KEBERSAMAAN DALAM SATU TUJUAN

Minggu, 19 Juni 2011

TALISAN PAK LISIN BAGIAN 2

Ijtihad
A. Pengertian
Ijtihad menurut bahasa adalah pencurahan segenap kesangupan untuk mendapatkan suatu urusan atau sesuatu perbuatan. sedangkan menurut istilah pencurahan segenap kesangupan untuk mendapat hukum syara’ amali dan dalil-dalil yang masih tafsili.
Dasar dasar yang dipergunakan diperbolehkan untuk berijtihad adalah surat An-Nisa’ ayat 59;
” Hai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan ta’attilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu ” , ulil Amri disini diartikan sebagai para Mujtahid.
B. Syarat-syarat melakukan Ijtihad
Tingkatan-tingkatan Mujtahid
1. Mujtahid fi Asyar’i : yaiti mujthid yang memiliki syarat-syarat secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai masalah hukum syara’, tampa terikat oleh sesuatu mazhab
2. Mujtahid Muntasib adalah mujtahid yang memilki syarat-syarat secar sempurna dan ia melakukan ijtihad dan ia mengikuti jalan-jalan yang telah ditetapkan oleh para imam mazhabnya ia hanya memengangi dasar-dasar yang ditetapkan oleh imam mazhabnya tetapi ia mungkin berselisih dalam masalah furu’ yang telah ditetapkan oleh imam mazhab.
3. Mujtahid fi al-Mazhab adalah Mujtahid yang mengikuti usul imam mazhabnya dan ia juga mengikuti dalam masalah furu’, akan tetapi ia mampu melakukan ijihad dalam masalah-masalah yang belum atau tidak ditetapkan oleh imam mazhab.
4. Mujtahid Murajih yaitu Mujtahid yang selalu terikat yang selalu terikat oleh usul-usul imamnya dalam masalah furu’ hanya saja ia mampu jika ada masalh yang dipersilisihkan dikalangan mazdhabnya , ia mampu melakukan tarjih (menetapkan dalil yang lebih kuat) untuk menentukan man pendapat yang lebih kuat atau man pendapat yng lebih utama untuk digunakan.
Definisi Istishhab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Jika seseorang mengatakan:

