KEBERSAMAAN DALAM SATU TUJUAN

Minggu, 19 Juni 2011

KARYA PAK LISIN BAGIAN 3

SILABUS USHUL FIQH
SETIA WALISEMBILAN SEMARANG
Mata Kuliah : Ushul Fiqh II Kode Mata Kuliah : INS.201
Komponen : MKDK Kelas : Semua daerah
Jurusan : PAI Konsentrasi : Pendidikan Fiqh
Program : S 1 Bobot : 3 SKS
I. TUJUAN
Agar Mahasiswa mengetahui dan memahami Ushul Fiqh sebagai alat untuk mengistinbathkan hukum dari Qur’an dan Hadits dengan menggunakan kaedah kaedahnya.
II. TOPIK INTI
A. Methode Ijtihad
§ Ijtihad, pengertian, dasar hukum, kedudukan, dan fungsi. Obyek, macam amacam ijtihad, syarat syarat Mujtahid, dan tingkat ijtihad.
§ Istikhsan, Istishab, dan Istislakh
§ Al Urf, Sadz al Dzari’ah, Syar’u Man Qablana, dan Qaul Shahaby
ب. مباحث الألفاظ :
1. الألفاظ من ناحية وضوحها وقوة دلالتها في المقصود منها :
- واضح دلالة الألفاظ ( الظاهر ، النص ، المفسر ، والمحكم )
- غير واضح دلالة الألفاظ ( الخفي ، المشكل ، المجمل ، والمتشابه
2. الألفاظ من طرق هذه الدلالة ، أهي بصريحة العبارة أم هي بالإشارة ولوازم المعاني ، أو هي بالمنطوق أم بالمفهوم :
- دلالة العبارة ، دلالة النص ، إشارة النص ، دلالة الإقتضاء ، ودلالة المفهوم أي مفهوم المخالفة
3. الألفاظ من حيث ما يشتمل عليه الألفاظ ومدى ما تدل عليه من عموم أو خصوص ، ومن تقييد أو إطلاق :
- العام والخاص ، دلالة العام ، عام القرأن وخاص الحديث ، تحصيص العام ن وتعارض العام والخاص
- المشترك ، اللفظ المشترك في النصوص القرأنية والنبوية
- المطلق والمشترك .
4. الألفاظ من صيغ التكليف :
5. النسح والمنسوح ، شروط النسح ، مالا يقبل النسح ، النصوص التي يدخل النسح ، ونسح القرأن والسنة .
III. Referensi :
1. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1997
2. Wahbah al Zuhaily, Ushul Fiqh
3. Abu Zahrah, Ushul Fiqh
4. Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh
5. TH. Hasby al Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam I, II
6. Khudari Bik, Ushul Fiqh
7. Ash-Shidiqieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Pengamatan Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1997
8. Mukhtar Yahya, Prof. Dr, Prof. Drs, Fatchurrohman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1986
9. Al-Asqor,Muhammad Sulaiman, Al Wadhih Fi Ushul Al Fiqh, Kuwait, t,t
10. Azzahidy, Hafidz Tsanaulah, Taisirul Ushul, Majelis At Tahqiq, Al Atsari, Jahlam, Pakistian, t,t
11. Al Asy Qor, Muhammad Sulaiman, Dr, Al Wadhih Fi Ushul Al Fiqh, Kuwait, t,t


الإجتهاد

( AL - IJTIHAD )

1. Pengertian
Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mendapatkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’ yaitu Al- Qur’an dan Al- Sunnah. Orang-orang yang mampu menetapkan dan memutukn hukum suatu peristiwa dengan jalan mengerahkan kemampuan berfikir ini disebut mujtahid.
Ijtihad berasal dari kata al-jahd atau al-juhd yang punya arti al masyaqat ( kesulitan dan kesusahan ) dan ath thaqat ( kesanggupan dan kemampuan ). Kata al-jahd menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Nabi mengungkapkan : صلوا علي واجتهدوا في الدعاء Artinya : “ bacalah salawat padaKu dan bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a ”.
Rahmat Syafi’i MA : Ijtihad merupakan masdar dari ijtahada – yajtahidu – ijtihadan yang berarti usaha lebih sungguh-sungguh. Imam asy - Syafi’i memaknakan : ” ijtihad itu adalah menjalankan qiyas, atau membandingkan sesuatu hukum kepada sesuatu hukum yang lain ” . Secara umum, Ulama’ Ushul Fiqh mengartikan Ijtihad : عملية استنباط الاحكام الشرهية من ادالتهاالتفصيليه في الشريعة Artinya : “ Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dan dalil terperinci dalam syari’at”.
Adapun para pemerhati Ilmu Ushul Fiqh mengartikan Ijtihad sebagaimana berikut ini :
1. A. Hanafi MA : Ijtihad yaitu menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.
2. Ali Tahqiq : ” Ijtihad ialah Qiyas dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum ” .
3. Sebagian ulama Ushul : Ijtihat ialah : ” mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari Kitabullah dan Hadits Rasul . Dalam pandangan ini, mengistimbatkan hukum dengan jalan : Istid-lal, Istishhab, Istihsan, Mashlahat, Murasal ( istishlah ), Bara’ah Ashliyah, Saddudz Dzariah dan Urf masuk kategori ijtihad
2. Dasar hukum ijtihad

Tertib dasar-dasar Tasyri’

Para sahabat mengambil tertib hukum, mula-mula dari Al-Qur’an. Jika tidak didapati didalamnya, maka diambil dari As Sunnah. Jika tidak juga di dalamnya dilihatlah kepada apa yang telah diijmakan. Jika tidak pula didapati di dalam ijma’ mereka menjalankan Ar Ra’yu.
Pokok dasar bagi tertib ini adalah : tanya jawab antara Rasul dengan Mu’adz dikala Mu’adz pergi ke Yaman untuk menjadi hakim.
Hukum berijtihad dan pahalanya.
Seseorang yang telah mencapai tingkatan mujtahid dalam memecahkan masalah yang dihadapinya ia wajib berijtihad sendiri . Mujtahid dalam menghukumi dalil dzan dilarang bertaqliq kecuali karena sempitnya waktu, dia belum sempat berijtihad, maka syah baginya bertaqliq kepada mujtahid lain yang lebih terpercaya, baik mujtahid yang telah tiada maupun yang masih ada. Dalam hal kesanggupan menetapkan hukum ‘amaly, Mujtahid dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut : Wajib Ain, bagi seseorang Mujtahid wajib berijtihad untuk orang lain, apabila tidak ada orang yang sanggup menetapkan hukum peristiwa yang berada pada orang lain itu dan dikhawatrikan kehabisan waktu untuk mengamalkannya . Fardhu kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang suatu peristiwa serta tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut sedang selain dia ada mujtahid lain. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap sesuatu peristiwa yang belum terjadi, baik dinyatakan atau tidak. Haram, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qath’i dan hasil dari ijtihad tadi bertentangan dengan dalil qath’i tadi.
Ijtihad sesungguhnya merupakan pekerjaan yang sangat mulia disisi Allah, sehingga Alla memperhatikan secara khusus kepada mereka sebagaimana Firman Allah SWT, dalam S. An Nisa’ 105
إناأنزلناإليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بماأراك الله
Artinya : “ Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak agar dapat menghukum di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu. ” dan Firmannya lagi dalam Qur’an surat An Nisa’ 59
فإن تنازعتم في شيءفردوه الىالله والرسول
Artinya: “ Jika kamu berselisih dalam satu hal, maka hendaklah kembalikan persoalan itu kepada Allah dan Rasul- Nya. ”
Seorang Mujtahid berhak mendapat imbalan atas jerih payah dalam melakukan ijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan diberi Tuhan satu pahala. Akan tetapi, kalau ijtihadnya tepat dan benar ia akan mendapatkan pahala ganda. satu pahala sabagai imbalan jerih payahnya dan satu pahala yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil ijtihadnya. Sabda Rasulullah saw:

إذَا اْجتَهَدَ اْلحَاكِمُ فَأَ صَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَاِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرُ

Artinya : Apabila hakim itu berijtihad, lalu mengena hasilnya ia memperoleh dua macam pahala, jika salah ia memperoleh satu pahala ( Rw. Bukhari dan Muslim)
Objek Ijtihad
Menurut Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghozali (Imam Ghozali), bahwa objek dari ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang berdasarkan dalil yang bersifat dhonni. Kebenaran nash ini bergantung pada situsasi, kondisi, lingkungan yang melatarbelakangi terbentuknya hukum dan pandangan para Mujtahid ketika melihat obyek hukum. Sedangkan hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam yang berdasarkan dalil-dalil qothi dan hanya memiliki satu kebenaran yaitu kebenaran atas petunjuk syara tidak dibenarkan menjadi obyek ijtihat para Mujtahid, karena kebenarannya muttafaqah ( disepakati ) .
Kebenaran Hasil Ijtihad :
Berkaitan dengan ijtihad terhadap masalah yang dzanny, sebagian ulama berpendapat bahwa yang haq itu tidak terbatas hanya satu. Setiap yang bisa dicapai oleh mujtahid berdasarkan ijtihadnya adalah haq (benar). Orang yang berpendapat demikian itu disebut mushauwibah, karena mereka mengatakan bahwa setiap mujtahid itu adalah orang yang benar (mushib) biarpun pendapat-pendapat itu saling berbeda. Bagi Muqallid dipersilahkan untuk memilih mengikuti mujtahid yang dikehendaki sebagaimana halnya si mujtahid sendiri diperkenankan mengamalkan mana di antara dua pendapat yang saling berlawanan sewaktu tidak mampu mentarjihkan salah satu dari dua dalil yang tidak diketahui tarikhnya. Kelonggaran semacam ini merupakan rahmat seperti yang dikehendaki oleh kata-kata mutiara. “Ikhtilaful-a’immah rahmatun” (perselisihan para imam itu menjadi rahmat).
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang haq itu disisi Allah itu hanya satu tidak berbilang. Barang siapa yang dapat mencapai apa yang dijtihadkan adalah orang benar (mushib) dan siapa yang tidak dapat mencapai ijtihadnya adalah orang yang salah ( muqhti’ ). Dasar yang dipergunakan oleh golongan ini ialah sabda Rasulullah saw. tersebut diatas, dan ucapan Abu Bakar ra, dalam masalah kalalah :
أَ قُوْلُ فِيهَا بِرَأتِىْ, فَاِنَ يَكُنْ صَوابَا فَمِنَ اللهِ وَاِنْ يَكُنْ خَطَأَ فَمِنَ الشَّيْطَانِ.
Artinya : Dalam masalah kalalah kukatakan berdasar pendapatku. Karena itu jika ucapan itu betul adalah dari Allah, dan jika salah adalah dari setan.
Lingkup Ijtihad.
Perlu kiranya diperhatikan bahwa ijtihad dalam beberapa urusan, baik ijtihad perseorangan maupun ijtihad kelompok tidak dimaksudkan untuk menentukan hukum-hukum yang dapat diterapkan kepada seluruh dunia Islam dan berlaku spanjang masa. Umar ra dalam menghadapi masalah yang di kemukakan kepadanya dia berijtihad dan dan mendiskusikan dengan para sahabat yang hidup semasa dengannya, begitu juga para hakim di daerah agar berijtihad dan mendiskusikn msalah yang muncul dengan para sahabat alim pada masanya. Umar pernah menyatakan :

اِخْتِلاَ فُ اْلأَ حْكَامِ اْلاِجْتِهَادِ يَّةِ بِاخْتِلاَفِ اْلبِيْئَاتِ وَالأَ قْطَارِ

Artinya : Perbedaan-perbedaan hukum ijtihad lantaran perbedaan lingkungan dan daerah.
Beberapa hal Umar bin Hattab telah melakukan ijtihad dan hasilnya berbeda dengan hasil Ijtihat yang dilakukan oleh para pendahulunya, seperti :
1. Telah jatuh talak tiga ketika seorang suami menyatakan dalam satu waktu;
2. Gugurnya hukuman potong tangan pencuri yang mencuri pada waktu musibah kelaparan;
3. dan gugurnya hak menerima pembagian zakat bagi orang-orang yang masih dihimbau hatinya untuk memeluk Islam.
Umar bin Abdul-Aziz ketika menjabat sebagai gubernur di Madinah memutuskan gugatan penggugat bila ia dapat mengemukakan seseorang saksi dan sumpah dari penggugat. Sumpah penggugat tersebut sebagai ganti kedudukan seorang saksi yang lain. Akan tetapi, setelah dia menjabat khalifah yang bertempat tinggal di ibu kota negara Syam, tidak mau memberi keputusan apabila saksi yang diajukan penggugat terdiri atas dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ketika dia ditanya perihal ijtihadnya itu dia menjawab : ” Kami melihat orang Syam berbeda dengan orang Madinah ”.
Pada zaman Tabi’it-Tabiin Imam Abu Hanifah membolehkan mengambil keputusan dengan saksi yang tidak diketahui identitasnya sebagai ganti keadilan yang menurut lahirnya saja. Akan tetapi, pada zaman dua orang muridnya dilarang memberikan keputusan dengan persaksian orang-orang tersebut karena dikhawatirkan terjadinya kebohongan dan persekongkolan Imam Abu Hanifah, pada waktu orang-orang Persia baru memeluk agama Islam dan masih sukar sekali mengucapkan bahasa Arab yang fasih., membolehkan melafazkan ayat Al-Qur’an di dalam shalat dengan bahasa Persia. Akan tetapi setelah mereka fasih lidahnya dan tersebar bid’ah dan khurafat dikembalikan lagi seperti sedia kala.

