dari dhalim, yang menurut agama adalah dusta dan haran hukumnya
يا أيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه ، وليكنب بينكم كاتب بالعدل ولا يأب كاتب أن يكتب كما علمه الله فليكتب وليملل الذي عليه الحق وليتق الله ربه ولا يبخس منه شيئا
Makna ibarat :
Menulis hutang piutang dengan adil adalah wajib, dalam arti antara hutang dan yang tercatat harus sesuai dan benar.
Makna Isyarat :
Menulis utang adalah hujjah bagi piutang suatu ketika yang berhutang mungkir atas utangnya.
Catatan :
Dalam memahami isyarat al nash antara satu orang dan orang lain sering berbeda, karena adanya kesamaran petunjuk-petunjuknya, sehingga memahami isyarat al nash hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar benar memahami hukum syari,at, qanun al syari’ah, dan bahasa syari’at.


c. Petunjuk Nash ( دلالة النص )
1. Pengertian :
Menurut Zakiey al Din Sya’ban :

دلالة النص هى دلالة الكلام على ثبوت حكم المنصوص عليه للمسكوت عنه لاشتراكهما في علة الحكم التي يمكن فهمها بمجرد فهم اللغة من غير احتياج إلى نظر واجتهاد
Dalalah al Nash adalah petunjuk dari susunan kalimat atas keketapan hukum yang ada nashnya untuk ( menetapkan hukum ) yang tidak disebutkan ( yang tidak ada nashnya ) karena secara bersama ada kesamaan illat hukum yang pemahaman hukum keduanya memungkinkannya hanya melalui pemahaman secara bahasa ansikh, tanpa memerlukan pemikiran dan ijtihad.
Menurut Abu Zahrah :
“ apabila ungkapan nash menunjukkan atas hukum dalam suatu kejadian oleh karena ungkapan nash tersebut, dan hukum ini dapat difahami dari nash untuk kejadian yang lain karena terbukti ada yang mewajibkan hukum didalam nash itu “
Syeikh Khudzari Bik menyatakan :
“ Ialah penunjuk nash atas ketetapan hukum yang disebutkan bagi suatu ( hukum ) yang tidak disebutkan karena dapat difahaminya illat, yang dapat diketahui secara bahasa, ansich “
Unur unsur Dilalah al Nash :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Dilalah al Nash mengandung hukum beserta illatnya yang dapat diterapkan atas kejadian lain berdasarkan hukum dan illat yang sama
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Illat hukum dalam dalalah al nash ini hanya dapat diketahui melalui bahasa saja
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Dalam dalalah al nash ini terkandung dua illat, illat yang sama dan illat yang utama
Contoh :
Adalah dalalah al nash yang illatnya sama ( علة المساوي )
إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
Makna Ibarat al Nash :
Makan harta anak yatim itu haran dengan illat anak yatim itu belum mampu menjaga hartanya, dan memakan hartanya adalah aniaya terhadap hartanya.
Illat aniaya ternyata dapat diterapkan pada masalah masalah yang tidak disebutkan oleh syara’, seperti pengrusakan, membakar, atau terlengah menjaga hartanya sedangan dia adalah yang menerima amanah. Masalah yang mempunyai illat sama dengan yang disebutkan oleh syara’ adalah berkedudukan sama dan mendapatkan kepastian hukum yang sama, yakni haram.
Contoh lain :

والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ، ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن يؤمن بالله واليوم الأخر
Makna Ibarat Nash :
Wanita yang ditalak suaminya iddahnya adalah tiga quru’, illat iddah adalah kesucian rahim, atau mengetahui hamil dan tidaknya wanita yang ditalak. Illat ini dapat dipakai ketika istri terpisah dengan suami non talak, seperti fasakh dan lain lain, yakni apabila mereka diketahui rahimnya suci atau tidak hamil.
Contoh illat yang lebih utama ( علة الأولى )
فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما .
Makna Ibarat Nash :
Ayat ini menunjukkan larangan anak mengucapkan kata yang tidak mengenakkan kepada kedua orangtua. Illat kata yang tidak mengenakkan adalah menyakitkan. Illat ini dapat diterapkan kepada masalah lain yang tidak disebutkan oleh syara’, seperti memukul, menendang, menyandera, dan lain lain. Memaknahi menyakitkan dari illat yang kedua adalah sama, bahkan lebih utama dari illat pertama, maka hukumnya adalah sama.
Ulama’ ushul fiqh memaknakan dalalah al Nash dengan wahwa al hitab ( فهو الخطاب , dan khusus Ulama syafi’iyyah menamakannya dengan mafhum al Muwafaqat, dan sebagaiam Ulama’ Ushul fiqh menamakan dalalah al Nash dengan al Qiyas, khusus Imam al Syafi’I menamakan Qiyas al Jaliy
Perbedaannya dengan qiyas, Dalalah al Nash illat kesamaan hukum hanya dari segi bahasanya saja, sementara al Qias , illat kesamaan hukum yang terjadi adalah hasil ijtihat dan al isthimbath al akhkam secara menyeluruh

d. Iqtidha’ al Nash ( ( إقتضاء النص
Pengertian:
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–> Abu Zahroh
دلالة الإقتضاء وهي دلالة اللفظ على كل أمر لا يستقيم المعنى بتقديره
“ adalah petunjuk lafadz atas setiap masalah ( hukum ) yng tidak dapat ditegakkan maknanya kecuali dengan mengukur ( mengira-ngira ) nya “
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–> menurut syeikh al Khudzari :
وهو دلالة اللفظ على سكوت عنه يتوقف صدق الكلام عليه
“ adalah petunjuk lafadz atas ( sesuatu kata ) yang tidak disebutkan ( oleh syara’ ) yang hanya dapat diketahu kebenaran sususnan kaimat ( nash ) atas sesuatu kata itu “
<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Abdul wahab khalaf :
المراد بما يفهم من إقتضاء النص المعنى الذي لا يستقيم الكلام إلا بتقديره ، فصيغة النص ليس فيها لفظ يدل عليه ولكن صحتها واستقامة معناها تقتضيه ، أو صدقها ومطابقها للواقع تقتضيه

“ Yang dimaksud dengan sesuatu yang difahami dari iqtidza’ al nash ilah makna lafadz yang tidak dapat ditegakkan suatu kalimat nash kecuali dengan makna lafadz tersebut. Maka dalam bentuk ( kalimat ) nash tidak terdapat makna lafadz yang menunjukkan kepada kesempurnaan bentuk nash tersebut, tetapi kesahihan atau kebenaran bentuk nash dan tegak maknanya menghendaki kepada makna lafadz tadi yang sesuai dengan kenyataan yang mnghendakinya “

<!–[if !supportLists]–>d. <!–[endif]–>Menurut Zakiy al Din Sa’ban :

إقتضاء النص هى دلالة الكلام على مسكوت عنه يتوقف عليه صدق الكلام أو صحته شرعا
Adalah petunjuk susunan lafadz atas ( sesuatu kata ) yang tidak disebutkan ( oleh syara’ ) yang hanya dapat diketahui kebenaran atau kesahihan susunan lafadz ( nash )nya atas sesuatu kata itu menurut syara’

Unsur-unsur :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>diperlukan suatu lafadz yang bermakna dari luar susunan makna kalimat nash yang telah ada untuk kesahihan dan kesempurnaan maknanya secara keseluruhan, agar dapat difahami secara benar
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Makna lafadz yang diperlukan harus sesuai dengan kenyataan yang dikehendaki oleh susunan kalimat nash yang ada
Contoh :
وسئل القرية التي كنا فيها والعير التي أقبلنا فيها وإنا لصادقون
Lafadz ini tidak dapat difahami secara lafdzi, karena khitab syara untuk al qaryah yang tidak dapat berkomunikasi, agar dapat difahami maknanya secara utuh, maka makna lafadz ini adalah “ disisispkan “ kata ahli, yakni ahli al qaryah sehingga maknya dapat difahami secara utuh.
Contoh lain :
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به
Keharaman dari ayat diatas belum jelas, apakah melihatnya, memakannya, dan atau yang lain, sehingga harus diperkirakan kepantasan maknanya, yaitu memakannya