استصحبت الكتاب في سفري

maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1.      Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”[2]
2.      Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikanistishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”[3]
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhabadalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.[4]
Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”[5]
Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
Diantara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:
1.      Firman Allah:
ÔSTÎ Jð:‚ ñŸY–VK… Á :†WÚ ƒøYš`èRK… JðøVÖXM… †[TÚQW£W™SÚ uøVÕWÆ xyYƆVº ,-SãSÙWÅp¹WTÿ :‚PVMX… ÜKV… fûéRÑWTÿ ZàWTT`~TWÚ `èVK… †_ÚW †[TšéSÉpT©QWÚ `èVK… WØTT`™VÖ w£ÿX¥ÞYž
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.[6]
2.      Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3.      Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudahbersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.[7]
4.      Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
-         Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
-         Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.[8]
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1.      Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2.      Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal denganbara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.[9]
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.
Tarjih
Dengan melihat dalil-dalil yang dipaparkan oleh ketiga pendapat ini, nampak jelas bahwa dalil pendapat pertama sebenarnya jauh lebih kuat dari dua pendapat lainnya.Istishhab adalah sesuatu yang fitrawi dalam diri manusia, yaitu bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.
Karena itu para fuqaha pun menyepakati kaidah al-yaqin la yazulu bi al-syakk –termasuk yang mengingkari istishhab-, dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhab ini. Itulah sebabnya, para qadhi pun memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.[10]
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1.      Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas.[11] Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab:
Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[12]
Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti:
WéSå ÷Y¡PVÖ@… WÌVÕWž ØRÑVÖ †QWÚ Á X³`¤KKV‚ô@… †_TÅ~YfÙ–
“Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah:29)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.
Juga firman-Nya:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan padaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang memakannya kecuali jika ia berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi…” (al-An’am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum asalnya adalah mubah.
Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad.[13]
Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali.
Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram.[14]
Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).”(HR. Ibnu Majah dan Al-Daraquthni dengan sanad yang hasan).
2.      Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.[15]
Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.
Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.
3.      Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.[16]
Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.
Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.
Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhabijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.
Pengaruh Istishhab dalam Persoalan-persoalan Furu’iyah
Bila ditelusuri lebih jauh ke dalam pembahasan dan kajian Fiqih Islam, maka kita akan menemukan banyak sekali persoalan-persoalan yang dibahas oleh para fuqaha yang kemudian menjadikan istishhab sebagai salah satu pijakan atau landasan mereka dalam memegangi satu madzhab atau pendapat.
Berikut ini adalah beberapa contoh persoalan furu’iyah yang termasuk dalam kategori tersebut:
Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqud)
Orang yang hilang (al-mafqud) adalah orang yang menghilang dari keluarganya hingga beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati.
Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan jika ada kerabatnya yang meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah meninggal sehingga peninggalannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:
Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup –baik untuk urusan yang terkait dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain-. Karena itu semua hukum yang berlaku untuk orang yang masih hidup tetap diberlakukan padanya; hartanya tidak diwariskan, istrinya tidak boleh dinikahi, dan wadi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak boleh diambil. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.[17]
Hujjah mereka adalah bahwa orang yang hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Karena itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang mengubah hukum tersebut.
Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak dirinya sendiri. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan bahwa istishhab hanya dapat digunakan untuk mendukung hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan untuk menetapkan hukum baru.[18]
Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain selama 4 tahun sejak hilangnya. Jika 4 tahun telah berlalu, maka ia dianggap telah meninggal terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi mewarisi dari kerabatnya yang meninggal dan istrinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[19]
Alasan pembatasan jangka waktu 4 tahun adalah pengqiyasan kepada jika ia meninggalkan istrinya selama 4 tahun, dimana –menurut pendapat ini- jika ia meninggalkan istrinya selama itu, maka hakim dapat memisahkan keduanya dan istrinya dapat dinikahi setelah masa iddah sejak pemisahan itu berakhir.
Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 Jalan”
Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 jalan” (qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut? Apakah ia juga membatalkan thaharah seseorang atau tidak?
Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:
Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.
Hujjah mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu tidak membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu.[20]
Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Pijakannya adalah beberapa hadits seperti:
“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)
dan juga hadits:
“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.”(HR. Ibnu Majah)
Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil.[21]
Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[22]
Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu. Ma’dan berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)
Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijma’ dari mereka akan hal itu.
Thalaq Setelah Terjadinya Ila’
Salah satu masalah furu’iyah yang terkait dengan istishhab adalah jika seorang seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi setelah ila’ ini termasuk thalaq yang raj’i atau ba’in?
Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 pendapat dalam hal  ini:
Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah thalaq raj’i, baik thalaq dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim. Pendapat ini dipegangi Imama Malik dan al-Syafi’i.
Landasan mereka dalam hal ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika dijatuhkan pada sang istri yang telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka ia adalah thalaq raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan hukum asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan itu.[23]
Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah suami maka yang jatuh adalah thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Dan mungkin yang menjadi landasan mereka adalah bahwa jika penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti jika hakim memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana pendapat manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.[24]
Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ila’ adalah menjadi thalaqba’in secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu bertujuan untuk melepaskan sang wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud hanya dengan menjatuhkan thalaq raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka berkata: “Jika telah berlalu 4 bulan (sejak terjadinyaila’), maka sang istri tertalak dan ia lebih berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak secara ba’in.”[25]
Demikianlah beberapa masalah furu’iyah yang dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan ijtihad para fuqaha.
Penutup
Demikianlah uraian singkat tentang kedudukan istishhab secara umum sebagai salah satu pijakan dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istishhab sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatifistishhab dalam Fikih Islam.[26]
Ijtihad
A. Pengertian
Ijtihad menurut bahasa adalah pencurahan segenap kesangupan untuk mendapatkan suatu urusan atau sesuatu perbuatan. sedangkan menurut istilah pencurahan segenap kesangupan untuk mendapat hukum syara’ amali dan dalil-dalil yang masih tafsili.
Dasar dasar yang dipergunakan diperbolehkan untuk berijtihad adalah surat An-Nisa’ ayat 59;
” Hai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan ta’attilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu ” , ulil Amri disini diartikan sebagai para Mujtahid.
B. Syarat-syarat melakukan Ijtihad
Tingkatan-tingkatan Mujtahid
1. Mujtahid fi Asyar’i : yaiti mujthid yang memiliki syarat-syarat secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai masalah hukum syara’, tampa terikat oleh sesuatu mazhab
2. Mujtahid Muntasib adalah mujtahid yang memilki syarat-syarat secar sempurna dan ia melakukan ijtihad dan ia mengikuti jalan-jalan yang telah ditetapkan oleh para imam mazhabnya ia hanya memengangi dasar-dasar yang ditetapkan oleh imam mazhabnya tetapi ia mungkin berselisih dalam masalah furu’ yang telah ditetapkan oleh imam mazhab.
3. Mujtahid fi al-Mazhab adalah Mujtahid yang mengikuti usul imam mazhabnya dan ia juga mengikuti dalam masalah furu’, akan tetapi ia mampu melakukan ijihad dalam masalah-masalah yang belum atau tidak ditetapkan oleh imam mazhab.
4. Mujtahid Murajih yaitu Mujtahid yang selalu terikat yang selalu terikat oleh usul-usul imamnya dalam masalah furu’ hanya saja ia mampu jika ada masalh yang dipersilisihkan dikalangan mazdhabnya , ia mampu melakukan tarjih (menetapkan dalil yang lebih kuat) untuk menentukan man pendapat yang lebih kuat atau man pendapat yng lebih utama untuk digunakan.
Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta,1994
Definisi Istishhab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Jika seseorang mengatakan:

استصحبت الكتاب في سفري

maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1.      Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”[2]
2.      Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikanistishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”[3]
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhabadalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.[4]
Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”[5]
Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
Diantara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:
1.      Firman Allah:
ÔSTÎ Jð:‚ ñŸY–VK… Á :†WÚ ƒøYš`èRK… JðøVÖXM… †[TÚQW£W™SÚ uøVÕWÆ xyYƆVº ,-SãSÙWÅp¹WTÿ :‚PVMX… ÜKV… fûéRÑWTÿ ZàWTT`~TWÚ `èVK… †_ÚW †[TšéSÉpT©QWÚ `èVK… WØTT`™VÖ w£ÿX¥ÞYž
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.[6]
2.      Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3.      Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudahbersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.[7]
4.      Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
-         Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
-         Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.[8]
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1.      Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2.      Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal denganbara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.[9]
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.
Tarjih
Dengan melihat dalil-dalil yang dipaparkan oleh ketiga pendapat ini, nampak jelas bahwa dalil pendapat pertama sebenarnya jauh lebih kuat dari dua pendapat lainnya.Istishhab adalah sesuatu yang fitrawi dalam diri manusia, yaitu bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.
Karena itu para fuqaha pun menyepakati kaidah al-yaqin la yazulu bi al-syakk –termasuk yang mengingkari istishhab-, dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhab ini. Itulah sebabnya, para qadhi pun memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.[10]
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1.      Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas.[11] Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab:
Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[12]
Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti:
WéSå ÷Y¡PVÖ@… WÌVÕWž ØRÑVÖ †QWÚ Á X³`¤KKV‚ô@… †_TÅ~YfÙ–
“Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah:29)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.
Juga firman-Nya:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan padaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang memakannya kecuali jika ia berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi…” (al-An’am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum asalnya adalah mubah.
Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad.[13]
Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali.
Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram.[14]
Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).”(HR. Ibnu Majah dan Al-Daraquthni dengan sanad yang hasan).
2.      Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.[15]
Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.
Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.
3.      Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.[16]
Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.
Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.
Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhabijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.
Pengaruh Istishhab dalam Persoalan-persoalan Furu’iyah
Bila ditelusuri lebih jauh ke dalam pembahasan dan kajian Fiqih Islam, maka kita akan menemukan banyak sekali persoalan-persoalan yang dibahas oleh para fuqaha yang kemudian menjadikan istishhab sebagai salah satu pijakan atau landasan mereka dalam memegangi satu madzhab atau pendapat.
Berikut ini adalah beberapa contoh persoalan furu’iyah yang termasuk dalam kategori tersebut:
Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqud)
Orang yang hilang (al-mafqud) adalah orang yang menghilang dari keluarganya hingga beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati.
Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan jika ada kerabatnya yang meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah meninggal sehingga peninggalannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:
Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup –baik untuk urusan yang terkait dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain-. Karena itu semua hukum yang berlaku untuk orang yang masih hidup tetap diberlakukan padanya; hartanya tidak diwariskan, istrinya tidak boleh dinikahi, dan wadi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak boleh diambil. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.[17]
Hujjah mereka adalah bahwa orang yang hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Karena itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang mengubah hukum tersebut.
Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak dirinya sendiri. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan bahwa istishhab hanya dapat digunakan untuk mendukung hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan untuk menetapkan hukum baru.[18]
Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain selama 4 tahun sejak hilangnya. Jika 4 tahun telah berlalu, maka ia dianggap telah meninggal terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi mewarisi dari kerabatnya yang meninggal dan istrinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[19]
Alasan pembatasan jangka waktu 4 tahun adalah pengqiyasan kepada jika ia meninggalkan istrinya selama 4 tahun, dimana –menurut pendapat ini- jika ia meninggalkan istrinya selama itu, maka hakim dapat memisahkan keduanya dan istrinya dapat dinikahi setelah masa iddah sejak pemisahan itu berakhir.
Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 Jalan”
Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 jalan” (qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut? Apakah ia juga membatalkan thaharah seseorang atau tidak?
Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:
Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.
Hujjah mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu tidak membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu.[20]
Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Pijakannya adalah beberapa hadits seperti:
“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)
dan juga hadits:
“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.”(HR. Ibnu Majah)
Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil.[21]
Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[22]
Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu. Ma’dan berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)
Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijma’ dari mereka akan hal itu.
Thalaq Setelah Terjadinya Ila’
Salah satu masalah furu’iyah yang terkait dengan istishhab adalah jika seorang seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi setelah ila’ ini termasuk thalaq yang raj’i atau ba’in?
Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 pendapat dalam hal  ini:
Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah thalaq raj’i, baik thalaq dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim. Pendapat ini dipegangi Imama Malik dan al-Syafi’i.
Landasan mereka dalam hal ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika dijatuhkan pada sang istri yang telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka ia adalah thalaq raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan hukum asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan itu.[23]
Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah suami maka yang jatuh adalah thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Dan mungkin yang menjadi landasan mereka adalah bahwa jika penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti jika hakim memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana pendapat manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.[24]
Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ila’ adalah menjadi thalaqba’in secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu bertujuan untuk melepaskan sang wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud hanya dengan menjatuhkan thalaq raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka berkata: “Jika telah berlalu 4 bulan (sejak terjadinyaila’), maka sang istri tertalak dan ia lebih berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak secara ba’in.”[25]
Demikianlah beberapa masalah furu’iyah yang dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan ijtihad para fuqaha.
Penutup
Demikianlah uraian singkat tentang kedudukan istishhab secara umum sebagai salah satu pijakan dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istishhab sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatifistishhab dalam Fikih Islam.[26]
Urf
A.Pengertian
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi
B. Pembagian urf

1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
C. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan..
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
D. Kehujjahan ’urf

Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karean bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umam nas
Maslahah al mursalah atau istihlah
A. Pegertian