Mulai timbulnya Perselisihan dan Sebab-sebabnya

Walaupun para sahabat itu mengeluarkan hukum dari dalil – dalilnya , tetapi kadang – kadang mereka tidak dapat bersatu paham, karena beberapa sebab :
a. Dalil-dalil Al-Qur’an dan As Sunnah terkadang berupa lafadz yang musytarak. pada lafad-lafad yang serupa ini kerapkali mereka berselisih. Kata yang seorang “ ini makna yang dipaki disini, “ kata yang lain “ itu makna yang dikehendaki disini.”
b. Hadist-hadist yang mereka terima dari Rasul banyak jalan datangnya, sehingga menghasilkan perlawanan antara satu dengan yang lainnya. karena itu, yang seorang mengatakan “ Riwayat ini kita pakai, dan yang lain mengatakan riwayat itu kita terima. Atau yang seorang, tak kuat hatinya mempercayai orang yang menyampaikan hadist dan yang seorang kuat hatinya menerima kebenaran perawi itu. Karena hal yang serupa ini, terjadilah perselisihan paham antara mereka.
c. Mereka berbeda pendapat dalam menetapkan sesuatu yang didasarkan pendapat fikiran ( ra’yu ).
Ijtihad pada masa Rasulullah SAW
Ijtihad telah mulai sejak zaman Rasulullah saw. beliau sering melakukan ijtihad, memerintahkan kepada para sahabat untuk melakukan Ijtihad dan mengakui hasil ijtihad mereka. Rasulullah melakukan ijtihad ketika muncul masalah dan wahyu ebagai jawaban atas masalah tersebut tidak turun. Rasul bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Salama:
اِ نِّى أَقْضِى بِيْنَكُمْ بِا لرَّأْ يِ فِيْمَا لَمْ يَنْزِلْ فِيْهِ وَ حُي
Artinya : Aku memutuskan perkara di antara kamu dengan pendapatku dalam peristiwa yang tidak diturunkan wahyu padanya..
Diantara Ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah :
a. Rasulullah saw. berijtihad dalam penyelesaian tawanan perang Badar bersama dengan Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar menyarankan, bahwa tawanan perang agar membayar tebusan, sedangkan Umar menghendaki bahwa tawaan perang dibunuh. Ketetapan Rasululullah adalah usulan Abu Bakar Siddiq RA.
b. Rasulullah saw menetapkan, haram hukumnya memadu seorang istri dengan bibinya, putri bibinya dan saudara istrinya. ketetapan ini diqiskan dengan Nash Alqur’an yang mengharamkan menikahi perempuan kakak beradik sekaligus
لاَ تُنْكَحُ اْلمَرْ أَةُ عَلَى عَّمِتَهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ عَلَى اْبْنَةِ أَ خِيْهَا وَلاعَلَى اْبْنَةِ اُخْتِهَا فَاِ نَّكُمْ اِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْ حَامَكُمْ
Artinya : Wanita tidak dinikah bersama saudari bapaknya, saudari ibunya, anak perempuan saudara dan anak perempuan saudarinya. Jika kamu melakukan yang demikian itu, niscaya kamu memutus tali kekerabatanmu.
Sahabat-sahabat Mujtahidin
Para shahabat juga dibenarkan berijtihad. Mereka telah mendapat mandat dan kesempatan dari Rasulullah untuk melakukan ijtihad. adapun ketentuan shahabat boleh berijtihad adalah mereka yang memahami Al-Qur’an dan As Sunnah dengan sempurna, tahu ayat-ayat Mutasyabihah dan Muhkamah; tahu sebab-sebab turun ayat; tahu keadaan masyarakat dan suasana yang melatarbelakanginya; karena mereka telah mempelajari dari Rasul, atau dari seseorang sahabat lain. hasil ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat dapat difatwakan kepada kaum Muslimin. Para Mufti yang terkenal pada periode ini ialah :
a. Abu Bakar ash shiddiq r.a (wafat tahun 13 H)
b. Umar ibn Khaththab r.a ( wafat tahun 23 H)
c. Utsman ibn Affan r.a (wafat tahun 35 H)
d. Ali ibn Abi Thalib r.a (wafat tahun 44 H)
e. Abu Musa Al Asy’ari r.a (wafat tahun 32 H)
f. Abdullah ibn Mas’ud r.a (wafat tahun 32 H)
g. Zaid ibn Tsabit r.a (wafat tahun 45 H)
3. Syarat Ijtihad (Mujtahid)
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. seorang mujtahid emiliki kewenangan melakukan ikhtiar menggali dan menetapkan hukum syara’ dengan ketentuan berbagai syarat untuk berijtihad telah mereka penuhi, diantaranya :
1). Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadist Nabi yang bersangkutan dengan masalah hukum.
2). Mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu, artinya dapat menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist secara benar.
3). Mengetahui ilmu usul fiqh dan qaidah-qaidah fiqh yang seluas-luasnya. Al Fakhrurrazi dalam Al Mahsul : اِنَّ أَهْمَّ اْلعُلُوْ مِ لِلمُجْتَهِدِ عِلْمُ أُصُوْلِ اْلفِقْه Sepenting-penting ilmu buat seseorang mujtahid, ialah: ilmu ushul “
4). Mengetahui soal-soal ijma, hingga tidak timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma itu.
5). Mengetahui nasikh - mansukh dari Al Qur’an dan Sunah.
6). Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan mana hadist shohih dan hasan, mana yang dlaif maqbul dan yang mardud.
At Taftaji menambahkan, selain syarat diatas, seorang mujtahid juga harus mengetahui maqashidu Asy Syari’ah ( tujuan syari’at ) secara umum. Asy Syathibi mensyaratkan pula agar para mujtahid itu memahami benar-benar maksud-maksud syara’.
Imam Al Ghazali menyatakan :
اِنَّ أَعْظَمَ عُلُوْمِ اْلاءِجْتِهَادِ يَسْتَمَلُ عَلَى ثَلاَ ثَةِ فُنُوْنٍ: اَلحَدِيْثُ وَاللُّغُةُ وَأُصُوْلِ اْلفِقْه
” Perangkat yang paling utama dalam ilmu ijtihad mencakup tiga pokok ilmu, ilmu hadist, Ilmu lughah dan Ilmu Ushul Fiqh ”
Ulama berbeda pendapat, bagi para mujtahid harus menguasai ilmu – ilmu tertentu, seperti ilmu aqli, ilmu Ushuludin ( ilmu kalam ) dan segala hukum yang furu’ ( detail-detail hukum fiqh )
Asy Syathibi dalam Al Muwafaqat : “Derajat ijtihad itu diperoleh mereka yang mempunyai kemampuan:
a) Memahamkan segala maksud Syariat dengan sesempurnanya.
b) Beristinbat berdasarkan kepada pemahamannya tentang maksud –maksud syariat tu.
Syarat lain dari seorang mujtahid harus berbekal kuat, adil dan jujur berakhlak yang baik, dan mengetahui madarikil ahkam, yakni mengetahui dalil-dalil syara’ dan jalan-jalan mengikutinya, serta mengetahui lughah, tafsir, asbabinnuzul, ilmu rijalil hadist, jalan-jlan jarah dan ta’dil, nasikh dan mansukh.
Syarat-syarat yang tersebut ini, diperlukan benar-benar bagi mujtahidin mutlhlaq yang berijtihad dalam segala masalah fiqh. Adapun seseorang mujtahid yang berijtihad ada dalam beberapa masalah, cukup mengetahui dalil-dalil yang berpautan dengan masalah-masalah itu.
4. Tingkatan Mujtahid
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan mujtahid itu terbagi dalam empat empat tingkatan.
a) Mujtahid Fisy-syar’i
Yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijitihadkan seluruh masalah syari’at yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun madzab-madzhab tertentu. Oleh karena ijtihad yang mereka lakukan itu semata-mata hasil usahanya sendiri, tanpa mencangkok dari pendapat orang lain, maka mereka juga disebut dengan mujtahid mustaqil ( berdiri sendiri ). Mereka itulah antara lain Imam Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal ( pendiri madzhab empat), Imam Al-Auza’I, Imam Daud Azh-Zhahiri, dan Jafar Ash-Shadiq.
b) Mujtahid Fil-madzhab.
Ialah mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk madzhab tersendiri, akan tetapi mereka cukup mengikuti salah seorang imam madzhab yang telah ada dengan beberapa perbeaan baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Muzani adalah mujtahid fil-madzhab Syafi’i.
c) Mujtahid Fil-Masa’il
Ialah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu madzhab bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya At-thawawi mujtahid dalam madzhab hanafi, Imam Al-Ghazzali muijtahid dalam madzhab Syafi’I dan Al-Khiraqi Mujtahid dalam madzhab Hambali. Mujtahid fil-masai’il ini juga disebut mujtahid fil-futya.
d) Mujtahid muqayyad.
Ialah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengatahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan yang lebih utama di antara pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam suatu madzhab dandapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka itu antara lain Ar-Rafi’I dan An-Nawawi, mujtahid dalam madzhab Syafi’i.
Menurut Imam Nawawi Ibnu Sholah, tingkatan ijtihad terbagi menjadi 5 tingkatan yaitu :
1). Mujtahid Mushahil
Yaitu mujtahid bebas menggunakan kaidah-kaidah yang dibuat sendiri, dia menyusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzab yang ada. Menurut As Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2). Mujtahid Mutlaq
Adalah orang yang memilki kriteria seperti mushahil namun tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam madzab.
3). Mujtahid Muwayyad/Mujtahid Takhrij
Ialah mujtahid yang terkait oleh madzab imamnya dan diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil tetapi boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya.
4). Mujtahid Tarjih
Yakni mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij. Menurut imam Nawawi dalam kitab Majmu Mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat.
5). Mujtahid Fatwa
Mujtahid yang hafal dan faham terhadap kaidah-kaidah imam madzab, maupun menghadapi permasalahan yang sudah jelas ataupun sulit, akan tetapi masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
Kedudukan Dan Fungsi Ijtihad
Kedudukan dan fungsi ijtihad sangatlah penting sekali dalam menjelaskan hukum-hukum (syara’) karena ada beberapa hukum yang tidak dapat diketemukan dalam firman Allah secara jelas. Maka kedudukan dari ijtihad merupakan sumber hukum setelah Al Qur’an dan Sunah karena hasil ijtihad yaitu Ijma maupun Qiyas merupakan sumber hukum bagi umat islam.
Sedangkan fungsi dari ijtihad yaitu sebagai penjelas atas hukum-hukum yang telah diketengahkan dalam Al Qur’an maupun Al Hadist. Ada beberapa alasan mengapa harus melakukan ijtihad diantaranya adalah :
1. Diantara hukum syara’ ada yang dapat dipahami dengan mudah karena kitab Allah cukup jelas, artinya dan pasti tujuannya.
Contoh :
- masalah wudhu
- larangan berkata kasar kepada orang lain
- melakukan perbuatan zina dikenai sanksi dera 100 X
2. ada kalanya terdapat hukum tidak dapat ditemukan dari apa yang tersebut dalam firman Allah secara jelas, namun dapat dipahami melalui permahaman akan maksud sebuah lafadz oleh karena hukum itu tersirat dibalik lafadz tersebut.
Contoh :
- hukum memukul orang tua tidak terdapat dalam Al Qur’an, namun dapat dipahami melalui pemahaman larangan berkata kasar kepada orang tua.
DALIL-DALIL SYARA’ YANG MASIH DIPERSELISIHKAN
Selain ada 4 macam dalil-dalil syara’ (sumber hukum) tersebut yang pengggunaannya disepakati, masih terdapat dalil-dalil syara’ yang lain yang belum mendapat kesepakatan dari jumhur fuqoha. Sebagian dari mereka mengakuinya sebagai dalil-dalil syara’ dan sebagai alat beristidlal, sedang sebagian yang lain masih mengingkarinya.
Dalil-dalail syara’ yang masih mereka perselisihkan itu yang terkenal ada 6 macam, yaitu:
§ Al-Istihsan
§ Al-Mashlahah-mursalah
§ Al-Istishhab
§ Al-Urf
§ Madzahib shahabi dan
§ As-Syaru man qablana
1. Istihsan
a. Ta’arif
Secara harfiah, Istihsan mengandung arti berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul, antara lain :
1). Imam Ghozali
Dalam kitab Al Mustashfa juz 1: 137. Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.
2) Al Muwafiq Ibnu Qudamah Al Hambali
Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandanganya karena adanya dalil tertentu dari Al Qur’an dan As Sunah.
3) Abu Ishaq Asy Syatibi
Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.
4) Al Hasan Al Kurkhi Al Hanafi dan Muhammad Abu Zahra
Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain.
Sedangkan menurut bahasa, ishtisan yaitu mengembalikan kepada yang baik. Dan secara umum istihsan menurut istilah adalah membandingkan yang dilakukan oleh mujtahid dari qias Jalli (jelas) kepada qias khafi ( yang tersembunyi ) atau dari hukum yang umum ( kulli ) kepada hukum pengecualian ( istitsna’I ), sehingga terdapat kecenderungan yang lebih kuat untuk mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak berdasarkan nash.
Dalam pandangan yang lain : Istihsan ialah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata ( samar-samar ) atau meninggalkan hukum kullli menjalankan hukum istitsna’I ( pengecualian ) disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.
Bila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedang untuk mencari hukumnya terdapat dua jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dapat memberi ketetapan hukumnya dan jalan yang lain samar-samar. Yang dapat menetapkan hukumnya dan dapat pula menetapkan hukum yang lain, padahal pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat dipergunakan untuk mentarjihkan jalan yang samar samar, maka ia lalu meninggalkan jalan yang samar-samar, maka ia lalu meninggalkan jalan yang nyata tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar itu. Demikian juga bila ia mendapatkan suatu dalil yang menetapkan suatu hukum, kemudian setelah ia mendapatkan dalil lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli itu.
اِسْمٌ لِدَ لِيْلٍ يُعَا ر ِ ضُ اْلقِيْا سَا اْلجَلِيَّ وَيَعْمَلُ بِهِ اِذَا كَانَ أَقْوَى مِنْهُ
Artinya : ” Dalil yang melewati qiyas dan diamalkan apabila dipandang lebih kuat dari qiyas jali ”
Dasarnya firman Allah SWT :
فَبَشِّرِ عِبَادِيَ أَلذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ اْلقُوْ لَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ
Artinya : ” Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang mendengar perkataan, lalu mengikuti yang lebih baik dari padanya
Al-Karachi menerangkan bahwa :
اَلْعُدُوْ لُ مِمَّا حُكِمَ بِهِ فِى نَظَائِرِ مَسْئَلَتِهِ اِلَى خِلاَ فَهِ لِوَ جْهٍ أَقْوَى مِنْهُ
“ Istihsan itu, berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya, kepada hukum yang berlawanan, karena ada sesuatu sebab yang dipandang lebih kuat .”
Dan terkadang-kadang istihsan ini dinamai qiyas khatil. Karena itu dalam membahas istihsan kita harus berpegang teguh kepada takrif ulama-ulama Hanafiah sendiri
Abu Hanafiah berkata:
اَلاءِسْتِحْسَا نُ تِسْعَةُ أَ عْشَا رِ اْلعِلْمِ
Artinya : Istihsan itu sembilan persepuluh ilmu.
Dalam Ar Risalah Asy Syafi’y membantah keras dasar-dasar istihsan ini. Asy-Asy Syafi’y berkata :
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
Artinya : Barang siapa menetapkan hukum dengan istihan, berartilah membuat syari’at at sendiri.
Akan tetapi, apabila kita perhatikan dengan seksama istihsan yang dipergunakan Abu Hanifah, yaitu: “ meninggalkan qiyas karena jika dilihat kepada illatnya, berlawanlah dengan kemaslahatan manusia yang telah dipandang syara’.
Ulama-ulama Malikiyah yang juga mempergunakan istihsan mentakfirkan istihsan dengan : meninggalkan dalil atas pengeculian dan memberikan rukhsah karena ada sesuatu yang menentangnya
Ulama Hanifah membagi istihsan ada dua:
a. Istihsan qiyas
Yaitu : jika ada pada suatu masalah, dua sifat yang menghendaki dua hukum yang berlawanan. Yang pertama qiyas yang sudah diterangkan dalam bab qiyas. Yang sebuah lagi tidak terang yang menghendaki kita hubungannya, dengan pokok yang lain. Maka mengambil yang tidak terang itu. Lantaran sesuatu sebab yang kuat itu istihsan.
Contoh : Seseorang wanita, seluruh anggota badan, dari ujung kepala hingga telapak kaki merupakan aurat. Kemudian kita diizinkan melihat beberapa bagian badanya bila perlu. Ini sebenarnya mempergunakan illat yang tersembunyi karna lebih kuat bekasnya dalam soal yang diperselisihkan.
Dalam ilmu perundang-undangan sekarang, istihsan ini dapat dinamakan : menuju kepada jiwa undang-undang (ittijah ila ruhil qanum).
b. Istihsan dalam arti meninggalkan qiyas karena terdapat sesuatu yang berlawanan dengan qiyas. ada kalanya istihsan sunnah, istihsan ijma’ dan istihsan darurat.
Istihsan sunnah seperti memandang sah puasa orang yang lupa lalu makan atau minum. Menurut qiyas puasa itu batal. Akan tetapi disini harus ditolak karena berlawanan dengan riwayat (hadist).
Istihsan ijma’ seperti meninggalkan qiyas pada suatu masalah karena telah terjadi ijma’ yang menyalahi qiyas itu. Ulama Islam mensahkan akad yang terjadi antara seseorang dengan tukang. Menurut qiyas, akad itu tidak sah karena barang yang diakadkan itu belum ada. Akan tetapi, masyarakat seluruhnya melakukannya. Maka dalam soal ini kita pegang ijma’ kita tinggalkan qiyas.
Istihsan Darurat seperti membersihkan kolam-kolam dan sumur-sumur. Menurut qiyas tak mungkin kita menuangkan air kedalam kolam atau sumur supaya bersih. Oleh karena itu ditetapkan bahwa sumur itu disucikan dengan menimbakan airnya, karena terpaksa berbuat demikian ( karena tak dapat kita lakukan yang lain dari pada itu ).
Ulama Malikiyah membagi istihsan kepada : meninggalkan dalil lantaran uruf. Meninggalkan dalil lantaran ijma’ meninggalkan dalil lantaran maslahat dan meninggalkan dalil untuk memudahkan dan menghilangkan kepicikan.
Ibnul Anbari menandaskan bahwa istihsan yang dikehendaki dalam mazhab Malik, ialah : mempergunakan masalah juz-iyah sebagai imbangan qiyas yang kulli.
Contoh : kalau seseorang membeli barang dengan khiyar, kemudian ia mati, lalu ahli warisnya berselisih apakah meneruskan pembelian atau tidak.
Kata Asyhab : “ Menurut qiyas pembelian itu dibatalkan, akan tetapi kami memandang baik apabila pihak yang mau meneruskan, mau menerima bagian pihak yang membatalkan bila penjual enggan menerimanya kembali, supaya diteruskan pemberian itu.
2. Urf
a. Ta’rif
Kata ‘Urf berasal dari kata عرف يعرف ( ‘arafa ya’rifu ) berarti yang baik, dan sering disebut “ al Ma’ruf ” sesuatu yang dikenal . Dalam Al Qur’an kata ‘Urf sama dengan ma’ruf yakni kebajikan ( berbuat baik ) sebagaimana disebut dalam Surat al - A’raf ayat 7.
خذالعفووأمربالمعروف
Artinya : “ Maafkanlah dia dan suruhlah berbuat ma’ruf ”.
Menurut ulama usul fiqh Urf diartikan : :
عادة جمهورقوم في قول أوفعل
Artinya : kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan ”
atau dengan istilah lain : Urf sama dengan adat kebiasaan , yakni apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan ” .
kebiasaan yang berupa perkataan ( Urf qauli ) misalnya perkataan “ Walad” (anak) menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedang anak perempuan tidak masuk dalam perkataan itu dan perkataan “ lahm ” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari tidak mencakup ikan.
kebiasaan yang berupa perbuatan ( Urf amali ) seperti jual beli ( bai’ ) mu’athah yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab-qobul, karena harga barang tersebut sudah dima’lumi bersama.
Dipandang dari segi materi yang biasa dilakukan, urf dibedakan menjadi 2 macam :
1. ‘Urf Umum : Kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir seluruh dunia. Contoh mengangguk kepala tanda setuju.
2. ‘Urf khusus : kebiasaan yang digunakan di tempat khusus (tertentu) maupun waktu tertentu. Contoh di Minangkabau menarik garis keturunan melalui garis Ibu.
Dan dipandang dari manfa’at ( baik dan buruk ) ‘urf dibedakan menjadi 2 :
1. Urf shahih ialah adat yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’ tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya adat kebiasan yang berlaku dalam dunia perdagangan tentang indent, adat kebiasaan dalam pembayaran mahar, secara kontan atau, hutang, adat kebiasaan seorang yang melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar, dan lain sebagainya.
2. ‘Urf Fasid, ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan ketentuan syari’at karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat riba, kebiasaan-kebiasaan dalam mencari dana dengan mengadakan macam-macam kupon berhadiah, menarik pajak hasil penjualan dan lain sebagainya.
Urf itu brbeda dengan ijma’ disebabkan karena Urf itu dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang yang berbeda-beda tingkatan mereka. Sedang ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari para mujtahidin. Orang-orang umum tidak ikut dalam pembentukan ijma; itu.
b. Kedudukan Urf
a. Urf Shahih harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan perkata. Karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak adalah menjadi kebutuhan dan menjadi maslahat yang diperlukannya. Selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syari’at, haruslah dipeliharanya syari’at sendiri memelihara adat kebiasaan orang Arab yang baik dalam menetapkan hukum. Misalnya syari’at menetapkan adanya kafa’ah dalam perkawinan.
Atas dasar itulah para ulama Ahli Ushul membuat qaidah “ Al-adatu muhakkamah” ( adat kebiasaan itu merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai hukum )
b. Urf Fasidah tidak harus diperhatikan , karena memeliharanya berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Oleh karena itu, apabila seseorang membiasakan mengadakan perikatan-perikatan yang fasid, seperti perikat yang mengandung riba atau mengandung unsur penipuan, maka kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan perikatan tersebut. Hanya saja perikatan-perikatan semacam itu dapat ditinjau dari segi lain untuk dibenarkannya. Misalnya dari segi sangat dibutuhkan atau dari segi darurat. Dengan demikian dibolehkan mengerjakan perbuatan yang demikian itu dengan alasan darurat, bukan karena sudah bisa dilakukan oleh orang banyak.
3. Istishab
a. Ta’rif
Ditinjau dari segi bahasa istishhab berarti persahabatan, atau mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Jumhurul Ushuliyyin Istihhab adalah menetapkan hukum sesuatu keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yag merubahnya. atau diartikan istishhab adalah menjadi hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu . atau dengan definisi yang lain adalah ” menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan ” .
Imam al-Syaukany dalam kitab Irsyad al-Fuhul mengemukakan bahwa istishhab adalah dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada yang mengubahnya. Dalam pengertian bahwa ketetapan di masa lampau, berdasarkan hukum asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa akan datang.
Sementara Ibnu al-Qoyim memberikan definisi bahwa istishhab adalah melestarikan yang sudah positif dan menegaskan yang negatif ( tidak berlaku). Yakni berlaku hukum asal, baik yang positif maupun yang negatif, sampai ada dalil yang mengubah statusnya. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya dalil yang melegitimasi ( dalil ijaby ). Hukum itu terus berlaku dengan sendirinya sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya.
Contoh : masalah yang berkenaan dengan orang yang diketahui masih hidup pada masa tertentu. Ia tetap dianggap hidup sampai ada bukti ( dalil atau indikasi ) atas kematiannya.
b. Macam-macam isitishab
Isitshab itu ada dua macam, yaitu :
Pertama istishab kepada hukum asal dalam predikat ibadah ( mubah ) atau baraatul ashliyah ( kemurnian menurut aslinya ).
Misal :
- Setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah. Sebab Allah Ta’ala menciptakan segala sesuau yang ada dimuka bumi ini agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh manusia, sesuaidengan firman-Nya:
هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَافِى اْلأَرْ ضِ جَمِيْعًا ( البقرة : 29)
Artinya : Dialah zat yang menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi semuanya. (Al-Baqarah: 29)
- Segala macam perikatan dan perjanjian yang diadakan oleh manusia untuk saling mempertukarkan harta benda dan manfaat, selama tidak ada dalil yang menunjuk keharamannya, adalah mubah, mengingat bahwa sesuatu adalah mubah.
- Ketetapan tidak wajib menjalankan sholat fardlu 6 kali atau tidak wajib menjalankan puasa bulan Sya’ban adalah berdasarkan istrishab kepada hukum asal dengan baraatul ashliyah ( berdasarkan menurut aslinya ) Karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya.
- Jika si Ahmad mengaku memberi hutang kepada si Badri, padahal si Ahmad tidak mempunyai bukti atas pengakuannya itu, maka si Badri adalah bebas dari kewajiban membayar berdasarkan baraatul ashliyah. Karena demikianlah menurut hukum aslinya, sampai si Ahmad dapat membuktikan pengakuannya.
Kedua Istishab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada satu dalil pun yang merubahnya.
Misal :