Ulama Ushul fiqh membagi Iqtidza’ al Nash dalam mensesuaikan makna dengan ungkapan lafadznya kedalam tiga bagian, yaitu :

Dari yang dikehendaki nash ada makna yang ( wajib ) dianggap ( dikira-kirakan) tepat untuk kebenaran susunan lafadz nash menurut ketentuan syara’
contoh :
لا صيام لمن لم يبيت النية من الليل – أي لا يصح الصيام …..
Dari yang dikehendaki nash ada makna yang ( wajib ) dianggap ( dikira-kirakan ) tepat untuk kebenaran susunan lafadz nash menurut akal.
Contoh :
فليدع ناديه
maka biarlah dia memanggil tempat perkampungan
makna ungkapa ini tidak rasional kecuali dengan tambahan lafadz ahli, sehingga maknanya akan rasional
Dari yang dikehendaki nash ada makna yang ( wajib ) dianggap ( dikira-kirakan ) tepat untuk kesahihan susunan lafadz nash menurut ketentuan syara’.


Contoh :
… فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان
“ … maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah ( yang memaafkan ) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah ( yang diberi maaf ) membayar kepada memberi maaf dengan cara yang baik ( pula ) “
agar makna lafadz ini shahih dan tepat antara susunan lafadz dan maknya, maka harus diberi “ tambahan “ lafadz maal, sehingga makna keseluruhan “ ….. dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat harta kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik ( pula) “

Tingktan kekuatan Dilalah
Empat dalalah diatas dapat dijadikan sebagai khujjah syar’iyyah untuk menetapkan suatu hukum yang digali dari makna nash-nash syara’. Apabila terjadi ta’arudz ( pertentangan ) antara dalalah yang dapat difahami dengan Ibarat al Nash dengan dalalah yang lain, maka yang didahulukan adalah makna lafadz yang dapat difahami dengan Ibarat al Nash. Contoh :
ياأيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى

pemahaman dengan ibarat al nash, bahwa pembunuh dengan senganja adalah diqhisas, sedangkan ayat lain yang difahami dengan isyarat al Nash tidak mewajibkan membunuh bagi yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, tetapi masuk neraka jahannam, yaitu firman : ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاءه جهنم خالدا فيها Contoh ta’arudz antara Ibarat al Nash dengan dalalah al nash adalah يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى dengan ayat ومن قتل مؤمنا خطأفتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله makna ayat pertama adalah pembunuh dengan sengaja mendapat hukum qishas, sedangkan dengan ayat kedua pemahamannya adalah pembnuh seorang mukmin karena bersalah, dengan illat mengilangkan nyawa diwajibkan kafarat, maka apalagi membunuh mukmin dengan sengaja, maka hukumannya adalah lebih utama. Dan contoh ibrat al nash dengan dalalah iqtidla’ dalah ayat ومن قتل مؤمنا خطأفتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله dengan hadits nabi رفع عن أمتي الخطاء و النسيان وما استكرهوا makna iqtidha’ dari hadits ini adalah membunuh dengan “ kesalahan = tidak sengaja “ adalah tiampuni
Dan apabila lafadz yang dapat difahami dengan Isyarat nash dengan dalalah al Nash dan dalalah al Iqtidlah’ , maka makna yang dipakai aladah Isyarat al Nash. Contoh yang bertentangan isyarat al nash dengan dalalah al nash : ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاءه جهنم خالدا فيه ( membunuh dengan sengaja tidak wajib memerdekkan budak, kaena dosa tidak dapat dibalas di dunia ) dengan ayat ومن قتل مؤمنا خطأفتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله ( membunuh dengan salah dengan illat menghilangkan nyawa orang, maka wajib baginya memerdekaan budak, apalagi membunuh dengan sengaja, maka hukumannya lebih dari itu ) Sedangkan apabila dalalah al nash bertrntangan dengan dalalah al Iqtidla’ maka makna yang dipakai adalah dengan dalalah al nash
Ulama syafi’iyyah mendahulukan memaknahi dengan dalalah al nash dari pada isyarat al nash, sehingga pembunuh dengan sengaja wajib kafarat sebagai penebus dosanya, dengan cara memerdekakan hamba sahaya mukmin. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh Ulama’ Syafiiyyah :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Dalalah al nash dari suatu makna ayat atau hadits digali dari susunan lafadz bahasanya. Dan pemahaman semacam itu hampir menyerupai dengan methode pemahaman ibarat al nash, sedangkan isyarat al nash dari suatu makna ayat tidak dapat digali dari susunan lafadz bahasanya, tetapi digali dari ketetapan-ketetapan yang jauh untuk nash-nash syara’
<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Makna dari suatu ayat atau hadits dengan melalui pemahaman dalalah al nash adala jelas maksudnya , sedangkan melalui pemahaman isyarat al nash kadang kadang jelas dan kadang-kdang tidak jelas maksudnya.