Istihlah menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar meelihara kemaslahatan.
Tiga macam kemaslahatan
1. Kemaslahatan yang ditegaskan dalam
al Qur’an atu as Sunah , kemaslahatan ini disepakati para ulama’ . contohnya Hifdu nafsi, hifdu mal , dn lain sebagainya .
2. Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara’ qath’i. Jumhur ulam meno,lak kemaslahantan ini kecuali NajmuddinAthufi dari Mazhab Maliki, sedngkan dlam bertentangkan dengan nash yang dhani para ulam berbeda pendapat dalam hal ini
3. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan dalam syara’, tetapi tidak ada dalili yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dalam mursalah, para ulam berbeda pendapat dalam hal , para ulam yng menolak mengjunakan istihsa juga menolak pengunaan maslahah mursalah.
B. Lapangan istihlah dan kehujjahanya
Istihlah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karean dalam hukum-hukum ibadah adalah ta’abudi, adapun selain dalam bidang ibadah dan selain ketentuan-ketentuan yang qat’i yang ditetapkan dalam bidang muamalah, dalam bidang ta’zir , pembuktian perkara-perkara yang lain, para ualam berbeda pendapat dalam hal ini
Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa istihlah adalah salah satu jalan menetapkan hukum yang tak ad nash da tak ada pula ijma’ terhadapnya. Menurut mereka Maslahah Mursalah yang tidak ditunjuki oleh Syara’ dan tjidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istimbat

Jumhur ulama mengangap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syari’ah , sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan pengunaan Istihlah sebagai dasar syar’i diantarnya
1. Kemaslahatan yang diharapokan manuia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatna manusia yang dapat diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu , atau bekuilah syari’at itu . padahal nyatalah tidak demikian
2. Kalau diamati benar-benar, para shahabat dan tabi’in serta para imam mujtahid, mereka telah menetapkan hukum-hukum berdasarkan kemaslahaan, seperti abu Bakar memerintahkn untuk menyususn Mushaf yang sebelumya terumpul.
Alasan para ulama yang menolak pengunaan Maslahah Mursalah sebagai dalil Syara’
Ulama yan menolak pengunaan Istihlah sebagai dalili syari’ antara lai Imam syafii , beliu menolak pengunaan istihlah dengan disamakan dengan istihsan , alasan para ulama dalam menolak aistihlah sebagai dalil syar’ antara lain :
1. Syari’at islam menpunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahatan manusia. Sedangkan syara’ tidak menbiarkan manusia dalam keadaan terlantar ftampa petunjuk. Pentunjuk itu itu berdasarkan ibarat nas. Kalu kemaslahatan yang tidak berpedoman

C. Syarat-syarat penggunaan Maslahah Mursalah
1. Al Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah., dalil-dalil kulli’ semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i yang qathi wurud dan dalalahnya.
2. kemaslahatan tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penilitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin menberkan manfaat atau menolak kemudharatan.
3. kemaslahatan itu bersifat umum
4. pelaksanaan tidak menimbulkan kesulitan yan tidak wajar
Dengan adanya cara berrijtihad dengan istihsan dan istihlah menyebabkan hukum islam akan dapat menampung hal-hal yang baru dengan tetap tidak akan kehilanagan indetitasnya sebagai hukum islam.
Al Istihsan


A. Pengertian


Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik sedangkan menurut istilah menurut ulama ushul adalah berpaling seorang mujtahid dari tutunanan qiyas yang jalli( Nyata) kepaa tutunnan qiyas yang Kaffiy(samar), atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum yang istisnaiy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan mencela akalnya dan ada yang berpaling dari padanya. B. Macam-macam istihsan


1. Menurut sandaranya


a. Ulama Hanfiyah menbagi menjadi empat macam.
i. Istihsan yang sandaranya Qiyas Khafi
ii. Istihsan yang sandaranya Nash
iii. Istihsan yang sandaranya Urf’
iv. Istihsan yang sandaranya Darurat
b. Ulam Malikiyah menbagi menjadi tiga macam
i. Istihsa yang sandaranya Urf’
ii. Istisan yang sandaranya Maslahat
iii. Istihsan yang sandaranya Raf’ul Haraj
2. Menurut perpindahn hukumnya
a. Istihsan dari qiyas jally ke qiyas Kahfy.
b. Istihsan dari nas hukum yan umum ke hukum yan khusus
c. Istihasan dai hukum kully ke hukum istisna’ C. Kehujjahan istihsan


Jumhur ulama Malikiyah dan hanabillah menetapkan bahwa istihsan adalah suatu dalil yang syari’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesutu yang telah ditetapkan qiyas atau keumuman nas
Kebolehan mengunakan istihsan sebagai hujjah, para ulama berbeda pendapat ada yang menyetujui ada yang tidak, akan tetapi perselisihan mereka terletak pada perbedaan mereka dalam menberi batasan terhadap istihsan itu sendiri, jadi bukan bukan oprasionalmnya dalam meetapkan hukum berdasarkn istihsan. Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam

A. Pengertian Sadd Adz-zariah

Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan.
Dengan demikian sadd adzariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau adzariah (yang dilarang), Fath Fiqh (Zikrul Hakim, Jakarta Timur, 2004) (yang dianjurkan). Pengertian sadd-adzariah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ
Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahtan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Asy-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinyaboleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur keman faatannya.
B. Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
C. Kehujjahan Sadd Adz- Dzariah
Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil syara’ ulama melikiyah dan hanafiah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah dalam surat An An’am:
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْاالله عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ…. ﴿الانعم 108﴾
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)
Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang musryikin atau tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki Tuhan Allah SWT.
Dan firmannya lagi:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَابَقَوْلُوْا رَاعِنَا وَقُلُوْا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا……
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah.” …..
Tuhan melarang kum mukmin berkata kepada Rasulullah SAW,raa’ina. Lantaran orang yahudi menjadi kata-kata itu sebagai meda untuk mengejek Rasulullah SAW. Dengan mengertikan kata-kata itu menurut pengertian bahasa mereka.
Sumber dari hadist antara lain, sabdaRasulullah:

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya,”wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu bapak nya. Rasulullah SAW manjawab”seseoang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki ibunya.(HR. bukhori dan Muslim).
Kemudian larangan kepada orang yang mempiutangkan hartanya menerima hadahdari orang yang brhutang untuk menghindarkan terjerumus dalamperaktek riba, mengambil hadiah tersebut sebagai ganti atas kelebihan. Dalam kauss lain, Nabi, melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya(HR. Bukhori dan Muslim) . Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alas an agar segera memperoleh harta warisan.
Dari beberapa nash yang telah dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlaran, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan.
Sementara dikalangna Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syiah hanay menerima Sadd adz-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidakmenjadikannya sebagaiii dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi’I membolehkan seseorang yang karena uzur, seperti sakitdan musafir meninggalkan sholat zuhur, namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan sholat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan sholat jum’at. Begitu pula dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di tempat umum uuntuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat Imam Syafi’I ini dirumuskan atas dasar perinsip Sadd adz-Dzariah.
Menurut Husain Hamid , salah seoang guru besar Ushul Fiqh fakultas hokum Kairo, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima Sadd adz-Dzariah apabila kemafsadatan yang akan munscul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhan) akan terjadi.
Dalam memandang dzariah, aa dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul:
1. Motivasi seseorang Alma melakukansesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
2. Dari segi dampak (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maki sembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu dilarang.
Perbedaan antara Sydfi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah dan pihak lain dalam berhujjah dengan Sadd adz-Dzariah adalah dalam masalah niat dan akad. Menturut ulama Syafi’iah dan Hanafiyah oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukum maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun maalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:
“patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.
Akan tetapi, jika yang tujuan orang yang berakad dapat dtangkap dari bebrapa indicator yang ada, maka berlaku kaidah:
“yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna lafadz dan bentuk formal (ucapan).
Sedangakan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetappi ada perhitungan a ntara Alah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanya Allah saja, apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’ maka akadnya sah, namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid namun tidak ada efeknya hukumnya
Golongan zhaniniyah tidak mengakui kehujahn Sadd adz-Dzariah sebagai salah atu dalil dalam menetapkan huku sayara’ dal itu sesuai dengan perinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiah saja dan tidak menerima campur tangan logika masalah hukum.
D. Fath Adz-Dzariah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa Dzariyah itu adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah. Misalnya meniggalkan segalaaktivits untuk melaksanakan shalat Jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juahili yang menyatakan bahwa pebuatan seperti di atas tiak termasukkepada Dzariah, tetap dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang huumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib, sesuai dengan kaidah:
Apabila suatu perbutan bergantung pada sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain itu pun wajib.
Begitu pula segala jalan yang menunjuk kepada sesuatu yang haram maka sesuatu itupun haram sesuai dengan kaidah.
Segala jalan menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram.
Misalnya: seseorang laki-laki haram berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihatnya, karena hal itu akan memabawa perbuatan haram yaitu zina, menurut Jumhur, melihat aurat dan berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrim ini disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-humah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hokum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzariah. Ulama malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fath Dzariah, sedangkan ulama Syfi’iyah dan Hanafiyah dan sebagian Malikiyah menyebutkannya sebagai muqaddima, tidak termasuk sebagai akidah dzariah, namun nereka seapkat bahwa dal itu bias dijadikan sebagai hujjah alam menetapkan hukum.

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
2) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya.
3) Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan.
4) Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan
1) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
2) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
3) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan.
4) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.

Syar’u Man Qablana Sebagai Dalil Syara’

Sudah aklum di hadapan kita semua bahwa Muhammad Bin Abdullah adalah sosok fiqur yang Ma’shum(terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah terutus), karena beliau adalah seorang Nabi, Nabi terakhir yang diutus kepada semua umat manusia dilapisan dunia ini. Beliau juga sosok yang rajin dan taat dalam beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, lingkungan orang-orang Jahiliyah yang suka minuman keras, dan main perempuan. Namun terdapat keganjalan dibenak kita terkait dengan peribadatan beliau. Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya, sebelum beliau diutus? Kalau benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh beliau?.
[1]Terkait dengan pertanyaan di atas ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syariat nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syariat yang diikuti beliau tersebut :
· Syariat Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
· Syariat Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah(شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا)
· Syariat Nabi Ibrahim AS dengan dua firman Allah :
إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي”
“أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا”
· Syariat Nabi Musa AS.
· Syariat Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad. Dan dari sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS.ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi.Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy[2] mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.
Akhirnya Allah mengutus beliau tahun 611 M dengan membekalinya al-Qur’an, sebagai kitab panduan bersyariat bagi beliau dan umatnya(Umat Islam). Allah juga menjadikan setiap perkataan, pekerjaan dan ketetepan beliau sebagai dasar dalam bersyariat dengan melegalkan semuanya sebagai Wahyu, yang kita kenal dengan al-Sunnah. Dan bila kita mau menengok al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri maka kita akan banyak menjumpai di dalamnya hukum-hukum syariah umat terdahulu yang dikenal dalam Istilah Ushul Fiqh sebagai”Syar’u Man Qablana” yang akan menjadi sasaran diskusi kita kali ini.
Difinisi Syar’u Man Qablana.
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyaritkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.[3]
Macam-Macam Syar’u Man Qablana
[4]Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
1. Dinasakh syariat kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana) :[5]
· Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
· Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :[6]
1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukanSujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.
2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku”[7] yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.[8]
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang menyocoki dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi.
Demikianlah uraian tentang pembahasan Syar’u Man Qablana, semuaga kita dapat mengambil manfaatnya dan dapat memperaktekannya dalam kehidupan yang semakin berkembang ini. Wallahu A’lam Bi al-Shwab.