Hukum - hukum yang diciptakan oleh Syari’ berdasarkan sebab-sebab tertentu dengan keyakinan yang kuat, maka terciptalah suatu hukum dan hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. seperti seorang yang berwudhlu kemudian ia ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ia dihukumi sebagai orang yang masih dalam keadaan berwudlu, berdasarkan istishab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya secara yakin.

Dalam dimensi yang lain, Istishhab dibagi menjadi lima macam, yaitu :

1. Istishhab yang menunjukkan hukum mubah terhadap segala sesuatu sebelum datangnya dalil yang mengharamkan ( istishhab hukum )
2. Istishhab kepada hal yang umum sampai ada yang men-takhsis, dan istishhabnya nash sampai ada yang menasakh
3. Istishhab yang diakui eksintensinya oleh akal dan syara’. Ibnu Qoyyim memberi istilah istishhab al-washfi.
4. Istishhab al-adam al-ashly al-ma’lum bi al-aqli fi ahkamu al-syari’ah
5. Istishhab hukum yang telah menjadi ijma di dalam perkara yang menjadi khilaf para ulama.
c. Kehujjahan Ishtishab
Para ulama fiqh sepakat menggunakan istishhab, namun untuk penerapannya pada kasus-kasus tertentu masih tetap tak terhindarkan dari perbedaan pendapat. Ulama Syafi’i dan Hambali mengamalkan istishhab sifat secara mutlaq. Sementara itu, Ulama Hanafi, dan Maliki memakai istishhab sifat terbatas pada hal yang bersifat penolakan.Misalnya kasus orang hilang. Selama masa raibnya, ia masih dianggap hidup dalm kaitan dengan harta bendanya hingga masih tetap menjadi hak miliknya; istrinya masih tetap berada dalam tanggungannya, sampai ada indikasi yang menunjukkan kematiannya atau hakim memutuskan kematiannya. Akan tetapi ia tidak berhak mendapatkan hak-hak baru selama raib, misalnya warisan atau wasiat. Dengan demikian apabila pada saat raib ada orang yang meninggal, maka bagian warisan ditangguhkan ( mauquf ) sampai diketahui kabarnya.
Dalam menghadapi kasus orang hilang Ulama’ Safi’i dan Hanbali ber istishhab secara mutlaq, baik bersifat penolakan maupun penetapan, yaitu menganggap masih hidup sampai ada kepastian tentang kematiannya. Selam masa itu, harta bendanya tetap menjadi hak miliknya, dan ia berhak menerima setiap harta yang berhubungan dengannya , baik melalui warisan maupun wasiat.
Istishhab telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syari’at antara lain Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya, hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل في الأشياءالأباحة
“ Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan ”.
Istishhab didasarkan pada “ persangkaan yang kuat “, bahwa kontinuitas status quo mengharuskan adanya kontinuitas hukum. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak dapat dipandang sebagai dalil yang kuat untuk Istinbath hukum. Dalam hubungan ini al-Khawarizmi mengatakan bahwa istishhab merupakan sumber terakhir di dalam memberikan fatwa, setelah tidak ditemukan pada sumber lain. Seorang mufti jika ditanya tentang suatu masalah ( kejadian ), maka ia bicara secara berurutan mencari ketetapan hukumnya dari al-Kitab ( Qur’an) , as-Sunah, ijma’, dan qiyas . Jika dari keempat sumber hukum tersebut tidak ditemukan ketentuan hukumnya, maka baru menggunakan dalil istishhab.
Ulama bersepakat; Mengenai sesuatu yang pasti, seperti keyakinan tentang kerasulan Muhammad saw. dan mengenahi kejadian yang telah ditetapkan dengan dalil syara’, Istishhab tidak dapat digunakan an ditetapkan untuk hujah
Ibnu al-Qoyyim menjelaskan pengertian kata “ penolakan” ( dafa’ ) dan “penetapan” ( itsbat ) yang dipakai para ulama yang berbeda pendapat mengenai kekuatan pemaikaian istishhab sifat : “ Pengertian kata tersebut, ialah bahwa istishhab bisa dipakai menolak orang yang menganggap adanya perubahan keadaan, karena tetapnya perkara pada keadaan semula. Tetapnya perkara pada keadaan semula disandarkan pada adanya sebab hukum, bukan tiadanya hal yang merubah. Sebab kami tidak menemukan adanya dalil yang menafikan atau menetapkan yang dapat kami jadikan pegangan untuk tidak menetapkan hukum atau tidak menafikannya. Dan hanya dengan menggunakan dalil istishhab kami menolak anggapan orang yang menetapkannya. Dengan demikian, perpegang pada istishhab sama halnya dengan mu’taridh ( orang yang menentang dalil ). Dalam hal ini, mustadil memenangkan atas mu’taridh, karena ia mengemukakan dalil yang menolak anggapan mu’taridh. Ini beda halnya dengan mu’aridh ( orang yang saling berlawanan, yang sama-sama mengemukakan dalil ). Jadi mu’aridh adalah satu bentuk, sedang mu’taridh adalah bentuk lain lagi “
Ulama Mazhab Hanafi dan maliki menganggap orang yang berpegang pada istishhab seperti mu’taridh ( orang yang menentang dalil ) menolak perubahan. Sedang ulama Syafi’i dan Hanbali menjadikan istishhab sebagai dalil mu’aridh ( yang melawan ) dan menetapkan, yang tidak hanya menentang belaka.
Dari istishhab banyak sekali ditetapkan qaidah-qaidah dalam fiqih antara lain :
1. Apa yang yakin telah ada, tidak akan hilang hanya dengan adanya keragu-raguan.
Contoh : seseorag telah wudlu, akan tetapi ia ragu-ragu apa wudlunya telah batal atau belum, maka wudlunya tetap sah. Imam Malik berpendapat, ia tidak boleh mengerjakan shalat sampai ia berwudlu kembali ( dengan wudlu baru ). Seseorang menceraikan istrinya, dan ia ragu-ragu apakah melakukan talaq tiga atau cuma talaq satu, maka jumhur ulama berpendapat bahwa talah itu jatuh hanya satu kali. Sedang menurut Imam Malik, jatuh talaq tiga. Hal ini karena adanya dua asal yang saling bertentangan. Pertama tetapnya kehalalan. Sementara itu timbul keraguan mengenai talaq, dan karenanya kehalalan menjadi hilang. Kedua, bahwa perceraian apabila telah jatuh, berarti telah berlangsung dengan yakin. Yang diragukan ialah mengenai thalaq raj’i atau tidak. Sedang talaq raj’iy tidak terjadi dengan syak ( keraguan ).
Seseorang yang menceraikan salah satu dari dua istrinya, dan ia ragu istri mana yang ia ceraikan, maka jatuh talaq atas keduanya menurut Imam Maliki. Akan tetapi Jumhur ulama menetapkan bahwa apa yang telah tetap dengan yakin, yaitu hubungan perkawinan, tidak bisa dihalangi dengan syak. Berakitan dengan ini, Ibnu Hazm berkata : “ dengan menetapkan jatuhnya talaq atas semua istri hanya mendasarkan pada syak, berarti mereka memperbolehkan istri-istri itu berkawin dengan orang lain, diatas perkara halal yang diragukan”.
2. Hukum yang pokok bagi sesuatu ialah ibadah ( kebolehan ) hingga datang dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut. tidak adanya kewajiban tetap berlaku, seperti tidak adanya kewajiban shalat yang keenam, sebagai tambahan sholat yang kelima.
4. Istishlah
Pengertian istishlah menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak / menghindarkan kemadhoratan atau kesusahan. pengertian yang lain menyatakan, Istishlah adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan.
Imam Al Ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan (manfaat) dan menjauhkan madharat (kewisahan).
المحافظةعلىمقصودالشرع
Artinya : “ memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) ”.
Al Khawarizmi menyatakan :
المحافظةعلىمقصودالشرع بدفع الفاسدعن الخلق
Artinya : “ memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia.”
Menurut Al Ghozali, tujuan syara’ dalam menetapkan hukum ada lima yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
5. Saddudz-Saddudz Dzariah
Secara etimologi dzariah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. atau Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak keruskan atau menyumbat jalan yang meyampaikn seseorang kepda kerusakan”
Iman Al Syathibi mendefinisikan dzariah dengan :