Dalalah Ghayr al Lafadz.
Ulama’ hanafiyyah menamakan dalalah ghayr al Lafdz dengan dalalah al sukut ( dalalah yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh lfadznya ), dan bayan al Dharurat ( penjelasan yang dapat diambil pemahamannya dengan mudah ). Dan mereka membagi dalalah ini pada empat bagian :
<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>دلالة حال الساكت الذي وظيفته البيان مطلقا أو في تلك الحال
“ Dalalah ( petunjuk ) dari hukum yang disebutkan ( ada) atas hukum lain yang tidak disebutkan “
contoh :

. الألفاظ من طرق هذه الدلالة ، أهي بصريحة العبارة أم هي بالإشارة ولوازم المعاني ، أو هي بالمنطوق أم بالمفهوم :

، دلالة النص ، دلالة الإقتضاء ، ودلالة المفهوم أي مفهوم المخالفة
Nash Syar’I atau Undang undang wajib diamalkan dengan apa yang telah difahami tentang kata kata itu, atau isyaratnya, atau dalil dalilnya, atau hukum hukumnya. Setiap apa yang difahami dari nash itu dengan salah satu methode yang empat berdasarkan nash itu merupakan hujjah terhadapnya.
Kaidah pertama , Kata kata nash - دلالة العبارة - adalah shighat yang terbentuk dari mufradad dan kalimat. Sedangkan makna dari “ apa yang difahamkan dari kata kata nash “ adalah pengertian yang cepat ditangkap dari shighatnya itu yaitu apa yang dimaksud oleh pembicaraan. Makna dapat difahami dengan jelas dari shighat ( kata kata ) nash itu, ketika pembicaraan untuk menyatakan dan menetapkannya.
Catatan :
Nash : Pembicaraan untuk menyatakan dan menetapkannya.
Yang diterangkan : Kata kata Nash
Yang menunjukkan kata kata : shighat atas makna yang cepat difahamkan maksud dari pembicaraan itu ( apakah maksud pembicaraan itu pokok pembicaraan atau yang mengiringi )
Contoh :
<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>Semua hukum perundangan tentang sesuatu yang ditunjuk oleh kata tertentu menunjukkan dalil yang jelas terhadapnya. Semua fasal arti katanya menunjuk pada makna yang dimaksud.




<!–[if !supportLists]–>6. <!–[endif]–>Firman Allah :
أحل الله البيع وحرم الربا
Nash ini menunjukkan bahwa sighat ini merupakan dalil nyata untuk menjelaskan apa yang dimaksud oleh pembicaraan itu, seperti pertama jual beli itu bukan seperti riba; dari nash ini dikandung maksud bahwa anggapan, bahwa jual beli itu tidak seperti riba, kedua, jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram
<!–[if !supportLists]–>7. <!–[endif]–>Firman Allah :
إن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى ، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة

Dari nash ini dapat difahami dengan tiga pengertian, pertama boleh menikah dengan wanita yang disenangi, kedua sebanyak banyaknya sampai empat orang, dan ketiga adalah ketersangkutan dengan kekejaman dan harta anak yatim.
Kaidah kedua Isyarat Nash ( إشارة النص ), yakni pengertian yang tidak cepat ditangkap lafadz lafadznya.