Urf
A.Pengertian
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi
B. Pembagian urf

1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
C. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan..
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
D. Kehujjahan ’urf

Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karean bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umam nas
Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta
Maslahah al mursalah atau istihlah
A. Pegertian

Istihlah menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar meelihara kemaslahatan.
Tiga macam kemaslahatan
1. Kemaslahatan yang ditegaskan dalam
al Qur’an atu as Sunah , kemaslahatan ini disepakati para ulama’ . contohnya Hifdu nafsi, hifdu mal , dn lain sebagainya .
2. Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara’ qath’i. Jumhur ulam meno,lak kemaslahantan ini kecuali NajmuddinAthufi dari Mazhab Maliki, sedngkan dlam bertentangkan dengan nash yang dhani para ulam berbeda pendapat dalam hal ini
3. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan dalam syara’, tetapi tidak ada dalili yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dalam mursalah, para ulam berbeda pendapat dalam hal , para ulam yng menolak mengjunakan istihsa juga menolak pengunaan maslahah mursalah.
B. Lapangan istihlah dan kehujjahanya
Istihlah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karean dalam hukum-hukum ibadah adalah ta’abudi, adapun selain dalam bidang ibadah dan selain ketentuan-ketentuan yang qat’i yang ditetapkan dalam bidang muamalah, dalam bidang ta’zir , pembuktian perkara-perkara yang lain, para ualam berbeda pendapat dalam hal ini
Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa istihlah adalah salah satu jalan menetapkan hukum yang tak ad nash da tak ada pula ijma’ terhadapnya. Menurut mereka Maslahah Mursalah yang tidak ditunjuki oleh Syara’ dan tjidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istimbat

Jumhur ulama mengangap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syari’ah , sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan pengunaan Istihlah sebagai dasar syar’i diantarnya
1. Kemaslahatan yang diharapokan manuia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatna manusia yang dapat diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu , atau bekuilah syari’at itu . padahal nyatalah tidak demikian
2. Kalau diamati benar-benar, para shahabat dan tabi’in serta para imam mujtahid, mereka telah menetapkan hukum-hukum berdasarkan kemaslahaan, seperti abu Bakar memerintahkn untuk menyususn Mushaf yang sebelumya terumpul.
Alasan para ulama yang menolak pengunaan Maslahah Mursalah sebagai dalil Syara’
Ulama yan menolak pengunaan Istihlah sebagai dalili syari’ antara lai Imam syafii , beliu menolak pengunaan istihlah dengan disamakan dengan istihsan , alasan para ulama dalam menolak aistihlah sebagai dalil syar’ antara lain :
1. Syari’at islam menpunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahatan manusia. Sedangkan syara’ tidak menbiarkan manusia dalam keadaan terlantar ftampa petunjuk. Pentunjuk itu itu berdasarkan ibarat nas. Kalu kemaslahatan yang tidak berpedoman

C. Syarat-syarat penggunaan Maslahah Mursalah
1. Al Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah., dalil-dalil kulli’ semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i yang qathi wurud dan dalalahnya.
2. kemaslahatan tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penilitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin menberkan manfaat atau menolak kemudharatan.
3. kemaslahatan itu bersifat umum
4. pelaksanaan tidak menimbulkan kesulitan yan tidak wajar
Dengan adanya cara berrijtihad dengan istihsan dan istihlah menyebabkan hukum islam akan dapat menampung hal-hal yang baru dengan tetap tidak akan kehilanagan indetitasnya sebagai hukum islam.

Al Istihsan


A. Pengertian


Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik sedangkan menurut istilah menurut ulama ushul adalah berpaling seorang mujtahid dari tutunanan qiyas yang jalli( Nyata) kepaa tutunnan qiyas yang Kaffiy(samar), atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum yang istisnaiy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan mencela akalnya dan ada yang berpaling dari padanya. B. Macam-macam istihsan


1. Menurut sandaranya


a. Ulama Hanfiyah menbagi menjadi empat macam.
i. Istihsan yang sandaranya Qiyas Khafi
ii. Istihsan yang sandaranya Nash
iii. Istihsan yang sandaranya Urf’
iv. Istihsan yang sandaranya Darurat
b. Ulam Malikiyah menbagi menjadi tiga macam
i. Istihsa yang sandaranya Urf’
ii. Istisan yang sandaranya Maslahat
iii. Istihsan yang sandaranya Raf’ul Haraj
2. Menurut perpindahn hukumnya
a. Istihsan dari qiyas jally ke qiyas Kahfy.
b. Istihsan dari nas hukum yan umum ke hukum yan khusus
c. Istihasan dai hukum kully ke hukum istisna’ C. Kehujjahan istihsan