التوسل بماهومصلحة الىمفسدة

Artinya : “ melakukan suatu pelajaran yang semua mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan.”
Contohnya adalah jual beli dengan bay’u al ajal, yaitu jual beli dengan melipat gandakan hutang, dan hal ini dilarang dalam agama.
Ibnu Qoyyim dalam rumusan tentang dzariah yaitu apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Sedangkan Badran memberikan definisi tidak netral adalah apa-apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan.
Apabila suatu perbuatan yang bebas dari kerusakan dan dapat menjadi jalan kepada kerusakan, hendaklah kita larang perbuatan itu.
Saddudz Dzari’ah itu, adalah sesuatu perbuatan yang tidak ditegah syara’ bila dipandang dapat mengakibatkan yang mengerjakannya kepada suatu hukum yang terang dicegah syara’
Malik dan Ahmad memegangi dasar Suddudz Dzari’ah. Fuqoha yang sedikit memakainya ialah Asy Syafi’y.
Dzara-i ini, sebagaimana dipergunakan untuk menolak kefasadan, dipergunakan juga untuk mencari kemanfaatan.
Al-Qarafi mengatakan bahwa: Dzari’ah ini, sebagaimana wajib kita menutup, wajib juga kita membukanya. Karenanya, ada Dzari’ah wasilah dimakruhkan, di sunnatkan dan di mubahkan. Dzari’ah adalah wasilah kepada wajib, tentu diwajibkan, seperti berjalan ke Jum’at. Dalam pada itu, dalam mempergunakan dasar ini tidak boleh berlebih-lebihan, karena orang yang terlalu meragukannya, mungkin tidak akan mengerjakannya sesuatu yang mubah atau mandub, atau wajib, lantaran takut terjerumus dalam kezaliman, seperti tidak mau mengurusi harta anak yatim, karena takut mendapat tuduhan yang jelek dari masyarakat.
Ibnul Arabi memberi suatu pedoman: sesuatu yang haram karena dzari’ah dapat ditetapkan keharamannya jika yang diharamkan yang disumbat dzari’ahnya, sesuatu yang haram dengan nash.bukan dengan qiyas dan dzari’ah. Penetapan ini menghasilkan dua prinsip:
1. Kita pergunakan dzari’ah apabila menyampaikan kepada kerusakan yang dinashkan, atau yang diqiyaskan, jika menyampaikan kepada halal yang manshush.
2. Segala urusan yang mempunyai hubungan dengan soal-soal amanah, tidaklah dicegah lantaran terkadang-kadang terjadi khianat padanya. Karenanya, haruslah kita memperhatikan masalah pemakaian dzari’ah ini dengan istihsan.
6. Qaul Shahaby
Qaul Shahaby atau yang biasa dikenal madzhab shahaby yaitu fatwa sahabat secara perorangan. Abu Zakrah menguraikan beberapa kemungkinan bentuk madzhab shahabi kedalam beberapa bentuk antara lain:
1). Apa yang disampaikan shahabat itu adalah suatu berita yang didengar dari Nabi, namun ia tidak menjelaskan bahwa berita itu sebagai sunnah Nabi.
2). Apa yang disampaikan shahabat itu sesuatu yang dia dengar dari orang yang pernah mendengarkannya dari Nabi, tapi tidak ada penjelasan dari orang tersebut bahwa yang didengarnya itu berasal dari Nabi.
3). Apa yang disampaikan shahabat itu adalah hasil pemahamanya terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang lain tidak memahaminya.
4). Apa yang disampaikan shahabat itu sesuatu yang sudah disepakati oleh lingkungannnya, namun yang menyampaikannya hanya shahabat tersebut seorang diri.
5). Apa yang disampaikan shahabat itu adalah hasil pemahamannya atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafaz.
Menurut para ulama usul fiqh yang dimaksud shahabat adalah “seseorng yang bertemu dengan Rosulullah Saw dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah Saw.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Qaul Shahaby tidak dapat dijadikan hujjah. tapi pendapat lain menyatakan, pendapat atau qaul shahaby menjadi hujjah dan didahulukan dari pada qiyas. Demikian pendapat malik, golongan Hanafiah dan Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal menetapkan bahwa fatwa shahabi itu hujjah dan menempatkannya sesudah hadist shahih, mursal dan sebelum hadist dlai’if: apabila beliau tidak menemukan sesuatu hadist dalam soal yang dihadapinya, beliau mengambil fatwa shahabat dan mendahulukan fatwa shahabah itu atas hadist mursal dan hadist dla’if.
Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat : Fatwa shahabi, adalah hujjah. Karena itu, bila mereka mendapat fatwa shahabi meninggalkan qiyas tabi’in dan orang-orang lain.
Walaupun Al-Ghazzali menetapkan bahwa fatwa shahabi bukan hujjah, namun imam empat memegangi Al-Kitab, As Sunnah dan ikma’ shahabat. Dalam hal yang mereka perselisihkan diambil mana yang kuat hubungannya dengan kitab, dan sunnah. Kalau tidak jelas niscaya para imam mengikuti apa yang diamalkan oleh khulafaur Rasyidin. Oleh karenanya, kurang tepat apabila kita mengatakan bahwa Asy Syafi’y dalam madzhab jadidnya tidak mengambil fatwa shahabi. Dalam Ar Risalah tegas diterangkan bahwa As Syafi’y menerima pendapat shahabat yang disepakati. Jika mereka berselisih, diambil mana yang lebih dekat kepada Al-Kitab dan As Sunnah.
Walaupun Al-Ghazzali menetapkan bahwa fatwa shahabi bukan hujjah, namun imam empat memegangi Al-Kitab, As Sunnah dan ikma’ shahabat. Dalam hal yang mereka perselisihkan diambil mana yang kuat hubungannya dengan kitab, dan sunnah. Kalau tidak jelas niscaya para imam mengikuti apa yang diamalkan oleh khulafaur Rasyidin. Oleh karenanya, kurang tepat apabila kita mengatakan bahwa Asy Syafi’y dalam madzhab jadidnya tidak mengambil fatwa shahabi. Dalam Ar Risalah tegas diterangkan bahwa As Syafi’y menerima pendapat shahabat yang disepakati. Jika mereka berselisih, diambil mana yang lebih dekat kepada Al-Kitab dan As Sunnah. Al-Gazhazali menetapkan bahasanya hujjah syari’iyah hanyalah hadist yang shahih diterima dari Rasul. Shahabi, bukanlah orang yang hanya meriwayatkan asja, tetapi juga beristinbath, atau berqiyas, maka boleh jadi madzhabnya itu hasil dari istibath dan ijtihad. Menurut jumhur, fatwa seseorang shahabt bukanlah hujjah :
Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpendapat bahwa kehujahan pendapat shahabah itu adalah secara terbatas bagi shahabat tertentu. Beberapa pendapat itu antara lain
1). Pendapat shahabat berdaya hujjah bila lahir dari Abu Bakar dan Umar bin Khattab bersama-sama dasarnya.
إقدأباالذين من بعدىابوبكروعمر ( قال الترمذي , هذا حديث حسن )
Artinya :
“ Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar.”
2). Pendapat empat orang shahabat dari khulafa Al-Rasyidin yang menjadi hujjah dasarnya (ini dishahihkan oleh Al Tarmidzi)

عليكم بسنتىوسنةالخلفاءالراشدين من بعدى

Artinya : adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa al rasyidin yang datang sesudahku.”
3). Pendapat salah seorang khulafa al Rasyidin selain Ali menjadi hujjah, alasannya pada waktu Ali menjadi khalifah ia memindahkan kedudukan kekuffah dan waktu itu pula shahabat lainya tidak ada.
4). Pendapat yang mendapat keistimewaan dari Nabi menjadi hujjah, dia ia berbicara pada bidang keistimewaannya seperti Zaid bin Tsabit (hukum waris), Muaz bin Jabal (bidang hukum) dan Ali bin Abi Thalib (peradilan).
7. Syar’u Man Qablana
Syaru’ Man Qablana
Yaitu syari’at sebelum islam atau sebelum Nabi Muhammad. Para ulama usul fiqh sepakat mengatakan bahwa syari’at yang diturunkan Allah sebelum islam melalui para Rosul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at islam.
مباحث الفاظ القرأن
Pembahasan lafadz alqur’an
B. Muqaddimah
1. Memahami dalil.
Alqur’an merupakan dalil yang menunjuk pada arti ilmu dan yakin sedangkan al ’ammarah adalah dugaan kuat untuk mengetahui sesuatu yang akan dikenali atas petunjuknya. Ammarah dapat terjadi karena melekat dan menjadi ciri dari sesuatu dan ammarah dapat terjadi dari tanda tanda diluar sesuatu tetapi menunjukan akan terjadinya sesuatu itu. Alqur’an sebagai ammarah atas “ hukum sesuatu “ yang akan berakibat pada pemahaman manusia mengetahui hukum sesuatu dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Kekuatan kebenaran dan keyakinan petunjuk alqur’an juga bergantung pada tingkat kemampuan pemahaman dan petunjuk yang diberikan oleh alqur’an sebagai mathlub khabary.
Kajian yang benar dan akan mampu mengeluarkan suatu hukum dari petunjuk dalil mengharuskan adanya dua perkara yang sangat penting pada orang ( yang sedang berijtihad ) hendak memahami dalil untuk digunakan menggali suatu hukum. Kedua perkara itu adalah :
a. pengetahuan tentang pembahasan lafadz lafadz dan dalalahnya;
b. pengetahuan tentang bagian bagian dari al kitab dan as sunnah.
2. pemahaman tentang bahasa
Bahasa adalah suara yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu untuk mengungkapkan maksud yang yang masih tersembunyi dalam benak. Lafadz mengungkap sesuatu dari lubuk hati tidak sepenuhnya mengungkapkan hakikat, sehingga lafadz berbeda dengan ide dan pemikiran. Pemikiran untuk mengungkap fakta yang terkadang berbeda dengan lafadz, dan lafadz tidak diciptakan untuk menunjukkan hakikat suatu fakta, juga tidak menetapkan hukum terhadap fakta. Dalam alqur’an, bahasa sering disebut laghout ( ( لغوت sama dengan takallamt تكلمت ) ( artinya berbicara . Firman Allah :
وإذا مروا باللغو مروا كراما
“ apabila mereka melewati pembicaraan ( yang bathil ) maka mereka akan melewatinya dengan sikap mulia “
Bahasa merupakan istilah yang diciptakan oleh kelompok ummat manusia ( وعلم أدم الأسماء كلها ) dan bahasa merupakan simbul dan identitas kaum tertentu untuk mengidentifikasi terhadap mengungkapan benda tertentu atas kepentingan hukum benda itu sendiri ( ومن أياته اختلاف ألسانكم ) dan bahkan lughoh yang enjadi perantara risalah para rasul tercipta terlebih dahulu dari pad diutusnya Rasul itu sendiri ( وما أرسلنا من رسول إلا بلسان (
Dalam Hadits Nabi dikatakan :
من قال في الجمعة صه فقد لغا
“ siapa yang mengatakan “ shah “ ( diamlah kamu ) ketika ( khutbah ) jum’at maka berarti dia lagha ( bersenda gurau ) “ . Mengetahui makna lughah untuk menunjuk kepentingan tertentu dapat terjadi melalui periwayatan atau asal mula kemunculannya. Dalam catatan ahli bahasa , lughah dilihat dari sisi kemunculannya dapat dibagi menjadi :
a. Lughah samiyah; Bahasa Arab, Ibrani, Sumeria, Kaldea, Habsyi, Babilonia, dan lain lain;
b. Bahasa Ariya; mencakup bahasa hindu kuno-sansekerta, persia kuno, jerman dan cabang-cabangnya yang kemudian dipergunakan sebagai bahasa modern sekarang ini
c. Bahasa Thurani, bahasa mesir kuno, Turki, Hongaria, Tartar, dan Mongolia.
Dalam kajian lain, bahasa dapat dilihat dari segi tampilan kegunaannya yakni bahasa Ahadi; bahasa yang tersusun dari stu suku kata yang tidak berubah rumah , bahasa Mazji; bahasa yang terangkai dari dua suku kata yang saling mengkait dan berakibat pada lahirnya makna baru, Bahasa Mutasharrifah; bahasa yang kata dasarnya dapat berubah rubah menjadi bentuk kata yang bermacam macam dan perubahan itu akan erakibat pada perubahan makna.
3. Alqur’an Berbahasa Arab.
Bahasa Alqur’an secara keseluruhan adalah berbahasa Arab. Bahasa Alqur’an tidak tercampuri oleh bahasa selain bahasa Arab ( إنا أنزلناه قرأنا عربيا قرأنا عربيا غير ذي عوج لعلهم يتقون - ) pada ayat lain qur’an memberi informasi (ولو جعلناه قرأنا أعجميا لقالوا لولا فصلت أياته ). Lughah dan nama sebutan sesuatu selain Arab yang dipakai oleh orang arab dan bahkan menjadi bahasa Alqur’an sudah di Arabisasi sehingga menjadi bahasa arab, seperti الأمشكاة, القسطاس ، الإستبراق , سجيل. bahasa selain arab juga banyak dipergunakan oleh para penyair jahiliyyah yang kemudian digubah kaidah lughahnya dengan kaidah arab. Arabisasi hanya boeh dan lumrah dilakukan oleh para mujtahid bidang bahasa Arab dan biasa mempraktekkan penggunaan bahasa arab dan mereka umumnya membatasi hanya untuk sebutan nama dan barang barang indrawi. Penggunaan bahasa untuk obyek penghaylan dan penyerupaan dalam bahasa arab telah dikenal istilah majaz.
4. Tata cara orang Arab mengungkapkan makna.
Beberapa cara yang dipergunakan oleh orang Arab dalam mengungkapkan makna lafadz yang akan diucapkan
a. Hakikat ; pengungkapan dengan pernyataan ini menyangkut tiga bagian , hakikat lughowiyyah, syar’iyyah, dan ’urfiyyah
b. Majaz ; untuk mengungkapkan penghayalan dan penyerupaan,
c. Ta’rib; untuk mengungkapkan nama nama benda dan ismim alam
d. Istiqaq ; untuk mengungkapkan makna makna


B. Dalalah Lafadz
Lafadz adalah perkara yang menunjukkan pada suatu makna. Makna adalah suatu pengertian hakikat yang ditunjuk oleh lafadz. Membahas lughah meliputi pembahasan tentang lafadz, lafadz dan makna dan makna itu sendiri. Membahas lafadz dan makna lafadz alqur’an dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan; kejelasan makna, methode pemaknaan, hakikat suatu lafadz, dan dengan pendekatan yang lain. Erikut ini akan dibahas pendekatan mengambnil makna lafadz sesuai dengan pendekatan yang dipergunakan.
الألفاظ من ناحية وضوحها وقوة دلالتها
في المقصود منها :
Tinjauan Lafadz dari sisi kejelasan dan
kekuatan dilalah ketika diturunkan.
1. Macam – macam Dilalah
Dilalah Nash ada dua macam, yaitu :
* Jelas dilalahnya : واضح دلالة الألفاظ
* Tidak jelas dilalahnya : غير واضح دلالة الألفاظ
2. Perbedaan :
Dilalah Nash tersebut memperhatikan faktor luar atau tidak atas makna yang dimaksud :
* Nash yang dapat difahami tanpa memperhatikan faktor luar disebut Wadlih al Dilalah
* Nash yang tidak dapat difahamin tanpa memperhatikan faktor luar disebut Ghairu wadzih al Dilalah
3. Tingkatan Kejelasan :
Dilalah yang jelas :
* Nash yang maknanya difahami dari bentuk nash itu sendiri; dan tidak adanya kemungkinan dapat difahami daripadanya arti yang lainnya; adalah lebih jelas dari :
* Nash yang maknanya dapat difahami, serta ada kemungkinan dapat difahami dari padanya arti yang lainnya
4. Macam macam Nash yang jelas Dilalahnya :
Nash yang jelas Dilalahnya ada empat macam, yaitu :
a. Al Dzahir : Nash yang dapat ( 1 ) menunjukkan makna yang dimaksud dengan bentuk nash itu sendiri; ( 2 ) tanpa memperhatikan dari padanya pemahaman dari faktor luar atau ( 3 ) bukan yang dimaksud menurut redaksi asal kata dan yang ( 4 ) mengandung takwil.


Contoh :
إن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى ، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Dalam ayat ini, berdasarkan dzahir al Nash :
1) Boleh nikah sampai empat, dan tidak boleh lebih
2) Adil adalah tuntutan agama, bukan tuntutan pelaksanaan
3) Maksud nash yang berhubungan dengan faktor luar, keadilan terhadap anak yatim dan wanita
4) Takwil tang dmaksud dalam nash al Dzahir adalah keadilan, yakni apabila tidak dapat berbuat adil, maka poligami dilarang.
Aspek Hukum.
Nash al Dzahir wajib diamalkan menurut sesuatu yang tampak jelas dari padanya selama tidak ada dalil lain yang menghalangi dan mungkin menerima takwil; menerima tahsis; dan menerima nasakh.
b. Al Nash : Nash yang dibentuknya itu sendiri telah dapat menunjukkan kepada makna yang dimaksud oleh redaksi katanya, dan bisa menerima takwil
Faktor-faktor :
1) Dapat difahami dari lafadz;
2) Memahaminya tanpa memperhatikan faktor luar;
3) Lafadz itu adalah tujuan
Contoh :
2. أحل الله البيع وحرم الربا
Makna nash :
Jual beli adalah halal; dan tidak sama dengan riba
Makna diatas merupakan makna dari bunyi lafadz dan tujuan redaksi kata
3. فانكحوا ما طاب لكم …. الأية
Setiap laki laki boleh menikah sampai empat merupakan makna yang tersurat dalam bunyi lalafadz, dan merupakan tujuan ari redaksi.
Aspek Hukum :
* Hukumnya adalah al Dzahir (wajib mengamalkan makna yang di nash oleh hukum dzahir itu )
* Hukum dzahir bisa ditakwil ( yang dimaksudkan dari padanya, selain makna yang di nash olehnya )
Makna Takwil
Bahasa : menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya sesuatu hal
Ishtilah : memalingkan lafadz dari dzahirnya lantaran ada dalil ( ada nash atau kiyas didasarkan pada jiwa pembentukan hukum ( prinsip prinsip umum )
Contoh :
أحل الله البيع وحرم الربا
Dari ayat ini, bai’ al Ghurur dilarang
Al Ghurur merupakan pemaknaan dari keharaman riba.
فكفارته إطعام عشرة مساكين
Ayat ini memerintahkan membayar kafarat dengan memberi makan 10 orang miskin; makna takwilnya adalah memberi makan 1 orang 10 kali.
Hikmah Takwil
* Mengunci pintu takwil; kadang kadang mendatangkan kepada hal yang jauh dari jiwa pembentukan hukum dan keluar dari pokok pokoknya yang umum, serta melahirkan nash nash yang kontradiktif;
* Membuka pintu takwil tanpa teliti dan hati hati kadang kadang bisa tergelincir dan mempermainkan nash nash serta mengikuti hawa nahsu
c. al Mufassar : Nash itu sendiri sudah bisa menunjukkan kepada artinya yang sudah terperinci yang tidak ada kemungkinan untuk mentakwil
Faktor faktor :
* Nash menunjuk dalalah dengan jelas makna yang terinci;
Nash meniadakan arti yang lain.
Contoh :
فاجلدوهم ثمانين جلدة … الأية .
* Ada shighat nash global, tidak terinci tetapi Syari’ telah mendatangkan penjelasan berupa tafsirnya secara pasti sehingga tidak mengandung takwil
أقيموا الصلاة وأتوا الزكاة = صلوا كما رأيتموني أصلي
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا = خذوا عني مناسككم
Hukum Mufassar
Wajib diamalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya dan dapat menerima nasakh.
Beda Takwil dan Tafsir
Terlepas dar persamaannya, yakni keduanya menjelaskan maksud nash; keduanya mempunyai perbedaan, yaitu :
* Tafsir : dengan dalil qath’I dari syari’ sendiri sehingga tidak mempunyai kemungkinan pengertian lainnya.
* Takwil : dengan dalil dzannin lantaran ijtihad; bukan pasti dalam menentukan maksud, karena punya kemungkinan maksud lainnya.
d. al Muhkam : sesuatu yang menunjukkan pada artinya, yang tidak menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya secara jelas dan sama sekali tidak mengandung takwil, dan tidak menerima nasakh, sifatnya asasi, dan tidak menerima penggantian.
Contoh :
* Ke- Esaan Allah, percaya pada Rasul dan Kitab kitab-Nya
* Prinsip prinsip keutamaan yang abadi; berbakti kepada kepada orang tua, dan berbuat adil
Hukum Muhkam
Wajib diamalkan secara pasti, tidak ditakwil dan dinasakh.