Jumhur ulama Malikiyah dan hanabillah menetapkan bahwa istihsan adalah suatu dalil yang syari’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesutu yang telah ditetapkan qiyas atau keumuman nas
Kebolehan mengunakan istihsan sebagai hujjah, para ulama berbeda pendapat ada yang menyetujui ada yang tidak, akan tetapi perselisihan mereka terletak pada perbedaan mereka dalam menberi batasan terhadap istihsan itu sendiri, jadi bukan bukan oprasionalmnya dalam meetapkan hukum berdasarkn istihsan. Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam

A. Pengertian Sadd Adz-zariah

Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan.
Dengan demikian sadd adzariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau adzariah (yang dilarang), Fath Fiqh (Zikrul Hakim, Jakarta Timur, 2004) (yang dianjurkan). Pengertian sadd-adzariah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ
Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahtan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Asy-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinyaboleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur keman faatannya.
B. Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
C. Kehujjahan Sadd Adz- Dzariah
Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil syara’ ulama melikiyah dan hanafiah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah dalam surat An An’am:
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْاالله عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ…. ﴿الانعم 108﴾
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)
Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang musryikin atau tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki Tuhan Allah SWT.
Dan firmannya lagi:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَابَقَوْلُوْا رَاعِنَا وَقُلُوْا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا……
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah.” …..
Tuhan melarang kum mukmin berkata kepada Rasulullah SAW,raa’ina. Lantaran orang yahudi menjadi kata-kata itu sebagai meda untuk mengejek Rasulullah SAW. Dengan mengertikan kata-kata itu menurut pengertian bahasa mereka.
Sumber dari hadist antara lain, sabdaRasulullah:

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya,”wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu bapak nya. Rasulullah SAW manjawab”seseoang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki ibunya.(HR. bukhori dan Muslim).
Kemudian larangan kepada orang yang mempiutangkan hartanya menerima hadahdari orang yang brhutang untuk menghindarkan terjerumus dalamperaktek riba, mengambil hadiah tersebut sebagai ganti atas kelebihan. Dalam kauss lain, Nabi, melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya(HR. Bukhori dan Muslim) . Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alas an agar segera memperoleh harta warisan.
Dari beberapa nash yang telah dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlaran, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan.
Sementara dikalangna Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syiah hanay menerima Sadd adz-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidakmenjadikannya sebagaiii dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi’I membolehkan seseorang yang karena uzur, seperti sakitdan musafir meninggalkan sholat zuhur, namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan sholat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan sholat jum’at. Begitu pula dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di tempat umum uuntuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat Imam Syafi’I ini dirumuskan atas dasar perinsip Sadd adz-Dzariah.
Menurut Husain Hamid , salah seoang guru besar Ushul Fiqh fakultas hokum Kairo, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima Sadd adz-Dzariah apabila kemafsadatan yang akan munscul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhan) akan terjadi.
Dalam memandang dzariah, aa dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul:
1. Motivasi seseorang Alma melakukansesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
2. Dari segi dampak (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maki sembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu dilarang.
Perbedaan antara Sydfi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah dan pihak lain dalam berhujjah dengan Sadd adz-Dzariah adalah dalam masalah niat dan akad. Menturut ulama Syafi’iah dan Hanafiyah oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukum maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun maalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:
“patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.
Akan tetapi, jika yang tujuan orang yang berakad dapat dtangkap dari bebrapa indicator yang ada, maka berlaku kaidah:
“yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna lafadz dan bentuk formal (ucapan).
Sedangakan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetappi ada perhitungan a ntara Alah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanya Allah saja, apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’ maka akadnya sah, namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid namun tidak ada efeknya hukumnya
Golongan zhaniniyah tidak mengakui kehujahn Sadd adz-Dzariah sebagai salah atu dalil dalam menetapkan huku sayara’ dal itu sesuai dengan perinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiah saja dan tidak menerima campur tangan logika masalah hukum.
D. Fath Adz-Dzariah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa Dzariyah itu adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah. Misalnya meniggalkan segalaaktivits untuk melaksanakan shalat Jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juahili yang menyatakan bahwa pebuatan seperti di atas tiak termasukkepada Dzariah, tetap dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang huumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib, sesuai dengan kaidah:
Apabila suatu perbutan bergantung pada sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain itu pun wajib.
Begitu pula segala jalan yang menunjuk kepada sesuatu yang haram maka sesuatu itupun haram sesuai dengan kaidah.
Segala jalan menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram.
Misalnya: seseorang laki-laki haram berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihatnya, karena hal itu akan memabawa perbuatan haram yaitu zina, menurut Jumhur, melihat aurat dan berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrim ini disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-humah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hokum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzariah. Ulama malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fath Dzariah, sedangkan ulama Syfi’iyah dan Hanafiyah dan sebagian Malikiyah menyebutkannya sebagai muqaddima, tidak termasuk sebagai akidah dzariah, namun nereka seapkat bahwa dal itu bias dijadikan sebagai hujjah alam menetapkan hukum.

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
2) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya.
3) Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan.
4) Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan
1) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
2) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
3) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan.
4) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.

Syar’u Man Qablana Sebagai Dalil Syara’

Sudah aklum di hadapan kita semua bahwa Muhammad Bin Abdullah adalah sosok fiqur yang Ma’shum(terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah terutus), karena beliau adalah seorang Nabi, Nabi terakhir yang diutus kepada semua umat manusia dilapisan dunia ini. Beliau juga sosok yang rajin dan taat dalam beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, lingkungan orang-orang Jahiliyah yang suka minuman keras, dan main perempuan. Namun terdapat keganjalan dibenak kita terkait dengan peribadatan beliau. Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya, sebelum beliau diutus? Kalau benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh beliau?.
[1]Terkait dengan pertanyaan di atas ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syariat nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syariat yang diikuti beliau tersebut :
· Syariat Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
· Syariat Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah(شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا)
· Syariat Nabi Ibrahim AS dengan dua firman Allah :
إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي”
“أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا”
· Syariat Nabi Musa AS.
· Syariat Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad. Dan dari sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS.ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi.Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy[2] mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.
Akhirnya Allah mengutus beliau tahun 611 M dengan membekalinya al-Qur’an, sebagai kitab panduan bersyariat bagi beliau dan umatnya(Umat Islam). Allah juga menjadikan setiap perkataan, pekerjaan dan ketetepan beliau sebagai dasar dalam bersyariat dengan melegalkan semuanya sebagai Wahyu, yang kita kenal dengan al-Sunnah. Dan bila kita mau menengok al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri maka kita akan banyak menjumpai di dalamnya hukum-hukum syariah umat terdahulu yang dikenal dalam Istilah Ushul Fiqh sebagai”Syar’u Man Qablana” yang akan menjadi sasaran diskusi kita kali ini.
Difinisi Syar’u Man Qablana.
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyaritkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.[3]
Macam-Macam Syar’u Man Qablana
[4]Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
1. Dinasakh syariat kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana) :[5]
· Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
· Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :[6]
1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukanSujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.
2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku”[7] yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.[8]
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang menyocoki dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi.
Demikianlah uraian tentang pembahasan Syar’u Man Qablana, semuaga kita dapat mengambil manfaatnya dan dapat memperaktekannya dalam kehidupan yang semakin berkembang ini. Wallahu A’lam Bi al-Shwab.

Daftar Pustaka

1. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (al-Hafid). Dar al-Salam. Kairo. Cetakan pertama. 1416 H.
2. Al-Hidayah wa Syuruhuha. Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi Bakr al-Marghinany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1418 H.
3. Ilm Ushul al-Fiqh. ‘Abd al-Wahhab Khallaf. Dar al-Qalam. Kuwait. Cetakan keempat belas. 1401 H.
4. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
5. Al-Istidzkar al-Jami’ li Madzahib Fuqaha’ al-Amshar wa ‘Ulama al-Aqthar Fima Tadhammanahu al-Muwaththa’ min Ma’ani al-Ra’y wa al-Atsar. Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdillah ibn ‘Abd al-Barr al-Andalusy. Tahqiq: DR. ‘Abd al-Mu’thy Amin Qal’ajy. Dar Qutaibah. Damaskus. Cetakan Kesepuluh. 1413 H.
6. Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn ‘Abd al-‘Azis ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut. 1394 H.
7. Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.
8. Al-Majmu’ Syarah al- Muhadzdzab. Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy. Tahqiq: Muhammad Najib al-Muthi’iy. Maktabah al-Irsyad. Jeddah. T.t.
9. Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.t.
10. Al-Mustashfa  fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.
11. Nihayah al-Saul fi Syarh Minhaj al-Ushul. ‘Abd al-Rahim ibn Hasan al-Syafi’i al-Asnawy. Al-Mathba’ah al-Salafiyah. Kairo. T.t.
12. Syarh Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul. Syihab al-Din Ahmad ibn Idris al-Qarafy. Tahqiq: Thaha ‘Abd al-Ra’uf. Dar al-Fikr. Beirut. Cetakan pertama. 1393 H.
13. Taisir al-Tahrir. Muhammad Amir Badsyah. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
14. Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
15. Ushul Fiqh. Prof. DR. H. Amir Syarifuddin. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. Cetakan ketiga. 1426 H.
16. Ushul Fiqh al-Muyassar. DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415 H.
17. Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
18. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
19. Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta
20. Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 389
21. Imam al-Haramain, Attalkhish Fi Ushuli al-Fiqh, Cet 1, Hal, 256,257
22. Duktur Wahabah al-Zuaily, al-Wajiz Fi Ushuli al-Fiqh, Hal, 101
23. Abul Wahhab, Ilmu Ushulu al-Fiqh, Cet tahun 2003, Hal, 105
24. Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 843
25. Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 844
26. Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 389
27. Imam al-Haramain, Attalkhish Fi Ushuli al-Fiqh, Cet 1, Hal, 256,257
28. Duktur Wahabah al-Zuaily, al-Wajiz Fi Ushuli al-Fiqh, Hal, 101
29. Abul Wahhab, Ilmu Ushulu al-Fiqh, Cet tahun 2003, Hal, 105
30. Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 843
31. Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 844

Tidak ada komentar:

Posting Komentar