غير واضح دلالة الألفاظ
Lafadz yang Tidak jelas dilalahnya
a. Pengertian :
Adalah Nash yang bentuknya itu sendiri tidak bisa menunjuk pada arti yang dimaksud dari padanya, dan untuk memahami maksud diperlukan faktor luar.
* Jika kesamaran dalil dapat dihilangkan dengan penelitian atau ijtihad dinamakan al Kahfi, atau al Musykil
* Apabila kesamaran tidak dapat dihilangkan kecuali melalui penjelasan Syari’ disebut al Mujmal
* Adapun apabila kesamaran tidak dapat dihilangkan sama sekali, disebut al Mutasyabi
1. Al Khafi.
Lafzd yang dapat menunjuk artinya secara jelas, tetapi dalam menerapkan itu kepada sebagian dari beberapa person merupakan macam yang samar dan tidak jelas. Upaya untuk menghilangkan kesamaran atau ketidak jelasan dibutuhkan ijtihad ( berfikir mendalam )
Indikator-indikator :
ü Kesamaran terjadi apabila dihubungkan kepada sebagian dari beberapa satuan
ü Kesamaran pada satuan didalam lafadz merupakan sifat tambahan
ü Kesamaran itu timbul tidak dari lafadz al khafi itu sendiri, tetapi didalam menerapkan artinya kepada sebagaian satuan karena adanya faktor dari luar
Contoh I :
السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسب من الله … الأية .
Kesamaran ayat ini ketika diterapkan untuk satuan perbuatan yang mempunyai indikasi perbuatan yang sama, tetapi memiliki keahlian tambahan, seperti al Nisyal ( jambret ) , al Thirar ( merampok ), menyamun dan lain lain.
Catatan : Abu Hanifah tidak menghukumi mencuru pada al Nibasy ( mengambil Mori mayat dalam kubur ) tidak termasuk al Sarik karena kuburan bukan tempat menyimpan yang benar, dan mori atau barang mayyit yang lain merupakan barang yang tidak disukai orang. Sementara Imam yang lain, termasuk Abu Yusuf, menghukumi mereka sebagai pencuri yang dipotong tangannya.
Akibat Hukum.
Akibat hukum dari perbuatan yang illatnya samar tersebut ulama madzhab berbeda pendapat :
Abu Hanifah : tidak dikenahi had ( hukuman dari perbuatan aslinya )
Syafi’I, Maliki, Hanbali, dan Abu Yusuf : dikenahi hukuman sama dengan perbuatan yang mempunyai illat hukum jelas, perbuatan tersebut merupakan nama lain dari yang asli.
Contoh II :
Hadits Nabi :
لايرث القاتل شيئا
Yang dimaksud dalam hadits ini adalah pembunuhan al amdu ( dengan disengaja ) . Adapun pembunuhan al Hatha’ ( dengan tidak sengaja ) terdapat kesamaran hukum.
Imam Malik, Pembunuhan dengan tidak sengaja tidak termasuk katagori pembunuhan, sehingga tidak menghalangi hak warits.
Jumhur Ulama, pembunuhan al Hatha’ termasuk pembunuhan, sehingga menghalangi hal warits;
Imam Hanafi, harus dipelajari dahulu kesalahan dalam melakukan pembunuhan, apabila ada indikasi yang mengarah pada perbuatan pembunuhan maka hukumnya sama dengan al ‘amdu, dan menghalangi hak warits.
2. Al Musykil.
Lafadz yang bentuknya itu tidak dapat menunjuk pada artinya, bahkan harus ada qarinah dari luar yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud dari padanya. Qarinah dapat ditemukan dalam pembahasan.
a). Lafadz al Musykil; lafadz itu samar karena dia menurut bahasa dibuat untuk obyek beberapa arti , dan pengertiannya tidak dapat difahami dengan sendirinya, atau karena kontradiksi pemahaman satu nash dengan yang lain.
Cara memahami makna dari lafadz seperti ini adalah :
§ dengan memahami syi-yaqul kalam ( kesesuaian makna dengan kondisi yang melatar belakangi )
§ dengan dalil luar yang memperjelas makna lafadz itu.
Contoh :
Pemaknaan lafadz : أنى dalam beberapa ayat Alquran berikut ini :
1- أنى بمعنى كيف :
* فأتوا حرثكم أنى شئتم ، لفظ أنى في هذه العبارة بمعنى كيف – بأي كيفية شئتم قاعدة أو قائمة أو على جنب أو من الخلف في القبل ، لأن ( الحرث ) هو موضع طلب الأولاد والنسل ، والدبر ليس محلا لها .
* أنى يكون لي غلام .
2- أنى بمعنى من أين :
أنى لك هذا
b) samar karena lafadznya Musytarak; yang menurut bahasa adalah obyek beberapa arti dan dilalah sighatnya tidak tertentu satu arti, sehingga membutuhkan qarinah dari luar yang menentukannya.
Contoh :
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاث قروء
Lafadz “ quru’ “ obyek bagi arti suci dan mens, sehingga iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali haidz ( Ulama Hanafi dan Ulama Hanbali ) karena ada hadits lain yang pemaknaannya sama, yaitu :
1- عدة الأمة حيضتان
2- المستحاضة تدع الصلاة أيام أقرائها
Adapun Ulama Syafi’I dan Maliki memaknai quru’ tiga kali masa suci dengan qarinah kaidah lughawiyyah, seperti yang terdapat dalam ayat yang lain :
الذي بيده عقدة النكاح في قوله تعالى إلا أن يعفون أو يعفوا
الذي بيده عقدة النكاح . أي الزوجة أو الولي
Kesulitan juga muncul karena adanya perbandingan antara satu nash dengan yang lain ( nash itu pada batas-batasnya mempunyai dalalah yang jelas atas maknanya dan tidak ada kesulitan, tetapi kesulitan timbul ketika dikompromikan antara nash-nash itu.
* ما أصابك من حسنة فمن الله وما أصابك من سيئة فمن نفسك،
قل كل من عند الله
* إن الله لا يأمر بالفخشاء ، وإذا أردنا أن نهلك قرية أمرنا مترفيها ففسقوا منها فحق عليها القول فدمرناها تدميرا .
Jalan untuk menghilangkan kesamaran adalah ijtihad, sehingga mujtahid dapat mentakwil secara benar dan dapat menyatakan nash-nash itu serta dapat menghilangkan perbedaan yang terdapat pada formalnya.
3. Al Mujmal.
Adalah lafadz yang sighatnya tidak dapat menunjukkan pada pengetian yang dikandung olehnya dan tidak terdapat qoarinah-qarinah lafadz atau keadaan yang menjelaskannya. Sebab sebab kesamaran bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru datang. Termasuk al Mujmal; pertama adalah lafadz yang pengertian bahasanya dipindah oleh Syari’ untuk pengertian istilah syari’ secara khusus, seperti Shalat, Shiam, Zakat, Haji, riba, dan lain lain. Pengertian lafadz lafadz itu adalah oleh penafsiran dari syari’ itu sendiri; kedua Lafadz asing yang ditafsiri oleh nash itu sendiri dengan arti yang khusus.
Contoh :
* القارعة ، ما القارعة ، وما أدراك ما القارعة ، يوم يكون الناس كالفراش المبثوث ، … الأية
* إن الإنسان خلق هلوعا ، إذا مسه الشر جزوعا ، وإذا مسه الخير منوعا .
Ketiga Lafadz itu musytarak, sedangkan syara’ tidak menjelaskan qarinahnya. Ketika ada kesulitan mendapatkan kejelasan makna ayat karena tidak ada qarinah, maka ayat tersebut termasuk al Mujmal. Seperti makna lafadz الموالي dalam ungkapan أوصيت بثللث مالي لموالي , makna kalimat diatas mungkin orang yang memberi kemerdekaan berarti datangnya wasiat dari hamba yang dimerdekakan, tetapi juga mungkin maknanya adalah hamba yang dimerdekakan, berarti wasiat datang dari sayyid yang memerdekakan. Yang dapat menjelaskan makna الموالي diatas adalah orang yang melakukan wasiat sendiri dan apabila yang berwasiat mati, serta belum ada kejelasan makna dari yang bersangkutan, maka wasiat batal, karena tidak mungkin terjadi dua pemaknaan ( Imam Hanafi ).
5. al Mutasyabih .
Adalah lafadz yang sighatnya itu sendiri tidak mrnunjuk pada artinya dan tidak terdapat qarinah-qarinah luar yang menjelaskannya, sedangkan Syari’ sudah mencukupkannya begitu saja berdasarkan ilmu-Nya dan tidak menjelaskannya. Termasuk katagori al Mutasyabih ialah ayat ayat qur’an yang berupa potongan potongan huruf, seperti : يس ، ألم ، كهيعص , dan ayat ayat yang formalnya menyerupakan Allah dengan mahluknya, seperti : يد الله فوق أيديهم ، و اصنع الفلك بأعيننا ، ما يكون من نجوى ثلا ثة إلا هو رابعهم ولا خمسة إلا هو سادسهم ولا أدنى من ذلك ولا أكثر إلا هو معهم أينما كانوا dan perbuatan perbuatan yang dilakukan oleh Allah, seolah olah Allah melakukannya dengan jasmani dan ditentukan oleh waktu tertentu, seperti الرحمن على العرش استوى ، وجاء ربك والملك صفا صفا ، وقوله صلعم : إذا كاتت ليلة النصف من شعبان ، فقوموا ليلها ، وصوموا يومها ، فإن الله تبارك وتعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى السماء الدنيا ، فيقول : ألا من مستغفر فأغفر له ؟ ألا من مسترزق فأرزقه ؟ ألا من مبتلي فأعافيه ، ألا كذا ، ألا كذا ، حتى يطلع القجر - رواه ابن ماجة عن علي رضي الله عنه-
tentang keijmalannya itu ulama berselisih pendapat :
4. Ulama’ salaf : ayat ayat Mutasyabih artinya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, dan mereka mempercayainya, serta tidak hendak mentakwil
5. Ulama’ khalaf berpendapat, ayat ayat yang formalnya mustahil harus ditakwil dan dipalingkan dari arti formalnya, sehingga tidak terjadi penyerupaan al Khaliq pada Makhluq
6. Abdul Wahab al Khallaf, ayat ayat diatas ditakwil dengan ketentuan tidak timbul perbedaan mentakwilnya. Dan masalah yang berhubungan dengan huruf hijaiyyah di permulaan ayat qur,an, itu bukti, bahwa alqur’an dibuat dari huruf-huruf, bukan dari yang lain.
Poros ayat Mutasyabih.
Pembicaraan ayat mutasyabih didasarkan pada ayat :
وهو الذي أنزل عليك الكتاب ، منه أيات محكمات هن أم الكتاب و أخر متشابهات، فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه إبتغاء الفتنة وابتغاء تأويله، وما يعلم تأويله إلا الله ، والراسخون في العلم يقول أمنا به ، كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب ، ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا …. الأية .
Terhadap ayat ini ada perbedaan :
a. Ibnu Hazm; Mutasyabihat hanya pada huruf huruf terpenggal diawal surat, dan sumpah sumpah Allah, sepertiلا أقسم بهذا البلد … والشمس وضحها
b. Ulama’ yang lain, sama dengan pendapat diatas, dengan menambahkan ayat ayat yang menimbulkan salah sangka penyerupaan Allah dengan Mahluk.
Menemukan secara yakin makna mutasyabih tidak mungkin, upaya yang ditempuh adalah :
7. mengalihkan maknanya
8. tidak membahas sama sekali.
Ayat ayat taklif, dan ayat tentang syari’at ( hukum ) tidak ada yang mutasyabih, bahkan semua jelas, baik secara langsung maupun lewat penjelasan Nabi.
Cara Menerangkan Nash
الألفاظ من طرق هذه الدلالة ، أهي بصريحة العبارة أم هي بالإشارة ولوازم المعاني ، أو هي بالمنطوق أم بالمفهوم
Masalah Cara Menerangkan Nash ( Dalalah )
a. Pengertian.
Menurut bahasa Dalalah artinya petunjuk, sedangkan menurut Ulama’ Ushul Fiqh, Dalalah :
الدلالة هي ما يدل اللفظ من معنى
yakni suatu pengertian yang ditunjuki oleh lafadz.
Atau diartikan :
الدلالة هي ما يقتضيه اللفظ عند الإطلاق
yakni suatu yang dikehendaki oleh lafadz ketika diucapkan secara muthlak.
b. Pembagian
Ulama’ Hanafi menyatakan bahwa pedoman yang dipakai untuk menggali dan memahami lafadz-lafadz al nash alqur’an dan sunnah dapat dilakukan melalui pemahaman dalalah al lafdz dan dalalah ghairu al lafdz. Sedangkan al Syafi’I pemahamannya melalui al manthuq dan al mafhum.
Ulama’ Hanafi membagi Dalalah ke dalam :
دلالة النص ، دلالة الإقتضاء ، ودلالة المفهوم أي مفهوم المخالف
a.Pengertian ‘Ibarat al Nash.
دلالة العبارة هي المعنى المفهوم من اللفظ سواء أكان ظاهرا فيها أم كان نصا سواء كان محكما أم كان غير محكم
“ Makna yang dapat difahami dari lafadz, baik itu lafadz al dzahir atau lafadz al nash, atau baik itu lafadz al muhkam atau bukan muhkam “
عبارة النص وهو اللفظ ومعناها دلالة اللفظ على المعني مقصودا أصليا او غير أصلي
“ Lafadz dan artinya adalah petunjuk lafadz atas makna yang dimaksudkan; baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli “
دلالة العبارة هي دلالة الصيغة على المعنى المتبادر فهمه منها المقصود من سياقها سواء أكان مقصودا من سياقها أصالة أو مقصودا تبعا
“ petunjuk dari bentuk makna yang cepat dapat difahami dari padanya, serta dimaksudkan oleh susunan lafadznya. Baik susunan lafadz itu dimaksudkan untuk makna asli atau karena makna ikutan ( bukan makna asli) “
makna dari definisi diatas, Ibarat al nash :
a. lafadz yang tersusun dari dua makna maksud hukum; maksud hukum asli, atau bukan asli
b. mengandung makna yang segera dapat difahami dari susunan lafadznya
c. diantara lafadznya mengandung lafadz al dhahir, al nash, al muhkan dan ghairu muhkam
Contoh :
أحل الله البيع وحرم الربا
Makna asli; jual beli itu bukan riba. Dengan latar belakang turunnya ayat ini sebagai bantahan terhadap anggapan
bahwa jual beli itu identik dengan riba, sebagaimana firman Allah :
إنما البيع مثل الربى
arti tidak asli adalah jual beli itu halal, dan riba itu haram. Makna ini meniadakan persamaan antara keduanya, serta menunjukkan hukum masing masing.
Contoh lain :
إن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى ، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Makna ayat ini adalah :
a. boleh menikah dengan wanita cantik
b. membatasi bilangan sampai empat
c. kewajiban membatasi satu istri apabila dihawatirkan terjadi dzalim ketika berbilangan istri
makna asli adalah arti kedua dan ketiga; makna ketiga dimaksudkan untuk menjelaskan para wali penerima wasiat untuk membatasi diri, mereka menolak menerima wasiat karena takut aniaya terhadap anak yatim, sehingga dibatasi hanya beristri Satu saja
sedangkan makna tidak asli adalah makna pertama, yakni menikahi wanita cantik, dan cukup satu hubungannya dengan keadilan
Nash Syar’I atau Undang undang wajib iamalkan dengan apa yang telah difahami tentang kata kata itu, atau isyaratnya, atau dalil dalilnya, atau hukum hukumnya. Setiap apa yang difahami dari nash itu dengan salah satu methode yang empat berdasarkan nash itu merupakan hujjah terhadapnya.
Kaidah pertama , Kata kata nash :
دلالة العبارة
adalah shighat yang terbentuk dari mufradad dan kalimat. Sedangkan makna dari “ apa yang difahamkan dari kata kata nash “ adalah pengertian yang cepat ditangkap dari shighatnya itu yaitu apa yang dimaksud oleh pembicaraan. Makna dapat difahami dengan jelas dari shighat ( kata kata ) nash itu, ketika pembicaraan untuk menyatakan dan menetapkannya.
Catatan :
Nash : Pembicaraan untuk menyatakan dan menetapkannya.
Yang diterangkan : Kata kata Nash
Yang menunjukkan kata kata : shighat atas makna yang cepat difahamkan maksud dari pembicaraan itu ( apakah maksud pembicaraan itu pokok pembicaraan atau yang mengiringi )
Contoh :
2. Semua hukum perundangan tentang sesuatu yang ditunjuk oleh kata tertentu menunjukkan dalil yang jelas terhadapnya. Semua fasal arti katanya menunjuk pada makna yang dimaksud.
3. Firman Allah :
أحل الله البيع وحرم الربا
Nash ini menunjukkan bahwa sighat ini merupakan dalil nyata untuk menjelaskan apa yang dimaksud oleh pembicaraan itu, seperti pertama jual beli itu bukan seperti riba; dari nash ini dikandung maksud bahwa anggapan, bahwa jual beli itu tidak seperti riba, kedua, jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram
4. Firman Allah :
إن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى ، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Dari nash ini dapat difahami dengan tiga pengertian, pertama boleh menikah dengan wanita yang disenangi, kedua sebanyak banyaknya sampai empat orang, dan ketiga adalah ketersangkutan dengan kekejaman dan harta anak yatim.
b. Isyarat Nash إشارة النص ) )
i. Pengertiannya
Menutur Khudhari Bik :
إشارة النص هى دلالته على ما لم يقصد له اللفظ أصلا
Isyarat Nash adalah petunjuk nash atas makna yang tidak dimaksudkan oleh lafadznya menurut makna aslinya
Menurut syeikh Abu Zahrah :
إشارة النص هي ما يدل عليه اللفظ بغير عبارته ولكنه يجيئ نتيجة لهذه العبارة فهويفهم من الكلام ولكن لا يستفاد من العبارة ذاتها
Adalah suatu makna yang ditunjuki oleh lafadz bukan dari segi ibaratnya. Akan tetapi ia muncul sebagi natijah ( konklusi ) dari ibarat ini; ia dapat difahami dari susunan kalimat, tetapi tidak memberikan faedah dari dzat ( hakikat makna yang tersurat dalam ) ibaratnya
Menurut DR. Abdul Wahab Khalaf :
دلالة الإشارة هي دلالة النص عن معنى لازم لما يفهم من عبارته غير مقسود من سياقه يحتاج فهمه إلى فضل ثأمل أو أدناه حسب ظهور وجه التلازم وخفائه
Adalah petunjuk nash atas makna yang lazim ( tetap ) yang dapat difahami dari uangkapannya serta tidak dimaksudkan oleh susunan lafaznya; dan untuk memhami (makna) nya diperlukan pemikiran sedalam-dalamnya atau pemikiran yang sederhana, menurut terang dan tidaknya dari segi ketetapannya
Menurut Zakiy al Din Sya’ban :
هي دلالة للفظ على حكم لم يقصد منه أصالة ولا تبعا ولكنه لازم للمعنى الذي سيق الكلام لإفادته ولا يتوقف عليه صدق الكلام ولا صحته شرعا
Adalah petunjuk laadz atas hukum yang tidak dmaksudkan baik oleh makna asli maupun makna tabi’I ( bukan asli ). Akan tetapi hukum itu tetap ada bagi makna yang tersusun ( dalam ) susunan lafadz untuk keprluannya, dan tidak dapat diketahui atas makna hukum itu suatu kebenaran dan keshahihan susunan lafadz menurut syara’
2. Unsur-unsur Isyarat Nash :
a. Mengandung makna ( hukum ) tetap yang tidak dimaksudkan baik oleh makna asli maupun makna tabi’iy dalam susunan lafadznya
b. Dala memahaminya kadang kadang diperlukan pemikiran sedalam-dalamnya atau pemikiran yang sederhana mungkin
c. Kebenaran dan kesahihan makna ( hukum ) dari isyarat al Nash ini tidak dapat diketahui dalam tuntutan syara’
Contoh :
وإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Makna Ibarat :
Adil menurut tuntutan agama maupun peradilan adalah syarat bagi laki-laki yang mau menikah lebih dari satu
Makna Isyarat :
Adil adalah tuntutn kehidupan dan bersifat abadi, dan adil merupakan lawan dari dhalim, yang menurut agama adalah dusta dan haran hukumnya
يا أيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه ، وليكنب بينكم كاتب بالعدل ولا يأب كاتب أن يكتب كما علمه الله فليكتب وليملل الذي عليه الحق وليتق الله ربه ولا يبخس منه شيئا
Makna ibarat :
Menulis hutang piutang dengan adil adalah wajib, dalam arti antara hutang dan yang tercatat harus sesuai dan benar.
Makna Isyarat :
Menulis utang adalah hujjah bagi piutang suatu ketika yang berhutang mungkir atas utangnya.
Catatan :
Dalam memahami isyarat al nash antara satu orang dan orang lain sering berbeda, karena adanya kesamaran petunjuk-petunjuknya, sehingga memahami isyarat al nash hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar benar memahami hukum syari,at, qanun al syari’ah, dan bahasa syari’at.
c. Petunjuk Nash ( دلالة النص )
1. Pengertian :
Menurut Zakiey al Din Sya’ban :
دلالة النص هى دلالة الكلام على ثبوت حكم المنصوص عليه للمسكوت عنه لاشتراكهما في علة الحكم التي يمكن فهمها بمجرد فهم اللغة من غير احتياج إلى نظر واجتهاد
Dalalah al Nash adalah petunjuk dari susunan kalimat atas keketapan hukum yang ada nashnya untuk ( menetapkan hukum ) yang tidak disebutkan ( yang tidak ada nashnya ) karena secara bersama ada kesamaan illat hukum yang pemahaman hukum keduanya memungkinkannya hanya melalui pemahaman secara bahasa ansikh, tanpa memerlukan pemikiran dan ijtihad.
Menurut Abu Zahrah :
“ apabila ungkapan nash menunjukkan atas hukum dalam suatu kejadian oleh karena ungkapan nash tersebut, dan hukum ini dapat difahami dari nash untuk kejadian yang lain karena terbukti ada yang mewajibkan hukum didalam nash itu “
Syeikh Khudzari Bik menyatakan :
“ Ialah penunjuk nash atas ketetapan hukum yang disebutkan bagi suatu ( hukum ) yang tidak disebutkan karena dapat difahaminya illat, yang dapat diketahui secara bahasa, ansich “
Unur unsur Dilalah al Nash :
a. Dilalah al Nash mengandung hukum beserta illatnya yang dapat diterapkan atas kejadian lain berdasarkan hukum dan illat yang sama
b. Illat hukum dalam dalalah al nash ini hanya dapat diketahui melalui bahasa saja
c. Dalam dalalah al nash ini terkandung dua illat, illat yang sama dan illat yang utama
Contoh :
Adalah dalalah al nash yang illatnya sama ( علة المساوي )
إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
Makna Ibarat al Nash :
Makan harta anak yatim itu haran dengan illat anak yatim itu belum mampu menjaga hartanya, dan memakan hartanya adalah aniaya terhadap hartanya.
Illat aniaya ternyata dapat diterapkan pada masalah masalah yang tidak disebutkan oleh syara’, seperti pengrusakan, membakar, atau terlengah menjaga hartanya sedangan dia adalah yang menerima amanah. Masalah yang mempunyai illat sama dengan yang disebutkan oleh syara’ adalah berkedudukan sama dan mendapatkan kepastian hukum yang sama, yakni haram.
Contoh lain :
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ، ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن يؤمن بالله واليوم الأخر
Makna Ibarat Nash :
Wanita yang ditalak suaminya iddahnya adalah tiga quru’, illat iddah adalah kesucian rahim, atau mengetahui hamil dan tidaknya wanita yang ditalak. Illat ini dapat dipakai ketika istri terpisah dengan suami non talak, seperti fasakh dan lain lain, yakni apabila mereka diketahui rahimnya suci atau tidak hamil.
Contoh illat yang lebih utama ( علة الأولى )
فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما .
Makna Ibarat Nash :
Ayat ini menunjukkan larangan anak mengucapkan kata yang tidak mengenakkan kepada kedua orangtua. Illat kata yang tidak mengenakkan adalah menyakitkan. Illat ini dapat diterapkan kepada masalah lain yang tidak disebutkan oleh syara’, seperti memukul, menendang, menyandera, dan lain lain. Memaknahi menyakitkan dari illat yang kedua adalah sama, bahkan lebih utama dari illat pertama, maka hukumnya adalah sama.
Ulama’ ushul fiqh memaknakan dalalah al Nash dengan wahwa al hitab ( فهو الخطاب , dan khusus Ulama syafi’iyyah menamakannya dengan mafhum al Muwafaqat, dan sebagaiam Ulama’ Ushul fiqh menamakan dalalah al Nash dengan al Qiyas, khusus Imam al Syafi’I menamakan Qiyas al Jaliy
Perbedaannya dengan qiyas, Dalalah al Nash illat kesamaan hukum hanya dari segi bahasanya saja, sementara al Qias , illat kesamaan hukum yang terjadi adalah hasil ijtihat dan al isthimbath al akhkam secara menyeluruh
d. Iqtidha’ al Nash ( ( إقتضاء النص
Pengertian:
a. Abu Zahroh
دلالة الإقتضاء وهي دلالة اللفظ على كل أمر لا يستقيم المعنى بتقديره
“ adalah petunjuk lafadz atas setiap masalah ( hukum ) yng tidak dapat ditegakkan maknanya kecuali dengan mengukur ( mengira-ngira ) nya “
b. menurut syeikh al Khudzari :
وهو دلالة اللفظ على سكوت عنه يتوقف صدق الكلام عليه
“ adalah petunjuk lafadz atas ( sesuatu kata ) yang tidak disebutkan ( oleh syara’ ) yang hanya dapat diketahu kebenaran sususnan kaimat ( nash ) atas sesuatu kata itu “
c. Abdul wahab khalaf :
المراد بما يفهم من إقتضاء النص المعنى الذي لا يستقيم الكلام إلا بتقديره ، فصيغة النص ليس فيها لفظ يدل عليه ولكن صحتها واستقامة معناها تقتضيه ، أو صدقها ومطابقها للواقع تقتضيه
“ Yang dimaksud dengan sesuatu yang difahami dari iqtidza’ al nash ilah makna lafadz yang tidak dapat ditegakkan suatu kalimat nash kecuali dengan makna lafadz tersebut. Maka dalam bentuk ( kalimat ) nash tidak terdapat makna lafadz yang menunjukkan kepada kesempurnaan bentuk nash tersebut, tetapi kesahihan atau kebenaran bentuk nash dan tegak maknanya menghendaki kepada makna lafadz tadi yang sesuai dengan kenyataan yang mnghendakinya “
d. Menurut Zakiy al Din Sa’ban :
إقتضاء النص هى دلالة الكلام على مسكوت عنه يتوقف عليه صدق الكلام أو صحته شرعا
Adalah petunjuk susunan lafadz atas ( sesuatu kata ) yang tidak disebutkan ( oleh syara’ ) yang hanya dapat diketahui kebenaran atau kesahihan susunan lafadz ( nash )nya atas sesuatu kata itu menurut syara’
Unsur-unsur :
a. diperlukan suatu lafadz yang bermakna dari luar susunan makna kalimat nash yang telah ada untuk kesahihan dan kesempurnaan maknanya secara keseluruhan, agar dapat difahami secara benar
b. Makna lafadz yang diperlukan harus sesuai dengan kenyataan yang dikehendaki oleh susunan kalimat nash yang ada
Contoh :
وسئل القرية التي كنا فيها والعير التي أقبلنا فيها وإنا لصادقون
Lafadz ini tidak dapat difahami secara lafdzi, karena khitab syara untuk al qaryah yang tidak dapat berkomunikasi, agar dapat difahami maknanya secara utuh, maka makna lafadz ini adalah “ disisispkan “ kata ahli, yakni ahli al qaryah sehingga maknya dapat difahami secara utuh.
Contoh lain :
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به
Keharaman dari ayat diatas belum jelas, apakah melihatnya, memakannya, dan atau yang lain, sehingga harus diperkirakan kepantasan maknanya, yaitu memakannya
Ulama Ushul fiqh membagi Iqtidza’ al Nash dalam mensesuaikan makna dengan ungkapan lafadznya kedalam tiga bagian, yaitu :
Dari yang dikehendaki nash ada makna yang ( wajib ) dianggap ( dikira-kirakan) tepat untuk kebenaran susunan lafadz nash menurut ketentuan syara’
contoh :
لا صيام لمن لم يبيت النية من الليل – أي لا يصح الصيام …..
Dari yang dikehendaki nash ada makna yang ( wajib ) dianggap ( dikira-kirakan ) tepat untuk kebenaran susunan lafadz nash menurut akal.
Contoh :
فليدع ناديه
maka biarlah dia memanggil tempat perkampungan
makna ungkapa ini tidak rasional kecuali dengan tambahan lafadz ahli, sehingga maknanya akan rasional
Dari yang dikehendaki nash ada makna yang ( wajib ) dianggap ( dikira-kirakan ) tepat untuk kesahihan susunan lafadz nash menurut ketentuan syara’.
Contoh :
… فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان
“ … maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah ( yang memaafkan ) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah ( yang diberi maaf ) membayar kepada memberi maaf dengan cara yang baik ( pula ) “
agar makna lafadz ini shahih dan tepat antara susunan lafadz dan maknya, maka harus diberi “ tambahan “ lafadz maal, sehingga makna keseluruhan “ ….. dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat harta kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik ( pula) “
Tingktan kekuatan Dilalah
Empat dalalah diatas dapat dijadikan sebagai khujjah syar’iyyah untuk menetapkan suatu hukum yang digali dari makna nash-nash syara’. Apabila terjadi ta’arudz ( pertentangan ) antara dalalah yang dapat difahami dengan Ibarat al Nash dengan dalalah yang lain, maka yang didahulukan adalah makna lafadz yang dapat difahami dengan Ibarat al Nash. Contoh :
ياأيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
pemahaman dengan ibarat al nash, bahwa pembunuh dengan senganja adalah diqhisas, sedangkan ayat lain yang difahami dengan isyarat al Nash tidak mewajibkan membunuh bagi yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, tetapi masuk neraka jahannam, yaitu firman : ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاءه جهنم خالدا فيها Contoh ta’arudz antara Ibarat al Nash dengan dalalah al nash adalah يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى dengan ayat ومن قتل مؤمنا خطأفتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله makna ayat pertama adalah pembunuh dengan sengaja mendapat hukum qishas, sedangkan dengan ayat kedua pemahamannya adalah pembnuh seorang mukmin karena bersalah, dengan illat mengilangkan nyawa diwajibkan kafarat, maka apalagi membunuh mukmin dengan sengaja, maka hukumannya adalah lebih utama. Dan contoh ibrat al nash dengan dalalah iqtidla’ dalah ayat ومن قتل مؤمنا خطأفتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله dengan hadits nabi رفع عن أمتي الخطاء و النسيان وما استكرهوا makna iqtidha’ dari hadits ini adalah membunuh dengan “ kesalahan = tidak sengaja “ adalah tiampuni
Dan apabila lafadz yang dapat difahami dengan Isyarat nash dengan dalalah al Nash dan dalalah al Iqtidlah’ , maka makna yang dipakai aladah Isyarat al Nash. Contoh yang bertentangan isyarat al nash dengan dalalah al nash : ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاءه جهنم خالدا فيه ( membunuh dengan sengaja tidak wajib memerdekkan budak, kaena dosa tidak dapat dibalas di dunia ) dengan ayat ومن قتل مؤمنا خطأفتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله ( membunuh dengan salah dengan illat menghilangkan nyawa orang, maka wajib baginya memerdekaan budak, apalagi membunuh dengan sengaja, maka hukumannya lebih dari itu ) Sedangkan apabila dalalah al nash bertrntangan dengan dalalah al Iqtidla’ maka makna yang dipakai adalah dengan dalalah al nash
Ulama syafi’iyyah mendahulukan memaknahi dengan dalalah al nash dari pada isyarat al nash, sehingga pembunuh dengan sengaja wajib kafarat sebagai penebus dosanya, dengan cara memerdekakan hamba sahaya mukmin. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh Ulama’ Syafiiyyah :
a. Dalalah al nash dari suatu makna ayat atau hadits digali dari susunan lafadz bahasanya. Dan pemahaman semacam itu hampir menyerupai dengan methode pemahaman ibarat al nash, sedangkan isyarat al nash dari suatu makna ayat tidak dapat digali dari susunan lafadz bahasanya, tetapi digali dari ketetapan-ketetapan yang jauh untuk nash-nash syara’
b. Makna dari suatu ayat atau hadits dengan melalui pemahaman dalalah al nash adala jelas maksudnya , sedangkan melalui pemahaman isyarat al nash kadang kadang jelas dan kadang-kdang tidak jelas maksudnya.
Dalalah Ghayr al Lafadz.
Ulama’ hanafiyyah menamakan dalalah ghayr al Lafdz dengan dalalah al sukut ( dalalah yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh lfadznya ), dan bayan al Dharurat ( penjelasan yang dapat diambil pemahamannya dengan mudah ). Dan mereka membagi dalalah ini pada empat bagian :
a. دلالة حال الساكت الذي وظيفته البيان مطلقا أو في تلك الحال
“ Dalalah ( petunjuk ) dari hukum yang disebutkan ( ada) atas hukum lain yang tidak disebutkan “
contoh :
. الألفاظ من طرق هذه الدلالة ، أهي بصريحة العبارة أم هي بالإشارة ولوازم المعاني ، أو هي بالمنطوق أم بالمفهوم :
، دلالة النص ، دلالة الإقتضاء ، ودلالة المفهوم أي مفهوم المخالفة
Nash Syar’I atau Undang undang wajib diamalkan dengan apa yang telah difahami tentang kata kata itu, atau isyaratnya, atau dalil dalilnya, atau hukum hukumnya. Setiap apa yang difahami dari nash itu dengan salah satu methode yang empat berdasarkan nash itu merupakan hujjah terhadapnya.
Kaidah pertama , Kata kata nash - دلالة العبارة - adalah shighat yang terbentuk dari mufradad dan kalimat. Sedangkan makna dari “ apa yang difahamkan dari kata kata nash “ adalah pengertian yang cepat ditangkap dari shighatnya itu yaitu apa yang dimaksud oleh pembicaraan. Makna dapat difahami dengan jelas dari shighat ( kata kata ) nash itu, ketika pembicaraan untuk menyatakan dan menetapkannya.
Catatan :
Nash : Pembicaraan untuk menyatakan dan menetapkannya.
Yang diterangkan : Kata kata Nash
Yang menunjukkan kata kata : shighat atas makna yang cepat difahamkan maksud dari pembicaraan itu ( apakah maksud pembicaraan itu pokok pembicaraan atau yang mengiringi )
Contoh :
5. Semua hukum perundangan tentang sesuatu yang ditunjuk oleh kata tertentu menunjukkan dalil yang jelas terhadapnya. Semua fasal arti katanya menunjuk pada makna yang dimaksud.
6. Firman Allah :
أحل الله البيع وحرم الربا
Nash ini menunjukkan bahwa sighat ini merupakan dalil nyata untuk menjelaskan apa yang dimaksud oleh pembicaraan itu, seperti pertama jual beli itu bukan seperti riba; dari nash ini dikandung maksud bahwa anggapan, bahwa jual beli itu tidak seperti riba, kedua, jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram
7. Firman Allah :
إن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى ، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Dari nash ini dapat difahami dengan tiga pengertian, pertama boleh menikah dengan wanita yang disenangi, kedua sebanyak banyaknya sampai empat orang, dan ketiga adalah ketersangkutan dengan kekejaman dan harta anak yatim.
Kaidah kedua Isyarat Nash ( إشارة النص ), yakni pengertian yang tidak cepat ditangkap lafadz lafadznya.

suplemen ushul fiqh

Menyelami Ushul Fiqh Perspektif Filsafat Ilmu
Oleh : Pahrudin HM, M.A.
A. Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam Islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang dan tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan dan apa sajakah pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Filsafat ilmu sebagai bagian dari kajian filsafat mencoba untuk mengetahui kinerja sebuah ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh beberapa ahli. Sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin, bahwa filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan falsafati yang menelaah sistematis sifat dasar suatu ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-anggapannya.[1] Atau, salah satu tujuan mempelajari filsafat ilmu sebagaimana yang dikemukakan oleh Bakhtiar, yaitu untuk memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai bidang sehingga kita mendapatkan gambaran mengenai proses ilmu kontemporer secara historis.[2] Dengan kajian filsafat ilmu, akan diketahui bagaimana cara kerja atau metodologi yang diterapkan oleh sebuah ilmu dalam fungsinya untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
Tulisan berikut akan mencoba untuk mengupas metodologi yang ada dan diterapkan dalam sebuah ilmu yang berfungsi untuk mengetahui hukum dalam Islam, Ushul Fiqh. Bagaimanakah metode yang digunakan oleh Ushul Fiqh dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam dan apakah dasar-dasar yang mendasari penentuan metode tersebut.
B. Pengertian Ilmu Ushul Fiqh
Secara etimologi, ilmu ushul fiqh berasal dari dua kata Bahasa Arab, yaitu al-ushūl dan al-fiqh. Kata al-Ushūl adalah bentuk plural (jama’) dari kata al-ashlu yang memiliki arti dasar atau pokok, sedangkan kata al-Fiqh dalam bahasa Arab mempunyai pengertian paham atau mengerti. Adapun secara terminologi, menurut Khalaf adalah suatu ilmu yang memiliki kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan acuan dalam penetapan hukum Islam mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci.[3] Sedangkan menurut Abu Zahrah, ushul fiqh adalah metodologi yang digunakan para mujtahid dalam menggali hukum Islam dari teks al-Qur’an ataupun Hadits dengan mengidentifikasikan sebab (illat) dari suatu hukum sesuai dengan tujuan dasar diturunkannya syari’ah.
Dengan demikian, ilmu ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah dasar mengenai sistematika penggalian hukum dari berbagai dalil syari’at. Maka di dalamnya mencakup kajian mengenai teks secara langsung, seperti sistematika penggalian hukum melalui ilmu semantik, menggabungkan dua teks jika terjadi benturan secara nyata, atau berupa kajian yang bersifat etimologi yang tidak berhubungan secara langsung dengan teks, seperti mengeluarkah sebab dari teks dan cara menggunakan metodologi terbaik dalam penggalian hukum Islam ketika berinteraksi dengan sebab tersebut.[4] Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, ushul fiqh merupakan ilmu yang menerangkan mengenai kaidah-kaidah dasar dan rumusan global (al-adillah al-ijmāliyyah) yang dapat membantu para mujtahid dalam menggali hukum fiqh.[5]
Namun demikian, tidak lengkap rasanya jika tidak mengemukakan bagaimana pula pengertian ilmu fiqh. Hal ini karena antara ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh seringkali terjadi kesimpangsiuran pengertian antara keduanya, bahkan tidak jarang ada yang menyamakan kedua ilmu ini. Ilmu fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci.[6] Atau, dapat pula diartikan sebagai kumpulan hukum-hukum Islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalil secara terperinci.[7] Kedudukan ilmu fiqh merupakan suatu kajian tentang penilaian suatu tindakan. Fiqh mengkaji apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah melalui lima hukum utama (haram, halal, wajib, sunnah, dan makruh). Menurut Ibnu Khaldun, ilmu fiqh adalah sebuah bentuk pengetahuan terhadap aturan Tuhan yang ditujukan kepada tingkah laku manusia dimana mereka mesti harus taat kepada bentuk aturan tersebut yang meliputi wajib, haram, mandub, mubah dan makruh.[8] Untuk memahami hukum Tuhan tersebut, maka diperlukan beberapa kaedah pokok untuk menentukan benar atau salah di mata Allah. Beberapa kaedah tersebut meliputi tingkatan pengambilan hukum yaitu dengan merujuk langsung kepada Al Qur’an dan Sunnah, ataupun mengikuti Imam Syafi’i ada beberapa kaidah lain yang harus diperhatikan dalam menentukan sebuah hukum, yaitu ijmā’ atau ketetapan otoritas ulama, Qiyās, dan Istihsān.[9]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan antara ilmu ushul fiqh dengan ilmu fiqh terletak pada landasan dan fokus yang dipakai oleh kedua ilmu ini. Ilmu ushul fiqh lebih menitikberatkan pada landasan teoritis yang bersifat global (al-adillah al-ijmāliyyah), sementara ilmu fiqh lebih terfokus pada tataran praktis yang diambil dari dalil yang terperinci (tafshīlīy). Meskipun di samping memiliki perbedaan sebagaimana dikemukakan di atas, ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh ternyata juga mempunyai kesamaan. Persamaan kedua ilmu ini terletak pada pencarian ketentuan hukum syari’at Islam yang dilakukan oleh ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ushul fiqh bergerak dalam tataran metodologis, sedangkan fiqh bergerak dalam tataran praktis.[10]
C. Lintasan Sejarah Ilmu Ushul Fiqh
Sejarah kemunculan ilmu ushul fiqh tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang ada dalam umat Islam saat itu. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah tidak selamanya mendampingi umatnya karena beliau seperti manusia pada umumnya yang tentu akan dipanggil Sang Pencipta jika saatnya tiba. Wafatnya Nabi Muhammad dan kenyataan bahwa wilayah Islam kian tambah luas memunculkan banyak persoalan di kalangan umat Islam yang memerlukan interpretasi hukum Islam terhadap beragam problem yang baru tersebut. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasan tentang dalil yang digunakan dalam Islam dan syarat-syarat atau cara-cara penggunaan dalil tersebut. Inilah apa yang dikenal kemudian dengan nama ushul fiqh yang dihimpun pertama kali oleh Imam Abu Yusuf yang menjadi seorang pengikut setia Imam Abu Hanifah.[11]
Meskipun demikian, orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah dan pembahasan ilmu ushul fiqh secara sistematis adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Dalam bukunya yang sangat terkenal, Kitāb ar-Risālah, Imam Syafi’i menyusun kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh secara sistematis dan masing-masing kaidah tersebut dikuatkan dengan dalil-dalil dan ulasan yang baik.[12] Usaha ini kemudian diteruskan oleh pengikutnya, ar-Rabī’ al-Murādīy, sehingga menjadikan buku ini sebagai buku pertama yang membicarakan ushul fiqh dalam satu buku pembahasan.
Seiring dengan perjalanan waktu, ushul fiqh terus mengalami perkembangan yang tidak jarang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Namun demikian, secara ringkas perkembangan ilmu ushul fiqh dapat dibagi menjadi tiga tahapan perkembangan, yaitu:
Al-Mutakallimūn atau ahli ilmu kalam, yaitu penulisan ilmu ushul fiqh berdasarkan pada analisa dan rumusan-rumusan teoritis tanpa melihat titik persamaan atau perbedaan para ulama ushul terhadap permasalahan cabang (furū’iyyah). Dengan demikian, apa yang dilakukan ulama mutakallimūn merupakan metodologi murni yang berasal dari kajian induktif atas teks agama Islam. Hukum fiqh hanya dijadikan sebagai contoh praktis.[13] Kesan dari penulisan model ini adalah bahasan yang bersifat filosofis-analisis. Tujuannya adalah bahwa ilmu ushul fiqh dijadikan sebagai timbangan dan sandaran terhadap ketentuan hukum fiqh lepas dari sekat-sekat madzhab. Dengan demikian, metode penulisan seperti ini dapat terhindar dari fanatisme madzhab tertentu. Di antara yang menggunakan medel penulisan seperti ini adalah kalangan Mu’tazilah, Syafi’iyah dan Malikiyah.
Al-Hanafiyyah, yaitu suatu metode penulisan yang dilakukan oleh pengikut Imam Hanafi dengan menganalisa hasil dari ijtihad sang imam, kemudian merumuskan metode yang digunakan oleh imam berdasarkan dari hasil analisis tersebut. Maka model rumusan metodologi ini bersifat praktis dan lebih memihak madzhab tertentu. Kelebihannya adalah bahwa rumusan tersebut lebih banyak bersentuhan dengan hukum fiqh dari pada perdebatan filosifis-metodologis.
Metode akomodatif, yaitu penggabungan dari dua metode penulisan di atas. Mereka tidak terlalu berdebat dalam tataran filosofis-metodologis, namun juga tidak terlalu terpaku dengan persoalan cabang. Mereka meletakkan rumusan kaidah ushul yang ditopang dengan argumentasi logis, sebagai standar dan penentu dalam ketetapan hukum syariat. Di samping itu, mereka juga menambahan contoh-contoh praktis yang diambil dari para imam. Model penulisan seperti ini banyaik diikuti oleh para ulama belakangan ini (muta’akhirīn), baik dari madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, Ja’fari bahkan madzhab Hanafi.[14]
Dalam perkembangan selanjutnya, banyak terjadi penambahan dalam rumusan ilmu ushul fiqh sesuai dengan perkembangan permasalahan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain bahwa ilmu ushul fiqh sebagai rumusan metodologi dalam penggalian hukum fiqh sebagaimana yang kita lihat saat ini, merupakan hasil dari proses panjang. Berbagai cabang ilmu pengetahuan juga turut mempengaruhi perkembangan ilmu ushul fiqh, termasuk juga logika Aristoteles. Hal ini nampak jelas dalam berbagai karya imam Al-Ghazali. Beliau sendiri mengatakan bahwa siapa saja yang tidak mengetahui ilmu logika maka keabsahan ilmunya perlu diragukan.[15] Tentu saja perkembangan ilmu ushul fiqh tidak berhenti sampai di situ saja. Sampai saat ini, ilmu ushul fiqh masih mendapatkan perhatian serius dikalangan para ulama. Bahkan belakangan muncul berbagai usulan seputar rekonstruksi ilmu ushul fiqh.
D. Metodologi Ushul Fiqh Dalam Menetapkan Hukum
Sebagaimana disebutkan sebelumnya pada pembahasan di atas bahwa persoalan hukum merupakan permasalahan yang penting dan mendapat perhatian yang mendalam dalam Islam. Kondisi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad dan generasi awal Islam yang menemui beragam persoalan yang banyak berupa permasalahan baru membuat kalangan ulama Islam menyusun suatu disiplin ilmu yang kemudian dikenal sebagai ushul fiqh. Ilmu ini berisikan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pertimbangan para ulama dalam menggali dan menetapkan hukum Islam atas beragam permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Para ulama ushul fiqh dalam menggali hukum Islam membagi kaidah-kaidah yang mereka gunakan ,yaitu kaidah-kaidah ushul fiqh dari aspek bahasa pembuatan hukum Islam. Kaidah jenis yang pertama terdiri dari tujuh macam kaidah yang menjadi landasan penetapan hukum dalam Islam berdasarkan ilmu ushul fiqh yang dikemukakan oleh ulama Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab dalam menyampaikannya kepada umat Islam, maka dengan demikian untuk memahaminya harus pula mengetahui dan memahami bahasa tersebut secara lebih komprehensif. Pemahaman mendalam tersebut mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa Arab, terutama pada aspek stilistika atau gaya bahasa yang digunakan oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.
Berdasarkan kajian komprehensif yang dilakukan para ulama Islam, didapatkan beberapa kaidah yang menjadi dasar dalam menetapkan hukum dalam Islam dari aspek bahasanya.[16] Kaidah pertama adalah teori pengambilan makna teks, yaitu teks syari’at atau undang-undang wajib diamalkan menurut apa yang tersurat, isyarat, dalalah atau menurut tuntutannya. Hal ini karena setiap pemahaman teks melalui salah satu cara di atas pada dasarnya adalah pengertian teks tersebut dan teks itu merupakan landasan bagi pengertian itu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa teks syari’at atau undang-undang seringkali menunjukkan makna yang banyak dengan beberapa cara seperti firman Allah : “… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275). Kaidah Kedua pengertian balik yang berbunyi: Teks syari’at tidak mempunyai hubungan atas hukum menurut pengertian balik. Adapun pengertiannya adalah teks syari’at tidak mempunyai hubungan bahwa hukum yang terkandung dalam teks tersebut terdapat pengertian balik dengan bunyi teks. Contohnya adalah firman Allah : “Katakanlah: Dalam wahyu yang diturunkan kepadaku aku tidak memperoleh sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir” (al-Anām: 145). Dalam ayat ini dinyatakan bahwa darah yang mengalir diharamkan oleh Allah, maka bukan berarti darah yang tidak mengalir menjadi dihalalkan karena tidak adanya hubungan antara ayat ini dengan makna tersebut.
Kaidah Ketiga Kejelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi setiap teks yang jelas hubungannya harus diperlakukan sesuai dengan kejelasan hubungan yang ditunjukkannya tersebut. Adapun contoh dari kaidah ini adalah firman Allah : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” (al-Hasyr: 7). Berdasarkan ayat ini maka apa yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad maka harus dilakukan oleh umatnya dan sebaliknya apa yang dilarang maka jangan dilakukan karena demikianlah kejelasan makna yang terkandung dalam ayat ini. Kaidah Keempat, Ketidakjelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi teks yang tidak jelas hubungannya adalah teks yang melalui bentuknya sendiri tidak menunjukkan arti yang dimaksudkan, bahkan untuk memahaminya diperlukan faktor dari luar. Contohnya adalah firman Allah: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’” (al-Baqarah: 228). Lafadz yang tidak jelas dalam ayat ini adalah suci yang memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam apa yang dimaksudkan suci di sini, apakah setelah masa tenggang waktu berakhir (iddah) atau tiga kali masa suci. Kaidah Kelima, Lafadz yang mempunyai banyak arti (musytarak) dan hubungannya, yang berbunyi: apabila dalam teks terdapat lafadz musytarak, maka lafadz tersebut harus dibawa kepada makna syari’at. Hal ini dapat dicontohkan dalam firman Allah : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah kedua tangannya” (al-Māidah: 38). Penggunaan lafadz ‘tangan’ memunculkan banyak pengertian mengenai batasan ‘tangan’ yang dimaksudkan untuk dipotong. Untuk itu, pengertian ayat tersebut dikembalikan kepada tuntunan Nabi Muhammad dalam hadis yang membahas masalah ini. Kaidah Keenam, Keumuman dan hubungannya, yang berbunyi : apabila dalam teks syari’at terdapat lafadz yang umum dan tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya maka, maka lafadz tersebut wajib diartikan dengan keumuman dan menetapkan hukum untuk semua satuannya dengan pasti. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rezeki kepadanya” (Hūd: 6). Ayat ini mengungkapkan bahwa seluruh makhluk di muka bumi ini pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah, tanpa terkecuali. Kaidah Ketujuh, Kekhususan dan Hubungannya, yang berbunyi: Apabila di dalam teks terdapat lafadz khusus, maka dapat menetapkan hukum dengan pasti, selama tidak ada dalil yang menghendaki arti lain. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah: “Dan saksikanlah oleh dua orang saksi dari laki-laki (di antara kamu)” (al-Baqarah: 282). Ayat ini hanya mengkhususkan persaksian pada hutang piutang yang terjadi antara manusia dengan syarat harus disaksikan oleh dua orang yang terdiri dari laki-laki.
Penerapan kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh ini berdampak sangat luas di kalangan masyarakat Islam dari masa ke masa. Beragam permasalahan hukum yang sering menghinggapi umat Islam seiring kian jauhnya keberadaan dan waktu mereka dengan Nabi Muhammad dan generasi pertama Islam menjadi dapat terpecahkan melalui penggunaan kaidah-kaidah ini. Meskipun tidak semua kalangan Islam menyepakati kaidah-kaidah yang termaktub dalam ilmu ushul fiqh ini, tetapi setidaknya upaya yang dilakukan ulama Islam ini menjadi sebuah solusi atas persoalan menyangkut hukum Islam menjadi terpecahkan.
E. Kesimpulan dan Penutup
Bersadarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh lahir karena tuntutan kondisi umat Islam yang sepeninggal Rasulullah dan generasi pertama Islam menghadapi beragam persoalan menyangkut ajaran Islam. Untuk itulah kalangan ulama menyusun kaidah-kaidah yang menjadi dasar menetapkan hukum Islam yang kemudian dikenal dengan ilmu ushul fiqh. Ilmu ini terdiri dari tujuh macam kaidah yang berupa teori-teori dari aspek kebahasaan al-Qur’an dan Hadis, Bahasa Arab. Dengan kaidah-kaidah yang menjadi landasan tersebut, pada ulama menggali hukum Islam dan menetapkan hukum untuk menjawab berbagai permasalahan hukum yang dihadapi umat Islam.
Demikianlah sekelumit paparan mengenai ushul fiqh yang menjadi metode menggali hukum dalam Islam. Sumbang saran dan kritik konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan serta menambah wawasan dan pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abû Zahrah, Muhammad. 1990. Ushūl al-Fiqh. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabīy.
al-Ghazālī, Abū Hamīd. 2000. Al-Mustashfā fī ilmi al-Ushūl. Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Bakhtiar, Amsal. 2006. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Muntasyir, Rizal. dan Misnal Munir. 2006. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khalāf, ‘Abd al-Wahhāb. 1978. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh. Kairo: Dār al-Qalam.
Zaidān, Abdul Karim. 1990. al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh. Kairo: Mu’assasah al-Risālah. Cetakan V.
 http://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_Khaldun. Akses tanggal 30 Desember 2009.
Thaha Jabir al-‘Alwani, Ushul Fiqh al-Islami: Source Methodology in Islamic Jurisprudence: Methodology for Research and Knowledge.
 http://www.usc.edu/dept/msa/law/alalwani…. Akses tanggal 30 Desember 2009.
——————————————————————————–
[1] Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 49.
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 20.
[3] ‘Abd al-Wahhāb Khalāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Qalam, 1978), hlm. 12.
[4] Muhammad Abû Zahrah, Ushūl al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabīy, 1990), hlm. 1
[5] Abdul Karim Zaidān, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, (Kairo: Mu’assasah al-Risālah,1994), Cetakan V, hlm. 11.
[6] ‘Abd al-Wahhāb Khalāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, … hlm. 11
[7] Ibid,-
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_Khaldun. Akses tanggal 30 Desember 2009.
[9] Thaha Jabir al-‘Alwani, Ushul Fiqh al-Islami: Source Methodology in Islamic Jurisprudence: Methodology for Research and Knowledge. http://www.usc.edu/dept/msa/law/alalwani…. Akses tanggal 30 Desember 2009.
[10] Abdul Karim Zaidān, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, … hlm. 12.
[11] ‘Abd al-Wahhāb Khalāf, ‘Ilmu Ushūl al-Fiqh, … hlm. 17
[12] Ibid,-
[13] Abdul Karim Zaidān, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, … hlm. 16
[14] Ibid,- hlm. 16-18.
[15] Abū Hamīd al-Ghazālī, Al-Mustashfā fī ilmi al-Ushūl, (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), hlm. 10-44.
[16] Paparan ini seluruhnya bersumber dari ‘Abd al-Wahhāb Khalāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, … hlm. 140-191.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar