KEBERSAMAAN DALAM SATU TUJUAN

Sabtu, 12 Februari 2011

ILMU-ILMU AL-QUR’AN
A. PENGERTIAN ‘ULUM AL QUR’AN
Secara lughowi kata ulumul qur’an merupakan susunan idlofah yang terdiri dari kata ‘Ulum dan kata Al Qur’an. Ulumu Al-Qur’an secara bahasa dapat dimaknai “ Ilmu-ilmu Al-Qur’an”. Term ‘ulum merupakan bentuk jamak dari kata “ ‘al-‘ilm ” ( ilmu ), merupakan lawan dari kata al-jahl (bodoh). Term al-‘ilm semakna dengan kata al-fahmu dan kata al-ma’rifah. Namun makna yang dikehendaki disini adalah “ Pengetahuan terhadap sesuatu dengan sebenar-benarnya atau dengan dilandasi keyakinan”. Kemudian secara mutlaq diartikan sebagai ilmu yang membahas suatu permasalahan dan pokok-pokoknya yang berkaitan dengan satu bidang tertentu, seperti ilmu nahwu, ilmu tafsir, ilmu falak, Ilmu Al-Qur’an dan sebagainya.
Secara istilah Al-Qur’an biasa dimaknai sebagai kalam ( firman ) Allah yang sekaligus merupakan mukjiyat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada ummat manusia dengan al tawatur ( lansung dari Nabi Muhammad, SAW kepada orang banyak )yang kemudian termaktub dalam bentuk mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas dan dikategorikan ibadah bagi orang yang membacanya.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam tertinggi. Sejak masa Nabi Muhammad SAW, sampai qurun kekurun selanjutnya Al-qur’an selalu dipelajari dengan tujuan memahami isi kandungan ajarannya. Pada masa tabi’ al-tabi’in, para ulama’ masa itu berhasil merumuskan disiplin ilmu keagamaan yang bersumber dari Al-Qur’an. Karena perkembangan disiplin ilmu Al-Qur’an semakin berkembang hingga sampai disiplin ilmu keagamaan yang berdiri sendiri seperti ilmu fikih dan ilmu kalam.
Secara terminologis, para ulama’ mendifinisikan ‘ulum Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Muhammad Ali As Shabuni dalam kitab Al-Tibyan di ‘Ulum Al-Qur’an mendifinisikan sebagai berikut :
” Ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an, baik dari segi nusul, pengumpulan, trtib susunannya, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih serta ilmu-ilmu lainnya yang terkait dengan Al-Qur’an”
2. Al-Zarqani dalam kitab Manabil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an mendifinisikan sebagai berikut :
“ Pembahasan-pembahasan yang berkaitan denan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukjizatnya, nasikh mansukhnya dan penolakan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan-keraguan terhadap Al-Qur’an dan lain sebagainya”
dari difinisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ‘Ulum Al-Qur’an adalah suatu ilmu yang mencakup semua ilmu yang ada berhubungannya dengan Al-Qur’an
B. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ‘ULUM AL-QUR’AN
Dalam difinisi diatas diketahui bahwa cakupan ruang lingkup ‘Ulum Al-Qur’an sangat luas, yaitu segala segi pembahasan yang ada kaitannya dengan Al-Qur'an, maka dapat dimasukkan dalam ‘Ulum Al-Qur'an. Sedemikian luasnya ruang lingkup kajian ‘Ulum Al-Qur’an sehingga sebagian ulamak menganggap bahwa kajiannya tidak terbatas.
Cabang-cabang ‘Ulum Al-Qur’an yang telah disepakati ulama’ antaralian :
1. Ilmu tentang sebab-sebab turunnya Al-Qur’an
2. Ilmu tentang kemu’jizatan Al-Qur’an
3. Ilmu tentang ayat-ayat yang menghapus (hukum) ayat lain dan ayat-ayat yang dihapus hukumnya oleh ayat lain;
4. Ilmu tentang hukum-hukum Al-Qur’an
5. Ilmu tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur’an
6. Ilmu tentang Ta’wil Al-Qur’an
7. Ilmu tentang ayat-ayat yang jelas dan samar
8. Ilmu tentang Sejarah Al-Qur’an, pembukuannya, salinannya, penulis-penulisnya, dan bentuk tulisannya,
9. Ilmu tentang Tata Bahsa Al-Qur’an
10. Ilmu tentang bacaan-bacaan Al-Qur’an
11. Ilmu tentang sistematika Al-Qur’an


C. SEJARAH PERKEMBANGAN ‘ULUM AL-QUR’AN
1. Ilmu-ilmu Al-Qur’an pada abad I dan II H.
Pada masa Nabi Muhammad, SAW., masa pemerintahan Abu Bakar, dan masa pemerintahan Umar Al-Qur’an belum dibukukan, hal tersebut terjadi karena pada masa itu kalangan para sahabat belum memerlukannya. Pada umumnya kalangan Sahabat pada waktu itu mempunyai kemampuan memahami Al-Qur’an dengan baik, mengingat mereka adalah murid-murid langsung Rosulullah, disamping bahwa bahasa Al-Qur'an adalah bahasa mereka sendiri dan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur'an.
Ilmu-ilmu Al-Qur’an dimasa Rosulullah dan kedua Kholifah tersebut diperlihara dengan bentuk periwayatan, berjalan dengan musyafahah, yakni dari mulut ke mulut. Namun pada saat terjadi peperangan antara kaum muslimin dan kaum murtadin yang dinamanakan perang Yamamah banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan itu, yaitu sekitar 500 orang hafidz Al-Qur'an. Melihat hal tersebut Umar bin khotob kahawatir akan lenyapnya Al-Qur'an, kemudian beliau mendesak Kholifah Abu Bakar untuk segera mengumpulkan Al-Qur'an dengan sahabat Zait bin Tsabit sebagai ketua panitia.
Pada pemerintahan Utsman bin Affan Al-Qur'an mulai dibukukan. Hal tersebut diawali dengan meluasnya peneirntahan islam, yaitu sampai ke daerah Mesir, Syiria, Irak dan Persia. Karena adanya daerah yang berbeda-beda maka munculah perselisihan mengenahi pembacaan Al-Qur’an. Kemudian Kholifah Utsman mengambil keputusan untuk menyeragamkan tulisan Al-Qur'an dan menjaga persatuan umat Islam.
Kholifah Utsman memerintahkan kepada seluruh ummat Islam untuk berpegang pada Mushaf yang telah disegamkan itu. Kemudian mushaf itu di gandakan dan sebarkan ke beberapa daerah pemerintahan islam yang lain dan yang satu disimpan oleh Kholifah Utsman dan dijadikan Mushhaf Al Imam. Tidakan beliau ini merupakan peletak batu pertama bagi berkembang dan tumbuhnya Ilmu Al-Qur’an yang kemudian dinamai Ilmu Rasmil Qur’an atau Ilmul Rasmil Utsmany.
Pada pemerintahan Ali, kalangan umat islam yang berasal dari daerah non Arab banyak yang tidak menguasai bahasa Arab, maka banyak terjadi kesalahan membaca Al-Qur’an. Untuk memudahkan membaca Al-Qur'an bin Abu Tholib memerintahkan kepada Abul Aswad Ad-Dauly ( Wafat 691 H. ) untuk menyusun kaidah-kaidah Bahasa Arab untuk menjaga keselamatan Al-Qur’an dari perubahan-perubahan bahasa dan memberi tanda syakal harokat untuk memudahkan membaca bagi non Arab. Tindakan Khalifah Ali RA. Ini merupakan lahirnya Ilmu Nahwu dan I’robil Qur’an.
Sejarah menjadi saksi, bahwa selain kedua Khalifah tersebut masih banyak ulama’-ulama’ dikemudian hari yang menjadi perintis lahirnya ilmu-ilmu Al-Qur'an yang antara lain asbab al-nuzul, al makky wa al madany, al nasikh wa al mansukh, ghorib al Qur’an, al Tasir dan lain sebagainya.
Tokoh-tokoh perintis lahirnya ilmu-ilmu Al-Qur'an itu ialah:
1. Dari kalangan sahabat :
 Khulafaur Rasyidin
 Ibnu Abbas
 Ibnu Mas’ud
 Zaid bin Tsabit
 Ubay bin Ka’ab
 Abu Musa Al Asy ‘Ari
 Abdullah bin Zubair
2. Dari kalangan Tabi’iin :
 Mujahid
 ‘Atha’ bin Abi Rabah
 Ikrima Maula Ibnu Abbas
 Qatadah
 Al-Hasan Al Bisri
 Said bin Zubair
 Zaid bin Aslam
3. Dari kalangan Tabi’ al-tabiin :
 Malik bin Anas
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang dimulai sejak permulaan abad II H. para ulama’ memberikan perioritas menyusun tafsir, sebab tafsir adalah ummul Ulum al-Qur’aniyyah ( Induik ilmu-ilmu Al-Qur'an ).
Diantara Ulama’-ulama’ yang menyusun ilmu tafsir adalah :
1. Syu’bah bin Al-Hajaj ( Wafat tahun 160 H )
2. Sufyan bin Uyainah ( Wafat tahun 198 H )
3. Waki’ bin al Jonah ( Wafat tahun 197 H )
dari kesemuanya umumnya berisikan aqwal al sababah dan pendapat-pendapat dari kalangan tabiin. Diantara tafsir-tafsir yang ada pada masa itu tafsir At-Thabary diakui sebagai kitab tafsir yang terbesar.
2. ILMU-ILMU AL-QUR’AN PADA ABAD III DAN IV H.
Pada abad III mucul ulama’-ulama’ perintis ilmu-ilmu Al-Qur’an dan munculah berbagai disiplin ilmu yang antara lain :
1. Ali bin Al-Madani ( Wafat 234 H ) menyusun kitab : Ilm Asbab Al Nuzul
2. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam ( wafat 224 H ) menyusun kitab : Ilm al-Nasikh wa al-Jmansukh, Ilm Al Qori’at dan Ilmu Al Fadhail al-Qur’an
3. Muhammad bin Ayyub Al-Dhirris ( Wafat 294 H ) menyusun kitab : Al Ilm Al Makky wa al Madaniyy.
4. Muhamad bin Kholaf ibnu Al Marzuban ( wafat 309 H ) menyusun kitab : al Hawi fi Ulum Al-Qur'an ( 27 Juz ).
Pada masa abad IV mulai disusun Ilmu Ghorib Al-Qur’an dan beberapa kitab Ulum Al-Qur’an yang telah mempergunakan istilah ulum Al-Qur'an . diantara ulama’-ulama’ dan ilmu-ilmu tersebut adalah :
1. Abu Bakar As Sijistan ( Wafat 330 H ) – Ilm al ghorib Al-Qur'an
2. Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim al-Abary ( Wafat 328 H ) – ‘Ajaib ‘Ulum Al-Qur'an di Kitab ini beliau menjelaskan fadhail al qur’an, beliau juga menerangkan Al-Qur'an di turunkan atas tujuh huruf ( sab’ah ahruf ), jumlah bilangan surat, ayat dan kalimat dalam Al-Qur'an.
3. Abu Hasan Al Asyary ( Wafat 324 H ) – Al Mukhtazan fi Ulum Al-Qur'an
4. Abu Muhammad Al-Qashshab Muhammad bin Ali Al-Khukary ( Wafat 360 H ) – Nuqath Al-Qur'an al Dalatu ‘ala al Bayan fi anwa’ al Ulum wa al Ahkam al Munbiati ‘an ikhtilafi al anam.
5. Muhammad bin Ali al Adwafy ( Wafat 388 H ) – al Istiqna’ fi Ulum Al-Qur'an ( 20 Jilid )
3. ILMU-ILMU AL-QUR’AN PADA ABAD V DAN VI H.
Pada masa abad V mulai disusun Ilmu I’rab Al-Qur'an dalam suatu kitab. Ulama’ yang berjasa mengembangkan ilmu Al-Qur'an pada abad V ini antara lain:
1. Ali Ibrahim bin Said al-Khufy ( Wafat 430 H ) mengarang kitab Al Burhan fi Ulum Al Qur’an kitab ini merupakan usaha dan karya ilmiah seorang ulama’ yang sangat besar, karena kitab ini selain menafsirkan Al-Qur’an seluruhnya atau dapat dikatakan lengkap juga menerangkan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang ada hubungannya dengan ayat-ayat yang ditafsirkan.
2. Abu Amr al-Dany ( Wafat 444 H ) mengarang kitab al Taisir fi al-Qiraati al Sab’ dan kitab al Muhkam fi al Nuqath
Pada abad VI H, disamping banyak ulama’ meneruskan karya ilmiahnya juga ada ulama’ yang mulai menyusun kitab Mubhamat al Qur’an diantaranya :
1. Abul Qasim Abdurrahman al Suhaily – lebih dikenal dengan nama Suhaily – ( Wafat 581 H ) – Kitab Mubhamat Al-Qur’an ( Menjelaskan maksud-maksud lafadz Al-Qur'an yang mubham / tidak jelas apa atau siapa yang dimaksud )
2. Ibnu Al Jauzi ( Wafat 597 H ) Kitab al mujtaba fi ulum tata’allaqu bi Al-Qur'an.
4. ILMU-ILMU AL-QUR’AN PADA ABAD VII DAN VIII H.
Pada abad VII tersusun Ilmu-ilmu Al-Qur'an antara lain : Ilmu Majaz Al-Qur'an dan Ilmu Qiro’at Al-Qur'an. Diantara ulama’-ulama’ besar yang ikut andil dalam pengembangan ilmu Al-Qur'an pada abad ini adalah :
1. ‘Allamudin al-Shakawy ( Wafat 655 H ) menyusun kitab Jamal Al-Qur'an wa Kamal al-Iqra’
2. Abu Syamah ( Wafat 655 H ) menyusun kitab : Al Mursyid al-Wajiz fi ma Yata’allaqu bi Al-Qur'an
3. Ibnu Abd Al-Salam ( Wafat 660 H ) terkenal dengan nama al-Izz. Menyusun kitab : Majaz Al-Qur'an dalam satu kitab.
Ulama’-ulama’ penulis kitab ulum Al-Qur'an pada abad VIII antara lain :
1. Ibnu Abil Ishba’ menyusun ilmu Bada’ Al-Qur'an ( Ilmu tentang keindahan-keindahan Al-Qur'an )
2. Ibnu Al-Qayyim ( Wafat 752 H ) menyusun ilmu Aqsam Al-Qur'an ( sumpah-sumpah dalam Al-Qur'an )
3. Najmuddin al-Thufy ( Wafat 716 H ) menyusun Ilmu Hujaj Al-Qur'an ( Bukti-bukti / Argumen-argumen Al-Qur'an dalam menentkan hukum )
4. Abu Al-Hasan Al-Mawardy, menyusun ilmu Amtsal Al-Qur'an ( Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur'an )
5. Badr al-Din al-Zarkasyi ( Wafat 794 H ) menyusun kitab Al Burhan fi Ulum Al-Qur'an ( 4 Jilid ), diterbitkan oleh Muhammad Abdul Fadhl Ibrahim.
5. ILMU-ILMU AL-QUR’AN PADA ABAD IX DAN X H
Pada abad ini perkembangan ulum Al-Qur'an dapat dikatakan mencapai puncak kesempurnaanya. Diantara ulama’-ulama’nya adalah :
1. Jalal al-din al Bulqini ( Wafat 824 H ) Menyusun kitab Mawaqi’ al ‘Ulum min Mawaqi’ al-Nujum.
2. Muhammad bin Sulaiman al-Khafiyajy ( Wafat 879 H ) menyusun kitab al taisir fi Qawaid al-Tafsir.
3. Jalal al-din As-Suyuthi ( Wafat 911 H ) menyusun kitan al tabir fi ulum al tafsir.
6. ILMU-ILMU AL-QUR’AN PADA ABAD XIV H
Memasuki abad XIV ini ulama’ bangkit kembali untuk menyusun dan membahas ilmu-ilmu Al-Qur'an setelah lama terhenti. Diantara ulama’ Al-Qur'an pada abad ini adalah :
1. Syekh Thahir al-Jazury menyusun kitab Al Tibyan fi Ulum Al-Qur'an
2. Jamaluddin Al-Qasimy ( Wafat 1332 H ) menyusun kitab Mahasin Al-Ta’wil
3. Muhammad Abd al Adzim al-Zarqany, menyusun kitab Manahil al Irfan fi Ulum Al-Qur'an ( 2 Jilid )
4. Muhammad Ali Salamah, Susunan kitabnya Manhaj al Furqon fi Ulum Al-Qur’an
5. Thanthawi Jauhary, yang mengarang kitab Al Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an dan kitab Al-Qur'an wa al-Ulum al-Ashriyah
dan ulama’-ulama’ yang lain.
D. URGENSI PEMBAHASAN ULUMUL QUR’AN
Mempelajarai ulumul qur’an merupakan hal yan sangat penting bila dihubungkan dengan Al-Qur'an, sebab ilmu ini merupakan landasan bagi mufassirin yang akan memahami dan menggali makna dan tujuan Al-Qur'an dengan baik.
Bisa jadi ilmu-ilmu Al-Qur'an ini diciptakan untuk mengantisipasi peringatan Rasulullah SAW. yang diriwayatkan dari Ibn Abbas seperti berikut :
“ Diriwayatkan dari Ibn Abbas katanya : Rasulullah bersabda : Barang siapa berkata tentang Al-Qur’an tanpa Ilmu, maka hendaklah meraka mempersiapkan tempat duduknya di dalam neraka” ( HR al-Tirmidzi, kata al-Tirmidzi hadis ini hadist hasan shoheh )
Dengan demikian menunjukkan bahwa ilmu-ilmu al-qur’an merupakan penuntun untuk mencapai pemahaman yang benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah. Semakin luas cakrawala seorang mufassir dalam bidang ilmu-ilmu al-qur’an maka penafsirannya juga semakin kodusif dan tepat.
Memahami kandungan al-qur’an bagi umat islam merupakan kebutuhan, karena beribadah juga merupakan kebutuhan. Seseorang dapat melakukan ibadah dengan baik sesuai dengan syarat rukunnya itu karena faham makna al-qur’an dengan baik.


KODIFIKASI HADIST
PADA ABAD PERTAMA SAMPAI DENGAN SEKARANG


A. PENDAHULUAN

HADIS secara bahasa mempunyai arti antara lain = baru, tidak lama, ucapan,pembicaraan, cerita). Menurut ahli hadis: segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli Usul fikih: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum.
Istilah lain untuk sebutan hadis ialah sunah, kabar, dan asar. Menurut sebagian ulama, cakupan sunah lebih luas karena ia diberi pengertian segala yang di nukilkan dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, maupun pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, dan baik itu terjadi sebelum masa kerasulan maupun sesudahnya. Selain itu titik berat penekanan sunah adalah kebiasaan normatif Nabi SAW.
Kabar yang berarti berita atau warta, selain dinisbahkan kepada Nabi SAW, bisa juga kepada sahabat dan tabiin. Dengan demikian kabar lebih umum dari hadis karena termasuk di dalamnya semua riwayat yang bukan dari Nabi SAW. Asar yang juga berarti nukilan, lebih sering digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat Nabi SAW, meskipun kadang-kadang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Misalnya, doa yang dinukilkan dari Nabi SAW disebut doa ma’sur. Dalam lingkup pengertian yang sudah dijelaskan, kata "tradisi" juga dipakai sebagai padanan kata hadis.
Perbedaan pengertian yang diberikan tentang hadis dan tentang pengertian kata yang semaksud dengannya (sunah, kabar, dan asar) disebabkan adanya perbedaan sudut pandang para ulama dalam melihat Nabi Muhammad SAW dan peri kehidupannya. Ulama hadis melihat Nabi SAW sebagai pribadi panutan umat manusia. Ulama usul fikih melihatnya sebagai pengatur undang-undang dan pencipta dasar-dasar untuk ber-*ijtihad. Fukaha (ahli fikih) melihatnya sebagai pribadi yang seluruh perbuatan dan perkataannya menunjuk pada hukum Islam (syarak). Perbedaan sudut pandang tersebut membawa pengertian hadis pada perbedaan pengertian, baik yang memberi penekanan yang amat terbatas dan tertentu, maupun yang memahaminya dengan cakupan yang lebih luas asal saja itu dinukilkan dari Nabi SAW.
Istilah hadis juga dikenal dalam teologi Islam. Dalam bidang ini kata hadis ( Jamaknya hawadis) digunakan untuk pengertian suatu wujud yang sebelumnya tidak ada atau sesuatu yang tidak azali (lawannya adalah kadim). Misalnya, dikatakan bahwa eksistensi alam ini hadis. Maksudnya, alam ini pernah tidak ada, lalu menjadi ada karena diciptakan Tuhan.

B. JENIS HADIS BERDASARKAN SUMBERNYA.
Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hadis qudsi dan hadis nabawi (Nabi). Hadis qudsi yang juga disebut hadis illahi atau hadist Rabbani adalah hadis yang berisi firman Allah kemudian nabi menerangkan dengan menggunakan sunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi (Nabi), yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
Hadis qudsi juga berbeda dengan A]-Our'an. Perbedaannya antara lain:
• lafal dan makna Al-Qur'an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadis qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT
• Al-Our'an mengandung *mukjizat;
• membaca Al-Qur'an termasuk perbuatan ibadah, sedangkan membaca hadis qudst tidak termasuk ibadah;
• Al-Qur'an tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang yang berhadast sedangkan hadis qudsi boleh dipegang dan dibaca juga oleh orang-orang yang punya hadas;
• periwayatan Al-Qur'an tidak boleh hanya dengan maknanya saja, sedangkan hadis qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya;
• Al-Qur'an-harus dibaca di waktu salat, sedangkan hadis qudsi tidak harus dan bahkan tidak boleh dibaca di waktu salat;
• semua ayat Al-Qur'an disampaikan dengan cara*mutawatir, sedangkan tidak semua hadis qudsi diriwayatkan secara mutawatir, tetapi kata-kata dan maknanya berasal dari Allah SWT.
Hadis qudsi bukan merupakan suatu kelompok tersendiri dalam buku-buku hadis, tetapi merupakan beberapa himpunan yang disusun dari al-Kutub as-Sittah (Kitab Enam) dan selainnya. Himpunan yang lebih luas adalah al-Idlofat at-Tsaniyyah fi al AhddiS al-Qudsiyyah (Sandaran Kedua dalam Hadis-Hadis Qudsi), yang dibuat oleh Muhammad al-Madani (w. 881 H/1476 M) dan diterbitkan di Hyderabad pada tahun 1905. Kitab ini memuat 858 hadis yang dibagi pada tiga kelompok, yaitu:
(1) yang dimulai dengan kata qala (berkata),
(2) yang dimulai dengan kata yaqulu (dikatakan), dan
(3) yang disusun menurut abjad.
Himpunan ini tidak menjelaskan isnad (kesinambungan antara dua rawi hadis) meskipun menyebutkan dari mana setiap hadis yang dimuatnya.
Sebuah himpunan lain yang memuat 101 hadis qudsi adalah Misykat al-Anwar (Pengatur Cahaya) karya *Ibnu Arabi, diterbitkan di Aleppo (1927) bersama himpunan yang memuat 40 hadis yang disusun oleh Mullah Ali al-Qari (w. 1605). Himpunan karya Ibnu Arabi tersebut diperinci ke dalam tiga bagian, dua bagian masing-masing berisi 40 hadis dan satu bagian berisi 21 hadis. Himpunan ini juga memuat isnad di bagian pertama, terkadang di bagian kedua, dan biasanya juga di bagian ketiga. Adapun himpunan karya Ali al-Qari hanya menyebut sahabat yang dikenal mendengar hadis dari Nabi SAW. Sebuah himpunan hadis qudsi lainnya yang tidak diterbitkan adalah karya Muhammad bin Tajuddin al-Munawi (w. 1621).
Ada ulama yang menjelaskan bahwa hadis qudsi ialah segala hadis yang berpautan dengan zat Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Contoh hadis qudsi adalah sebagai berikut. Rasulullah SAW bersabda: "Allah SWT berfirman: Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku dan Aku bersamanya di mana saja dia menyebut (mengingat)-Ku" (HR. *Bukhari dari *Abu Hurairah).
Dibandingkan dengan hadis qudst, hadis nabawi jauh lebih banyak jumlahnya. Hadis nabawi juga memiliki kedudukan yang penting dalam Islam meskipun nilainya tidak setinggi hadis qudsi.

C. SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST
Periode Perkembangan Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Oleh para ahli dikatakan bahwa sampai masa sekarang, hadis telah melewati sedikitnya tujuh masa atau periode perkembangan.
I. Periode Pertama.
Periode pertama ialah masa *wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasamya (Masa Kerasulan, dari 13 Sebelum. Hijriah11 H). Pada masa ini, Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat umumnya dan di tengah-tengah para sahabat pada khususnya, baik sewaktu ia tinggal di Mekah maupun setelah hijrah ke Madinah. Seperti anggota masyarakat pada umumnya, Nabi SAW pun bergaul dan berbicara dengan orang lain dan para sahabatnya di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, dan dalam keadaan musafir ataupun tidak. Para sahabatnya pun dengan bebas mengunjungi dan berbicara dengannya kapan dan di mana saja, kecuali pada waktu dan situasi tertentu seperti yang diajarkan oleh Al-Our'an. Misalnya, larangan menemui Nabi SAW pada saat Nabi SAW sedang beristirahat.
Kemudahan untuk melihat dan berjumpa dengan Nabi SAW membuat seluruh ucapan-ucapannya, tingkah laku serta perbuatannya, dan sikap-sikapnya dengan mudah pula menjadi tumpuan perhatian dan pengamatan para sahabat. Semua segi dari sosok Nabi SAW mereka jadikan sebagai teladan kehidupan. Pada sisi lain, Nabi SAW yang kalau berbicara perlahan, jelas, dan kalau perlu mengulangi ucapannya itu, memiliki kemampuan menggunakan dialek-dialek mitra bicaranya atau orang-orang yang dihadapinya. Ide-ide dan ucapannya seringkali dirasakan oleh mitra dialognya sebagai sesuatu yang sangat memukau.
Nabi SAW di mata sahabatnya dengan sangat sempurna telah tampil sebagai idola. Di masa ini, Nabi SAW memerintahkan untuk menulis setiap wahyu yang turun. Di masa ini juga terdapat larangan menulis hadis. Tetapi dengan berbagai alasan, sebagian sahabat berinisiatif menulisnya di samping wahyu Al-Our'an. Larangan tersebut bukan karena dikuatirkan akan bercampur-baur dengan Al-Our'an, akan tetapi semata-mata supaya semua potensi ditujukan dan diarahkan pada Al-Qur'an. Walaupun demikian, perhatian penuh sahabat untuk tidak hanya mencatat Al-Our'an tetap tumbuh dan terpelihara. Sahabat *Anas bin Malik misalnya mengatakan: "Ketika kami berada di sisi Nabi, kami simak hadisnya, dan ketika kami bubar, kami mendiskusikan hadis tersebut hingga kami menghapalnya.
Di masa ini, dapat disebutkan beberapa cara sahabat dalam menerima hadis.
1) Pertama, hadis diterima secara langsung, yaitu:
(1) melalui majelis pengajian Nabi SAW yang diadakan pada waktu-waktu tertentu;
(2) adanya perilaku umat yang disaksikan oleh Nabi SAW, yang menghendaki penjelasan atau jawaban langsung dari Nabi SAW. Contoh dalam hal ini tergambar dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, yang sanad (kesinambungan antara dua rawi hadis)-nya berujung pada Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW memergoki seorang penjual makanan, yang karena tampaknya mencurigakan, Nabi SAW lalu bertanya kepadanya tentang bagaimana cara ia menjual dagangannya itu. Lalu orang itu pun menjelaskan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW meminta orang tersebut agar memasukkan tangannya ke dalam barang dagangannya itu. Permintaan Nabi SAW dipenuhinya, tetapi kemudian terlihat oleh Nabi SAW tangannya basah setelah ia menarik benda dagangannya. Artinya, bagian atas barang dagangannya itu kering, sedangkan bagian bawahnya basah. Menyaksikan cara berjualan yang tidak jujur ini, bersabdalah Nabi SAW: "Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu";
(3) pertanyaan yang diajukan oleh sahabat atau atas permintaan penjelasan dari sahabat kepada Nabi SAW. Contoh dalam hal ini ialah hadis riwayat Bukhari dari Uqbah bin Haris. Seorang wanita menerangkan kepada Uqbah bahwa ia telah menyusui Uqbah dan istrinya di waktu keduanya masih kecil. Setelah mendengar hal itu dan karena ia tinggal di Mekah, Uqbah segera berangkat ke Madinah untuk menemui dan menceritakan keterangan wanita tersebut kepada Nabi SAW. Uqbah menginginkan penjelasan tentang hukum seorang laki-laki, yang karena tidak tahu, menikahi seorang wanita sepersusuan. Ketika itu lahirlah hadis Nabi SAW dengan sabdanya: "Bagaimana lagi, padahal telah diterangkan orang." Serta merta setelah itu Uqbah menceraikan istrinya, kemudian istrinya pun menikah lagi dengan orang lain;
(4) adanya peristiwa yang langsung dialami oleh Nabi SAW dan sahabat menyaksikan reaksi Nabi SAW terhadap peristiwa tersebut. Contoh dalam hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa *Khalid bin Walid makan Dzab ( Hewan sejenis baiawa’ ) yang dihidangkan orang kepada Nabi SAW, padahal Nabi SAW sendiri enggan memakannya. Maka Khalid bertanya: "Apakah kita diharamkan memakan dab, ya Rasulullah?" Nabi SAW menjawab: "Tidak, hanya binatang ini tidak ada di negeri saya, karena itu saya tidak memakannya. Makanlah, sesungguhnya ia itu halal."
2) Kedua,
Hadis diterima secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan oleh beberapa factor :
(1) Kesibukan yang dialami sahabat. Hal ini tercermin, misalnya, pada kesepakatan antara *Umar bin Khattab dan Ibnu Zaid, tetangganya, untuk saling bergantian hadir dalam majelis pengajian Nabi SAW bila salah seorang dari mereka terpaksa berhalangan hadir.
(2) Tempat tinggal sahabat yang jauh. Dalam hal ini mereka menerima hadis dari tangan/orang kedua sesudah Nabi SAW.
(3) Perasaan malu untuk bertanya langsung kepada Nabi SAW. Contoh dalam hal ini adalah riwayat Bukhari dan Muslim dari *Aisyah binti Abu Bakar. Seorang wanita datang kepada Nabi SAW untuk bertanya tentang bagaimana semestinya melakukan mandi untuk membersihkan diri dari *haid. Nabi SAW menjawab: "Ambillah sepotong kain perca (bekas potongan) yang sudah dikesturikan, lalu berwudulah dengannya." Jawaban Nabi SAW tersebut tidak segera dipahami oleh wanita itu, sehingga ia bertanya lagi: "Bagaimana saya berwudu dengannya?" Nabi SAW tetap dengan jawaban semula, yang tetap saja tidak dipahami oleh wanita tersebut. Nabi SAW pun meminta Aisyah, istrinya, menjelaskan hal tersebut secara terperinci dan Aisyah menerangkannya untuk wanita tersebut. Contoh ini bisa pula diterapkan pada faktor berikut ini.
(4) Nabi SAW sendiri yang menghendaki adanya perantara.
Dengan demikian, sejak periode ini terdapat perbedaan tingkat cara penerimaan hadis di kalangan sahabat. Selain sebab-sebab yang telah disebutkan, masih ada faktor lain, yaitu tingkat kemampuan, termasuk tingkat kecerdasan di antara mereka. Hal ini telah ikut menentukan kualitas penerimaan dan juga penyampaian hadis.
Periode ini menunjukkan beberapa ciri tertentu, antara lain:
(1) keaktifan para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya pada catatan-catatan mereka sendiri yang disebut sahifah, yaitu tulisan pada pelepah kurma, kulit kayu, dan tulang tulang hewan. Tetapi karena di masa ini terdapat larangan menulis hadis, maka para sahabat dalam menerima hadis berpegang pada kekuatan hapalan mereka. Selain itu hal ini juga disebabkan di masa ini sahabat Nabi SAW yang bisa menulis sangat sedikit;
(2) hadis; diterima dan disampaikan dengan mengandalkan kekuatan hapalan.
Para sahabat yang banyak menerima hadis di masa ini ada beberapa kelompok. Pertama, mereka yang mula-mula masuk Islam yang dinamai as-sabi qul awwaliin. Misalnya, para al-Khulafaur Rasyidiin (empat khalifah pertama) dan Abdullah bin Mas'ud. Kedua, mereka yang selalu berada di samping Nabi SAW dan bersungguh-sungguh menghapal hadisnya, seperti Abu Hurairah, atau yang mencatatnya, seperti Abdullah bin Amr bin As. Ketiga, mereka yang berusia panjang, seperti Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas. Keempat, mereka yang secara pribadi erat hubungannya dengan Nabi SAW, yaitu para istri Nabi SAW, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.
Adanya larangan menulis hadis di masa ini oleh para ulama dipahami sebagai sesuatu yang bersifat umum. Tetapi Nabi SAW tetap membolehkan adanya penulisan hadis. Kebolehan ini bersifat sangat khusus, yaitu hanya diperuntukkan bag'i mereka yang tidak dikuatirkan akan mencampurbaurkan antara catatan-catatan wahyu Al-Qur'an dan hadis. Larangan penulisan hadis pun merupakan larangan pembukuan hadis secara resmi. Sesungguhnya, semuanya itu bisa dipahami berhubung pada masa itu wahyu Al-Qur'an dalam proses turun secara bertahap dan dengan bimbingan wahyu Nabi SAW membangun serta membentuk masyarakat. Karena itu, masa ini disebut ‘Asr al- Wahy wa Takwin (Masa Turunnya Wahyu dan Pembentukan Masyarakat). Di antara sahabat yang menulis hadis adalah Abdullah bin Amr bin As (7 Sebelum Hijriah-65 H) dengan naskahnya yang berjudul as-Sahifah as-Sadiqah dan Jabir bin Abdullah al-Ansari (16-73 H) dengan naskahnya yang berjudul Sahifah Jabir.

II. PeriodeKedua.
Periode ini disebut Zaman at Tasabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah (Periode Membatasi Hadis dan Menyedikitkan Riwayat), yaitu pada masa khalifah empat (*Abu Bakar asSiddiq, Umar bin Khattab, *Usman bin Affan, dan *Ali bin Abi Talib). Di antara persoalan yang sangat menonjol dan menyita banyak perhatian para sahabat di masa ini, di samping usaha penyebarluasan Islam, adalah soal ketatanegaraan dan soalkepemimpinan umat. Tanpa mengabaikan usahausaha mendasar yang telah dilakukan oleh keempat khalifah tersebut, situasi politik dengan dampak tumbuhnya perpecahan di kalangan intem kepemimpinan umat telah melahirkan bermacam-macam fitnah dan berbagai intrik. Hadis pun tidak luput dari dampak tersebut. Dapat dimengerti kalau Khalifah Abu Bakar dan kemudian penggantinya, Umar bin Khattab, menyerukan kepada umat untuk bersikap hati-hati dan cermat dalam meriwayatkan hadis serta meminta kepada para sahabat untuk memeriksa dengan teliti riwayat hadis yang mereka terima.
Ada riwayat bahwa Abu Bakar sendiri telah bersedia membakar sahifah-sahifah miliknya. Tindakan Abu Bakar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) mungkin Abu Bakar merasa bahwa catatan-catatan hadisnya tersebut tidak persis dengan apa yang telah disampaikan oleh Nabi SAW dan
(2) mungkin, menurut Abu Bakar sendiri, apa yang dibakarnya itu sudah sama dengan yang terdapat pada sahabat lainnya.
Terdapat riwayat lain bahwa di depan Abu Salamah, Abu Hurairah mengaku bahwa seandainya ia meriwayatkan hadis; di masa Umar menjadi khalifah, seperti yang ia lakukan pada masa itu (setelah Umar wafat), niscaya Umar akan mencambuknya. Riwayat lain mengatakan, Umar menentang keras riwayat hadis atau mereka yang datang membawa kabar (hadis) hukum tanpa diperkuat oleh seorang saksi. la juga menekankan para sahabat supaya menyedikitkan riwayat.
Pada beberapa sumber disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain. Sementara terdapat pula sumber lainnya yang mcnyatakan kedua sahabat itu menerima riwayat orang-perorang (tanpa saksi). Sumber yang pertama menunjukkan betapa ketat kedua sahabat dan juga sahabat lainnya dalam menerima hadis. Pada sumber kedua bisa dijelaskan bahwa saksi tidak merupakan syarat mutlak; saksi hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima suatu riwayat. Dengan penjelasan serupa dapat dipahami adanya sumber yang menyebutkan bahwa Ali bin Abi Talib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah.
Periwayatan hadis di masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib meneruskan ciri dari dua kbalifah pendahulunya. Tetapi, perkembangan masyarakat pada waktu itu sudah berbeda dengan waktu sebelumnya. Banyak sahabat Yang sudah berpencar ke daerah-daerah baru. Perkembangan dan perubahan tersebut membawa pengaruh. Misalnya, bila di zaman Umar larangan periwayatan hadis dapat dilakukan dengan tegas, maka di zaman Usman dan Ali larangan itu tidak setegas zaman sebelumnya. Para sahabat sebagai nara-sumber hadis tidak lagi hanya bermukim di Madinah sebagai akibat kebijaksanaan Yang diterapkan oleh Umar Yang melarang para sahabat pindah ke luar kota tersebut, tetapi mereka terpencarpencar ke beberapa dae-rah baru. Akibatnya, penyebaran dan pengembangan riwayat secara lebih jauh mulai tak terhindarkan.

III. PeriodeKetiga.
Disebut Zaman Intisyarar-Riwayah ila al-Amsar (Periode Penyebaran Riwayat ke Kota-Kota), berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabiin besar. Penaklukan Yang dilakukan oleh tentara Islam atas wilayah Syam (Suriah) dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H) mengharuskan para sahabat berpindah ke tempat-tempat baru tersebut untuk keperluan mengajarkan agama Islam bagi penduduk setempat. Pada perkembangan selanjutnya, seorang sahabat Yang mendengar suatu riwayat (hadis) Yang belum pemah didengamya merasa perlu berkunjung ke kota tempat tinggal sahabat Yang disebutkan meriwayatkan hadis tersebut. Berita kedatangan seorang sahabat di suatu daerah mengundang paerhatian tabiin untuk mendatanginya dan berkerumun di sekitar sahabat untuk mendengarkan pengajaran-pengajaran daripadanya termasuk pengajaran tentang hadist.
Dalam riwayat Bukhari, Ahmad, at-*Tabari, dan al-*Baihaki disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke Syam (Suriah) dengan maksud menanyakan sebuah hadis pada seorang sahabat Yang tinggal di sana. Hal Yang sama telah dilakukan pula oleh Abu Ayyub al-Ansari Yang melawat ke Mesir untuk menemui Uqbah bin Amr untuk menanyakan sebuah hadis.
Dengan demikian periode ini ditandai oleh aktifnya generasi tabiin mencari dan menyerap hadis-hadis dari generasi sahabat Yang masih hidup. Pada periode ini, terkenallah sahabat-sahabat Yang dijuluki sebagai 'bendaharawan" hadis, yaitu mereka Yang meriwayatkan lebih dari seribu hadis. Diantara meraka adalah :
(1). Abu Hurairah meriwayatkan 5.374 Hadis
(2). Abdullah bin Ummar bin Khattab meriwayatkan 2.630 hadis
(3). Annas bin malik meriwayatkan 2.266 Hadis
(4). Aisyah meriwayatkan 1.210 Hadis
(5). Abdullah bin Abbas, meriwayatkan 1.660 hadis;
(6). Jabir bin Abdullah, meriwayatkan 1.540 hadis; dan
(7). Abu Sa'id alKhudri, meriwayatkan 1.170 hadis.
Di masa ini terdapat pula sahabat Yang menyedikitkan riwayat karena takut terjerumus dalam kedustaan atau takut karena usia lanjut sehingga banyak hadis Yang terlupakan. Az-Zubair dan Zaid bin Arqam adalah contoh dari sekian sahabat Yang mengambil sikap seperti ini.
Adapun di antara tabiin Yang tercatat sebagai tokoh-tokoh hadis pada periode ini adalah Sa'id dan Urwah di Madinah, lkrimah dan Ata bin Abi Rabah di Mekah, asy-Sya'bi dan Ibrahim anNakha'i di Kufah, Abu Oatadah dan Muhammad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qabisah bin Zuaib di Syam (Suriah), Abu Khair Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesir, dan Tawus bin Kaisan a]-Yamani serta Wahab bin Munabbih di Yaman. Kota-kota dan wilayah-wilayah Yang disebutkan di atas juga sekaligus menjadi pusat hadis.
Perkembangan tersebut, di samping pengaruh politik serta fitnah dan intrik-intrik lain dari masa-masa sebelumnya, memberi peluang bagi berkembangnya pemalsuan hadis. Pada periode ini riwayat-riwayat yang palsu semakin bertambah dan beragam coraknya. Menurut versi pengarang kitab Hadis (seorang ulama *Syiah), pemalsuan hadis mula-mula dilakukan oleh golongan syi’ah sendiri dalam bentuk pemujaan terhadap keutamaan pribadi-pribadi. Tragisnya, perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan *Suni. Karena di masa ini Irak merupakan pusat orang-orang Syiah, maka kuat dugaan bahwa daerah tersebut menjadi asal mula munculnya hadis-hadis palsu.

IV. Periode Keempat.
Disebut 'Asr al-Kitabat wa at-Tadwin (Periode Penulisan dan Kodifikasi Resmi), berlangsung dari masa Khalifah *Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/717-720 M) sampai akhir abad ke-2 H. Khalifah Umar bin Abdul Aziz Yang dikenaljujur dan mempunyai minat pada ilmu pengetahuan mengambil langkah dan kebijaksanaan terhadap hadis Yang belum pemah dilakukan sebelumnya oleh semua khalifah pendahulunya.
Kholifah ini menangkap kenyataan bahwa para penghapal hadist semakin berkurang jumlahnya karena meninggal. Tumbuh rasa khawatir dalam diri Khalifah, apabila hadis tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka berangsur-angsur akan hilang. Rasa khawatir itulah yang menyebabkan Khalifah memerintahkan gubenur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (w. 117 H), supaya membukukan hadis Nabi SAW yang terdapat pada penghapal wanita terkenal dan seorang ahli fikih murid Aisyah RA, Amrah binti Abdurrahman bin Sa'ad bin Zurarah bin Ades, serta hadis-hadis yang ada pada Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq, seorang pemuka tabiin dan salah seorang dari tujuh fukaha (ahli fikih) Madinah.
Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat kepada semua gubenur dalam wilayah kekuasaannya untuk mengambil langkah serupa pada penghapal dan ulama hadis di tempat mereka masing-masing. Kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini oleh sejarah dicatat sebagai kodifikasi hadis yang pertama secara resmi. Pengertian "resmi di sini ialah kebijaksanaan itu dilaksanakan atas perintah penguasa yang sah dan disebarluaskan ke seluruh jajaran kekuasaannya. Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H) tercatat sebagai ulama besar pertama yang membukukan hadis-hadis. Selanjutnya, kodifikasi hadis dilakukan oleh para ulama atas anjuran dan dukungan para khalifah, seperti Khalifah *Abu Abbas as-Saffah dan kbalifah-khalifah keturunannya dari Dinasti Abbasiyah.
Periode pendewanan hadis yang disponsori oleh khalifah-khalifah Abbasiyah ini melahirkan ulama-ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w. 150 H) di Mekah, Abu Ishaq (w. 151 H) dan Imam *Malik (w. 179 H) di Madinah, ar-Rabi bin Sabih (w. 160 H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H) di Basra, *Sufyan as-Sauri (w. 161 H) di Kufah, dan Abdurrahman al-Auza'i (w. 156 H) di Syam (Suriah). Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad ke-2 H, sukar untuk ditetapkan siapa di antara mereka yang lebih dahulu muncul. Namun yang jelas adalah mereka itu sama-sama berguru kepada *Ibn Hazm dan Ibnu Syihab az-Zuhri.
Di antara ciri-ciri hadis yang didewankan pada abad ke-2 H ini adalah mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah yang mereka dewankan itu hadis Nabi SAW semata-mata ataukah termasuk juga di dalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka belum membuat pengelompokan kandungan nas-nas (teks) hadis menurut kelompok-kelompoknya. Dengan demikian karya ulama abad ini masih bercampur-aduk antara hadis-hadis Rasulullah SAW dan fatwa-fatwa sahabat serta tabiin. Dengan demikian, dalam kitab-kitab hadis karya ulama-ulama tersebut belum dipisahkan antara hadis-hadis yang marfu’(yang disandarkan kepada Nabi SAW), Mauquf (yang disandarkan kepada sahabat), dan mauquf(yang disandarkan kepada tabihi) serta antara hadis sahih, hasan, dan daif (lemah).
Dalam periode keempat ini sejumlah hadis berhasil dihimpun dalam buku-buku yang dinamakan al-Jam'i, al-Musannaf, al-Musnad, dan lain-lain. Misalnya, al-Musnad susunan Imam *Syafi'i, al-Musannaf susunan al-Auza'i, dan al-*Muwatta' susunan Imam Malik yang disusun atas permintaan Khalifah Abu Ja'far al-*Mansur (144 H).
Dalam periode ini pemalsuan hadis juga semakin meluas. Yang agak menonjol adalah pemalsuan hadis dalam rangka kepentingan politik, di samping pemalsuan yang dilakukan oleh golongan *zindik dan tukang-tukang kisah untuk menarik minat para pendengamya. Ada kemungkinan, kisah-kisah itu banyak yang disandarkan pada hadis-hadis maudhu’ (lemah). Kenyataan tersebut mendorong lahinya ulama-ulama di bidang hadis yang memusatkan perhatiannya dalam persoalan rawi, jarh (penolakan terhadap rawi), dan ta'dil (penerimaan terhadap rawi). Walaupun demikian, kegiatan penulisan dan kodifikasi hadis tetap berjalan dan semakin berkembang.

V. Periode Kelima.
Disebut Asr at-Tajrid wa atTashih wa at-Tanqih (Periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan), dari awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 H. Periode ini menanggung dan mencarikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hadis yang muncul dan belum diselesaikan pada periode sebeluninya. Pemisahan antara hadis Nabi SAW dan fatwa sahabat yang mulai terasa keperluanya dan adanya pemalsuan-pemalsuan hadis yang telah menarik perhatian para ulama pada masa sebelumnya pada periode ini semakin terasa mendesak untuk ditangani. Para ulama pun di masa ini menghimpun dan membukukan hadis-hadis Nabi SAW ke dalam buku hadis dan memisahkannya dari fatwa-fatwa sahabat. Kegiatan-kegiatan lainnya di masa ini antara lain:
(1) perlawatan ke daerah-daerah yang semakin jauh guna menghimpun hadis-hadis dari para rawi semakin meningkat;
(2) membuat klasifika hadis pada yang ma’ruf (yang disandarkan kepad SAW), yang mauquf (yang disandarkan kepada shabat), dan yang mauquf(yang disandarkan kepada tabiin); dan
(3) menghimpun kritik-kritik yang diarahkan baik kepada rawi (yang meriwayatkan) maupun matan (teks) hadis, dan memberikan jawaban atas kritik tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari usaha pemisahan antara hadis dan fatwa sahabat, di masa ini lahirlah buku-buku hadis dalam corak lebih baru yang dinamakan kitab Sahih, kitab Sunan, dan kitab Musnad. Kitab Sahih adalah kitab yang memuat hadis-hadis sahih saja. Kitab Sunan adalah kitab yang memuat seluruh hadis, kecuali hadis yang sangat daif dan munkar (sangat lemah). Adapun Musnad adalah kitab yang memuat semua hadis, baik sahih, hasan, maupun daif.
Di masa ini bangkit imam hadis yang besar, Ishaq bin Rahawaih, yang merintis usaha memisahkan hadis-hadis yang sahih dari yang tidak. Usaha ini dilanjutkan dengan sangat baik oleh Imam Bukhari dan muridnya, Imam Muslim, dengan menyusun kitab hadisnya, yang masing-masing dinamai kitab Sahih. Imam-imam hadis terkenal lainnya, seperti *Abu Dawud, at-*Tirmizi, an-*Nasa'i, dan *Ibnu Majah, mulai pula menyusun kitab-kitab Sunan mereka. Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal (Imam *Hanbali) dengan kitab Musnad-nya. Penyusun kitab Musnad lainnya antara lain Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Asad bin Musa, dan Nu'aim bin Hamad al-Khaza'i. Kitab-kitab itu oleh pengarangnya juga dimaksudkan sebagai jawaban ats usaha pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang telah disebutkan dan dari kalangan mazhab-mazhab fikih, aliran-aliran kalam/teologi, dan *tasawuf yang fanatik dalam membela golongannya.

VI. Periode Keenam.
Disebut Asr at-Tahzib wa at-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam'(Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan), mulai abad ke-4 H sampai jatuhnya kota Baghdad (656 H/1258 M). Ulama-ulama hadis telah menetapkan bahwa para ahli yang hidup sebelum abad ke-4 H atau periode ini disebut mutakadimin (pendahulu), sedangkan sesudahnya disebut muta'aklikhirin. Ulama hadis mutakadimin pada umumnya melakukan kegiatan mereka secara mandiri, dalam arti mengumpulkan hadis dan memeriksanya sendiri dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di banyak pelosok negeri. Adapun kegiatan ulama’ mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya ulama mutaqadimin, dalam arti hadis yang mereka kumpulkan merupakan petikan atau nukilan dari kitab-kitab mutaqaddimin.
Pada periode ini tumbuh asumsi untuk merasa cukup dengan hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama mutakadimin. Oleh karena itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbagai negeri untuk mencari hadis. Semangat di masa ini adalah semangat memelihara apa yang telah dikerjakan oleh para pendahulu mereka.
Para ulama hadis dalam periode ini saling berlomba untuk menghapal sebanyak-banyaknya hadis yang telah terdewan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghapal beratus-ratus ribu hadis. Sejak periode ini timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadis, seperti al-Hakim dan al-Hafiz. Selain itu, ulama dalam periode keenam ini berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang masih berserakan, dan memudahkan jalan-jalan pengambilan hadis. Pengumpulan hadis-hadis untuk disusun dalam bagian-bagian yang lebih sistematis, misaInya menghimpun dan membukukan hadis-hadis tentang hukum, lebih digiatkan. Di masa ini pula bermunculan kitab-kitab syarh atau syarah, yaitu kitab yang mengomentari kitab hadis tertentu, yang lebih banyak dibuat dari masa sebelumnya. Kegiatan lain di masa ini adalah istikhraj, yaitu mengambil suatu hadis dari ulama hadis tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab hadis yang dibuat dengan metode ini disebut mustakhrij. Selain itu, di masa ini lahir kitab hadis yang disebut kitab Atraf, yang menyebut hanya sebagian-sebagian dari matan atau teks hadis, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad dari kitab hadis yang dikutip maupun dari kitab lain; kitab Mustadrak, yang menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya saja; dan kitab Jami', yang menghimpun hadis-hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Ulama-ulama pada periode ini memberikan perhatian besar terhadap kegiatan memperbaiki susunan kitab hadis dan mengumpulkan hadis-hadis yang sudah terdapat dalam kitab-kitab sebe lumnya ke dalam sebuah kitab hadis yang lebih besar. Kitab-kitab yang masyhur hasil karya ulama abad ke-4 H antara lain: (1) al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausat, (3) al-Mu’jam saghir, ketiga- tiganya karya Imam Sulaiman bin Ahmad at-Thabrani (w. 360 H), (4) Sunan ad-Daruqutnni karya Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Daruqutni (306-385 H), (5) Shahih Abi Auwanah karya Abu Auwanah Ya'qub bin Ishaq Ibrahim al-Asfarayini (w. 354 H), dan (6) Sahih Ibn Khuzaimah karya Ibnu Kbuzaimah Muhammad bin Ishaq (w. 316 H). Adapun kitab-kitab hadis yang lahir pada abad ke-5 H hingga akhir periode keenam ini antara lain: (1) as-Sunan al-Kubra karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-*Baihaki (384-458 H); (2) Muntaqa al-Akhbar karya Majdudin al-Harrani (w. 652 H); (3) Nail al-Autar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya Muhammad bin Ali asy Syaukani (1172-1250 H); (4) at-Targib wa at-Tarhib karya Imam Zakiyu'ddin Abdu'l-'Adim al-Munziri (w. 656 H); (5) Dalil al-Falihin karya Muhammad bin Allan as-Siddiqi (w. 1057 H), sebagai syarah Kitab Riyad As-Shalihin karya Imam Muhyiddin Abi Zakariya an-*Nawawi (w. 676 H/1277 M).

VII. Periode Ketujuh.
Disebut Ahd asy-Syarah wal al-Jam'I wa at-Takhrij wa al-Bahs (Periode Pensyarahan, Perhimpunan, Pen-takhrijan atau Pengeluaran Riwayat, dan Pembahasan), mulai jatuhnya kota Baghdad sampai sekarang.
Periode ketujuh masih meneruskan beberapa kegiatan dari periode sebelumnya, di samping kegiatan-kegiatan lainnya. Penghancuran Baghdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh pasukan Hulagu Khan (656 H/1258 M) telah menggeser kegiatan di bidang hadis ke Mesir dan India. Banyak kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat Islam berasal dari usaha penerbitan yang dilakukan oleh ulama-ulama India. Contoh dalam hal ini adalah penerbitan kitab Al-Ulum Al Hadist (Ilmu-ilmu Hadis) karya al-Hakim.
Cara penerimaan dan penyampaian hadis di masa ini juga mengalami pergeseran. Cara yang digunakan kadang-kadang berupa pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadis dari guru tersebut dan kadang-kadang berupa pemberian catatan hadis dari seorang guru kepada seseorang yang ada di dekatnya atau yang jauh, baik catatan itu dibuat sendiri oleh guru tersebut atau menyuruh orang lain. Cara yang pertama dikenal dengan nama ijazah, sedang yang kedua dinamai mukdtabah (penulisan).
Pada periode ini tidak banyak lagi dapat dijumpai ulama-ulama hadis yang mampu menyampaikan periwayatan hadis beserta sanadnya secara hapalan yang sempuma. Kegiatan yang umum pada masa ini adalah mempelajari kitab-kitab hadis yang telah ada, mengembangkannya, dan membuat pembahasan-pembahasannya atau juga membuat ringkasan-ringkasan terhadap kitab-kitab hadis yang telah ada. Pada masa yang lebih kemudian dalam periode ini, kegiatan-kegiatan di bidang hadis juga berpindah ke Arab Saudi.

D. PENUTUP
a. Kesimpulan
• Menurut ahli hadis: segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli Usul fikih: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum;
• hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW
• hadis nabawi adalah hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri
• Sejarah Perkembangan Hadis sejak mulai penerimaan pada masa Nabi Muhammad SAW sampaidengan saat sekarang terbagi menjadi tujuh periode
• Periode pertama hadist diterima dengan melihat perbuatan Nabi dan mendengarkan pengajian atau ajaran dan ketetapan beliau
• Periode kedua ini disebut Zaman at Tasabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah (Periode Membatasi Hadis dan Menyedikitkan Riwayat), yaitu pada masa khalifah empat (*Abu Bakar asSiddiq, Umar bin Khattab, *Usman bin Affan, dan *Ali bin Abi Talib)
• Period eke Tiga Disebut Zaman Intisyarar-Riwayah ila al-Amsar (Periode Penyebaran Riwayat ke Kota-Kota),
• Periode ke empat Disebut 'Asr al-Kitabat wa at-Tadwin (Periode Penulisan dan Kodifikasi Resmi), berlangsung dari masa Khalifah *Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/717-720 M) sampai akhir abad ke-2 H.
• Periode ke lima disebut Asr at-Tajrid wa atTashih wa at-Tanqih (Periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan), dari awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 H
• Period ke enam disebut Asr at-Tahzib wa at-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam'(Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan), mulai abad ke-4 H sampai jatuhnya kota Baghdad (656 H/1258 M)
• Period ke tujuh disebut Ahd asy-Syarah wal al-Jam'I wa at-Takhrij wa al-Bahs (Periode Pensyarahan, Perhimpunan, Pen-takhrijan atau Pengeluaran Riwayat, dan Pembahasan), mulai jatuhnya kota Baghdad sampai sekarang

HADIST NABI

KODIFIKASI HADIST
PADA ABAD PERTAMA SAMPAI DENGAN SEKARANG


A. PENDAHULUAN

HADIS secara bahasa mempunyai arti antara lain = baru, tidak lama, ucapan,pembicaraan, cerita). Menurut ahli hadis: segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli Usul fikih: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum.
Istilah lain untuk sebutan hadis ialah sunah, kabar, dan asar. Menurut sebagian ulama, cakupan sunah lebih luas karena ia diberi pengertian segala yang di nukilkan dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, maupun pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, dan baik itu terjadi sebelum masa kerasulan maupun sesudahnya. Selain itu titik berat penekanan sunah adalah kebiasaan normatif Nabi SAW.
Kabar yang berarti berita atau warta, selain dinisbahkan kepada Nabi SAW, bisa juga kepada sahabat dan tabiin. Dengan demikian kabar lebih umum dari hadis karena termasuk di dalamnya semua riwayat yang bukan dari Nabi SAW. Asar yang juga berarti nukilan, lebih sering digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat Nabi SAW, meskipun kadang-kadang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Misalnya, doa yang dinukilkan dari Nabi SAW disebut doa ma’sur. Dalam lingkup pengertian yang sudah dijelaskan, kata "tradisi" juga dipakai sebagai padanan kata hadis.
Perbedaan pengertian yang diberikan tentang hadis dan tentang pengertian kata yang semaksud dengannya (sunah, kabar, dan asar) disebabkan adanya perbedaan sudut pandang para ulama dalam melihat Nabi Muhammad SAW dan peri kehidupannya. Ulama hadis melihat Nabi SAW sebagai pribadi panutan umat manusia. Ulama usul fikih melihatnya sebagai pengatur undang-undang dan pencipta dasar-dasar untuk ber-*ijtihad. Fukaha (ahli fikih) melihatnya sebagai pribadi yang seluruh perbuatan dan perkataannya menunjuk pada hukum Islam (syarak). Perbedaan sudut pandang tersebut membawa pengertian hadis pada perbedaan pengertian, baik yang memberi penekanan yang amat terbatas dan tertentu, maupun yang memahaminya dengan cakupan yang lebih luas asal saja itu dinukilkan dari Nabi SAW.
Istilah hadis juga dikenal dalam teologi Islam. Dalam bidang ini kata hadis ( Jamaknya hawadis) digunakan untuk pengertian suatu wujud yang sebelumnya tidak ada atau sesuatu yang tidak azali (lawannya adalah kadim). Misalnya, dikatakan bahwa eksistensi alam ini hadis. Maksudnya, alam ini pernah tidak ada, lalu menjadi ada karena diciptakan Tuhan.

B. JENIS HADIS BERDASARKAN SUMBERNYA.
Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hadis qudsi dan hadis nabawi (Nabi). Hadis qudsi yang juga disebut hadis illahi atau hadist Rabbani adalah hadis yang berisi firman Allah kemudian nabi menerangkan dengan menggunakan sunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi (Nabi), yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
Hadis qudsi juga berbeda dengan A]-Our'an. Perbedaannya antara lain:
• lafal dan makna Al-Qur'an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadis qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT
• Al-Our'an mengandung *mukjizat;
• membaca Al-Qur'an termasuk perbuatan ibadah, sedangkan membaca hadis qudst tidak termasuk ibadah;
• Al-Qur'an tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang yang berhadast sedangkan hadis qudsi boleh dipegang dan dibaca juga oleh orang-orang yang punya hadas;
• periwayatan Al-Qur'an tidak boleh hanya dengan maknanya saja, sedangkan hadis qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya;
• Al-Qur'an-harus dibaca di waktu salat, sedangkan hadis qudsi tidak harus dan bahkan tidak boleh dibaca di waktu salat;
• semua ayat Al-Qur'an disampaikan dengan cara*mutawatir, sedangkan tidak semua hadis qudsi diriwayatkan secara mutawatir, tetapi kata-kata dan maknanya berasal dari Allah SWT.
Hadis qudsi bukan merupakan suatu kelompok tersendiri dalam buku-buku hadis, tetapi merupakan beberapa himpunan yang disusun dari al-Kutub as-Sittah (Kitab Enam) dan selainnya. Himpunan yang lebih luas adalah al-Idlofat at-Tsaniyyah fi al AhddiS al-Qudsiyyah (Sandaran Kedua dalam Hadis-Hadis Qudsi), yang dibuat oleh Muhammad al-Madani (w. 881 H/1476 M) dan diterbitkan di Hyderabad pada tahun 1905. Kitab ini memuat 858 hadis yang dibagi pada tiga kelompok, yaitu:
(1) yang dimulai dengan kata qala (berkata),
(2) yang dimulai dengan kata yaqulu (dikatakan), dan
(3) yang disusun menurut abjad.
Himpunan ini tidak menjelaskan isnad (kesinambungan antara dua rawi hadis) meskipun menyebutkan dari mana setiap hadis yang dimuatnya.
Sebuah himpunan lain yang memuat 101 hadis qudsi adalah Misykat al-Anwar (Pengatur Cahaya) karya *Ibnu Arabi, diterbitkan di Aleppo (1927) bersama himpunan yang memuat 40 hadis yang disusun oleh Mullah Ali al-Qari (w. 1605). Himpunan karya Ibnu Arabi tersebut diperinci ke dalam tiga bagian, dua bagian masing-masing berisi 40 hadis dan satu bagian berisi 21 hadis. Himpunan ini juga memuat isnad di bagian pertama, terkadang di bagian kedua, dan biasanya juga di bagian ketiga. Adapun himpunan karya Ali al-Qari hanya menyebut sahabat yang dikenal mendengar hadis dari Nabi SAW. Sebuah himpunan hadis qudsi lainnya yang tidak diterbitkan adalah karya Muhammad bin Tajuddin al-Munawi (w. 1621).
Ada ulama yang menjelaskan bahwa hadis qudsi ialah segala hadis yang berpautan dengan zat Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Contoh hadis qudsi adalah sebagai berikut. Rasulullah SAW bersabda: "Allah SWT berfirman: Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku dan Aku bersamanya di mana saja dia menyebut (mengingat)-Ku" (HR. *Bukhari dari *Abu Hurairah).
Dibandingkan dengan hadis qudst, hadis nabawi jauh lebih banyak jumlahnya. Hadis nabawi juga memiliki kedudukan yang penting dalam Islam meskipun nilainya tidak setinggi hadis qudsi.

C. SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST
Periode Perkembangan Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Oleh para ahli dikatakan bahwa sampai masa sekarang, hadis telah melewati sedikitnya tujuh masa atau periode perkembangan.
I. Periode Pertama.
Periode pertama ialah masa *wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasamya (Masa Kerasulan, dari 13 Sebelum. Hijriah11 H). Pada masa ini, Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat umumnya dan di tengah-tengah para sahabat pada khususnya, baik sewaktu ia tinggal di Mekah maupun setelah hijrah ke Madinah. Seperti anggota masyarakat pada umumnya, Nabi SAW pun bergaul dan berbicara dengan orang lain dan para sahabatnya di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, dan dalam keadaan musafir ataupun tidak. Para sahabatnya pun dengan bebas mengunjungi dan berbicara dengannya kapan dan di mana saja, kecuali pada waktu dan situasi tertentu seperti yang diajarkan oleh Al-Our'an. Misalnya, larangan menemui Nabi SAW pada saat Nabi SAW sedang beristirahat.
Kemudahan untuk melihat dan berjumpa dengan Nabi SAW membuat seluruh ucapan-ucapannya, tingkah laku serta perbuatannya, dan sikap-sikapnya dengan mudah pula menjadi tumpuan perhatian dan pengamatan para sahabat. Semua segi dari sosok Nabi SAW mereka jadikan sebagai teladan kehidupan. Pada sisi lain, Nabi SAW yang kalau berbicara perlahan, jelas, dan kalau perlu mengulangi ucapannya itu, memiliki kemampuan menggunakan dialek-dialek mitra bicaranya atau orang-orang yang dihadapinya. Ide-ide dan ucapannya seringkali dirasakan oleh mitra dialognya sebagai sesuatu yang sangat memukau.
Nabi SAW di mata sahabatnya dengan sangat sempurna telah tampil sebagai idola. Di masa ini, Nabi SAW memerintahkan untuk menulis setiap wahyu yang turun. Di masa ini juga terdapat larangan menulis hadis. Tetapi dengan berbagai alasan, sebagian sahabat berinisiatif menulisnya di samping wahyu Al-Our'an. Larangan tersebut bukan karena dikuatirkan akan bercampur-baur dengan Al-Our'an, akan tetapi semata-mata supaya semua potensi ditujukan dan diarahkan pada Al-Qur'an. Walaupun demikian, perhatian penuh sahabat untuk tidak hanya mencatat Al-Our'an tetap tumbuh dan terpelihara. Sahabat *Anas bin Malik misalnya mengatakan: "Ketika kami berada di sisi Nabi, kami simak hadisnya, dan ketika kami bubar, kami mendiskusikan hadis tersebut hingga kami menghapalnya.
Di masa ini, dapat disebutkan beberapa cara sahabat dalam menerima hadis.
1) Pertama, hadis diterima secara langsung, yaitu:
(1) melalui majelis pengajian Nabi SAW yang diadakan pada waktu-waktu tertentu;
(2) adanya perilaku umat yang disaksikan oleh Nabi SAW, yang menghendaki penjelasan atau jawaban langsung dari Nabi SAW. Contoh dalam hal ini tergambar dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, yang sanad (kesinambungan antara dua rawi hadis)-nya berujung pada Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW memergoki seorang penjual makanan, yang karena tampaknya mencurigakan, Nabi SAW lalu bertanya kepadanya tentang bagaimana cara ia menjual dagangannya itu. Lalu orang itu pun menjelaskan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW meminta orang tersebut agar memasukkan tangannya ke dalam barang dagangannya itu. Permintaan Nabi SAW dipenuhinya, tetapi kemudian terlihat oleh Nabi SAW tangannya basah setelah ia menarik benda dagangannya. Artinya, bagian atas barang dagangannya itu kering, sedangkan bagian bawahnya basah. Menyaksikan cara berjualan yang tidak jujur ini, bersabdalah Nabi SAW: "Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu";
(3) pertanyaan yang diajukan oleh sahabat atau atas permintaan penjelasan dari sahabat kepada Nabi SAW. Contoh dalam hal ini ialah hadis riwayat Bukhari dari Uqbah bin Haris. Seorang wanita menerangkan kepada Uqbah bahwa ia telah menyusui Uqbah dan istrinya di waktu keduanya masih kecil. Setelah mendengar hal itu dan karena ia tinggal di Mekah, Uqbah segera berangkat ke Madinah untuk menemui dan menceritakan keterangan wanita tersebut kepada Nabi SAW. Uqbah menginginkan penjelasan tentang hukum seorang laki-laki, yang karena tidak tahu, menikahi seorang wanita sepersusuan. Ketika itu lahirlah hadis Nabi SAW dengan sabdanya: "Bagaimana lagi, padahal telah diterangkan orang." Serta merta setelah itu Uqbah menceraikan istrinya, kemudian istrinya pun menikah lagi dengan orang lain;
(4) adanya peristiwa yang langsung dialami oleh Nabi SAW dan sahabat menyaksikan reaksi Nabi SAW terhadap peristiwa tersebut. Contoh dalam hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa *Khalid bin Walid makan Dzab ( Hewan sejenis baiawa’ ) yang dihidangkan orang kepada Nabi SAW, padahal Nabi SAW sendiri enggan memakannya. Maka Khalid bertanya: "Apakah kita diharamkan memakan dab, ya Rasulullah?" Nabi SAW menjawab: "Tidak, hanya binatang ini tidak ada di negeri saya, karena itu saya tidak memakannya. Makanlah, sesungguhnya ia itu halal."
2) Kedua,
Hadis diterima secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan oleh beberapa factor :
(1) Kesibukan yang dialami sahabat. Hal ini tercermin, misalnya, pada kesepakatan antara *Umar bin Khattab dan Ibnu Zaid, tetangganya, untuk saling bergantian hadir dalam majelis pengajian Nabi SAW bila salah seorang dari mereka terpaksa berhalangan hadir.
(2) Tempat tinggal sahabat yang jauh. Dalam hal ini mereka menerima hadis dari tangan/orang kedua sesudah Nabi SAW.
(3) Perasaan malu untuk bertanya langsung kepada Nabi SAW. Contoh dalam hal ini adalah riwayat Bukhari dan Muslim dari *Aisyah binti Abu Bakar. Seorang wanita datang kepada Nabi SAW untuk bertanya tentang bagaimana semestinya melakukan mandi untuk membersihkan diri dari *haid. Nabi SAW menjawab: "Ambillah sepotong kain perca (bekas potongan) yang sudah dikesturikan, lalu berwudulah dengannya." Jawaban Nabi SAW tersebut tidak segera dipahami oleh wanita itu, sehingga ia bertanya lagi: "Bagaimana saya berwudu dengannya?" Nabi SAW tetap dengan jawaban semula, yang tetap saja tidak dipahami oleh wanita tersebut. Nabi SAW pun meminta Aisyah, istrinya, menjelaskan hal tersebut secara terperinci dan Aisyah menerangkannya untuk wanita tersebut. Contoh ini bisa pula diterapkan pada faktor berikut ini.
(4) Nabi SAW sendiri yang menghendaki adanya perantara.
Dengan demikian, sejak periode ini terdapat perbedaan tingkat cara penerimaan hadis di kalangan sahabat. Selain sebab-sebab yang telah disebutkan, masih ada faktor lain, yaitu tingkat kemampuan, termasuk tingkat kecerdasan di antara mereka. Hal ini telah ikut menentukan kualitas penerimaan dan juga penyampaian hadis.
Periode ini menunjukkan beberapa ciri tertentu, antara lain:
(1) keaktifan para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya pada catatan-catatan mereka sendiri yang disebut sahifah, yaitu tulisan pada pelepah kurma, kulit kayu, dan tulang tulang hewan. Tetapi karena di masa ini terdapat larangan menulis hadis, maka para sahabat dalam menerima hadis berpegang pada kekuatan hapalan mereka. Selain itu hal ini juga disebabkan di masa ini sahabat Nabi SAW yang bisa menulis sangat sedikit;
(2) hadis; diterima dan disampaikan dengan mengandalkan kekuatan hapalan.
Para sahabat yang banyak menerima hadis di masa ini ada beberapa kelompok. Pertama, mereka yang mula-mula masuk Islam yang dinamai as-sabi qul awwaliin. Misalnya, para al-Khulafaur Rasyidiin (empat khalifah pertama) dan Abdullah bin Mas'ud. Kedua, mereka yang selalu berada di samping Nabi SAW dan bersungguh-sungguh menghapal hadisnya, seperti Abu Hurairah, atau yang mencatatnya, seperti Abdullah bin Amr bin As. Ketiga, mereka yang berusia panjang, seperti Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas. Keempat, mereka yang secara pribadi erat hubungannya dengan Nabi SAW, yaitu para istri Nabi SAW, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.
Adanya larangan menulis hadis di masa ini oleh para ulama dipahami sebagai sesuatu yang bersifat umum. Tetapi Nabi SAW tetap membolehkan adanya penulisan hadis. Kebolehan ini bersifat sangat khusus, yaitu hanya diperuntukkan bag'i mereka yang tidak dikuatirkan akan mencampurbaurkan antara catatan-catatan wahyu Al-Qur'an dan hadis. Larangan penulisan hadis pun merupakan larangan pembukuan hadis secara resmi. Sesungguhnya, semuanya itu bisa dipahami berhubung pada masa itu wahyu Al-Qur'an dalam proses turun secara bertahap dan dengan bimbingan wahyu Nabi SAW membangun serta membentuk masyarakat. Karena itu, masa ini disebut ‘Asr al- Wahy wa Takwin (Masa Turunnya Wahyu dan Pembentukan Masyarakat). Di antara sahabat yang menulis hadis adalah Abdullah bin Amr bin As (7 Sebelum Hijriah-65 H) dengan naskahnya yang berjudul as-Sahifah as-Sadiqah dan Jabir bin Abdullah al-Ansari (16-73 H) dengan naskahnya yang berjudul Sahifah Jabir.

II. PeriodeKedua.
Periode ini disebut Zaman at Tasabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah (Periode Membatasi Hadis dan Menyedikitkan Riwayat), yaitu pada masa khalifah empat (*Abu Bakar asSiddiq, Umar bin Khattab, *Usman bin Affan, dan *Ali bin Abi Talib). Di antara persoalan yang sangat menonjol dan menyita banyak perhatian para sahabat di masa ini, di samping usaha penyebarluasan Islam, adalah soal ketatanegaraan dan soalkepemimpinan umat. Tanpa mengabaikan usahausaha mendasar yang telah dilakukan oleh keempat khalifah tersebut, situasi politik dengan dampak tumbuhnya perpecahan di kalangan intem kepemimpinan umat telah melahirkan bermacam-macam fitnah dan berbagai intrik. Hadis pun tidak luput dari dampak tersebut. Dapat dimengerti kalau Khalifah Abu Bakar dan kemudian penggantinya, Umar bin Khattab, menyerukan kepada umat untuk bersikap hati-hati dan cermat dalam meriwayatkan hadis serta meminta kepada para sahabat untuk memeriksa dengan teliti riwayat hadis yang mereka terima.
Ada riwayat bahwa Abu Bakar sendiri telah bersedia membakar sahifah-sahifah miliknya. Tindakan Abu Bakar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) mungkin Abu Bakar merasa bahwa catatan-catatan hadisnya tersebut tidak persis dengan apa yang telah disampaikan oleh Nabi SAW dan
(2) mungkin, menurut Abu Bakar sendiri, apa yang dibakarnya itu sudah sama dengan yang terdapat pada sahabat lainnya.
Terdapat riwayat lain bahwa di depan Abu Salamah, Abu Hurairah mengaku bahwa seandainya ia meriwayatkan hadis; di masa Umar menjadi khalifah, seperti yang ia lakukan pada masa itu (setelah Umar wafat), niscaya Umar akan mencambuknya. Riwayat lain mengatakan, Umar menentang keras riwayat hadis atau mereka yang datang membawa kabar (hadis) hukum tanpa diperkuat oleh seorang saksi. la juga menekankan para sahabat supaya menyedikitkan riwayat.
Pada beberapa sumber disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain. Sementara terdapat pula sumber lainnya yang mcnyatakan kedua sahabat itu menerima riwayat orang-perorang (tanpa saksi). Sumber yang pertama menunjukkan betapa ketat kedua sahabat dan juga sahabat lainnya dalam menerima hadis. Pada sumber kedua bisa dijelaskan bahwa saksi tidak merupakan syarat mutlak; saksi hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima suatu riwayat. Dengan penjelasan serupa dapat dipahami adanya sumber yang menyebutkan bahwa Ali bin Abi Talib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah.
Periwayatan hadis di masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib meneruskan ciri dari dua kbalifah pendahulunya. Tetapi, perkembangan masyarakat pada waktu itu sudah berbeda dengan waktu sebelumnya. Banyak sahabat Yang sudah berpencar ke daerah-daerah baru. Perkembangan dan perubahan tersebut membawa pengaruh. Misalnya, bila di zaman Umar larangan periwayatan hadis dapat dilakukan dengan tegas, maka di zaman Usman dan Ali larangan itu tidak setegas zaman sebelumnya. Para sahabat sebagai nara-sumber hadis tidak lagi hanya bermukim di Madinah sebagai akibat kebijaksanaan Yang diterapkan oleh Umar Yang melarang para sahabat pindah ke luar kota tersebut, tetapi mereka terpencarpencar ke beberapa dae-rah baru. Akibatnya, penyebaran dan pengembangan riwayat secara lebih jauh mulai tak terhindarkan.

III. PeriodeKetiga.
Disebut Zaman Intisyarar-Riwayah ila al-Amsar (Periode Penyebaran Riwayat ke Kota-Kota), berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabiin besar. Penaklukan Yang dilakukan oleh tentara Islam atas wilayah Syam (Suriah) dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H) mengharuskan para sahabat berpindah ke tempat-tempat baru tersebut untuk keperluan mengajarkan agama Islam bagi penduduk setempat. Pada perkembangan selanjutnya, seorang sahabat Yang mendengar suatu riwayat (hadis) Yang belum pemah didengamya merasa perlu berkunjung ke kota tempat tinggal sahabat Yang disebutkan meriwayatkan hadis tersebut. Berita kedatangan seorang sahabat di suatu daerah mengundang paerhatian tabiin untuk mendatanginya dan berkerumun di sekitar sahabat untuk mendengarkan pengajaran-pengajaran daripadanya termasuk pengajaran tentang hadist.
Dalam riwayat Bukhari, Ahmad, at-*Tabari, dan al-*Baihaki disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke Syam (Suriah) dengan maksud menanyakan sebuah hadis pada seorang sahabat Yang tinggal di sana. Hal Yang sama telah dilakukan pula oleh Abu Ayyub al-Ansari Yang melawat ke Mesir untuk menemui Uqbah bin Amr untuk menanyakan sebuah hadis.
Dengan demikian periode ini ditandai oleh aktifnya generasi tabiin mencari dan menyerap hadis-hadis dari generasi sahabat Yang masih hidup. Pada periode ini, terkenallah sahabat-sahabat Yang dijuluki sebagai 'bendaharawan" hadis, yaitu mereka Yang meriwayatkan lebih dari seribu hadis. Diantara meraka adalah :
(1). Abu Hurairah meriwayatkan 5.374 Hadis
(2). Abdullah bin Ummar bin Khattab meriwayatkan 2.630 hadis
(3). Annas bin malik meriwayatkan 2.266 Hadis
(4). Aisyah meriwayatkan 1.210 Hadis
(5). Abdullah bin Abbas, meriwayatkan 1.660 hadis;
(6). Jabir bin Abdullah, meriwayatkan 1.540 hadis; dan
(7). Abu Sa'id alKhudri, meriwayatkan 1.170 hadis.
Di masa ini terdapat pula sahabat Yang menyedikitkan riwayat karena takut terjerumus dalam kedustaan atau takut karena usia lanjut sehingga banyak hadis Yang terlupakan. Az-Zubair dan Zaid bin Arqam adalah contoh dari sekian sahabat Yang mengambil sikap seperti ini.
Adapun di antara tabiin Yang tercatat sebagai tokoh-tokoh hadis pada periode ini adalah Sa'id dan Urwah di Madinah, lkrimah dan Ata bin Abi Rabah di Mekah, asy-Sya'bi dan Ibrahim anNakha'i di Kufah, Abu Oatadah dan Muhammad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qabisah bin Zuaib di Syam (Suriah), Abu Khair Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesir, dan Tawus bin Kaisan a]-Yamani serta Wahab bin Munabbih di Yaman. Kota-kota dan wilayah-wilayah Yang disebutkan di atas juga sekaligus menjadi pusat hadis.
Perkembangan tersebut, di samping pengaruh politik serta fitnah dan intrik-intrik lain dari masa-masa sebelumnya, memberi peluang bagi berkembangnya pemalsuan hadis. Pada periode ini riwayat-riwayat yang palsu semakin bertambah dan beragam coraknya. Menurut versi pengarang kitab Hadis (seorang ulama *Syiah), pemalsuan hadis mula-mula dilakukan oleh golongan syi’ah sendiri dalam bentuk pemujaan terhadap keutamaan pribadi-pribadi. Tragisnya, perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan *Suni. Karena di masa ini Irak merupakan pusat orang-orang Syiah, maka kuat dugaan bahwa daerah tersebut menjadi asal mula munculnya hadis-hadis palsu.

IV. Periode Keempat.
Disebut 'Asr al-Kitabat wa at-Tadwin (Periode Penulisan dan Kodifikasi Resmi), berlangsung dari masa Khalifah *Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/717-720 M) sampai akhir abad ke-2 H. Khalifah Umar bin Abdul Aziz Yang dikenaljujur dan mempunyai minat pada ilmu pengetahuan mengambil langkah dan kebijaksanaan terhadap hadis Yang belum pemah dilakukan sebelumnya oleh semua khalifah pendahulunya.
Kholifah ini menangkap kenyataan bahwa para penghapal hadist semakin berkurang jumlahnya karena meninggal. Tumbuh rasa khawatir dalam diri Khalifah, apabila hadis tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka berangsur-angsur akan hilang. Rasa khawatir itulah yang menyebabkan Khalifah memerintahkan gubenur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (w. 117 H), supaya membukukan hadis Nabi SAW yang terdapat pada penghapal wanita terkenal dan seorang ahli fikih murid Aisyah RA, Amrah binti Abdurrahman bin Sa'ad bin Zurarah bin Ades, serta hadis-hadis yang ada pada Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq, seorang pemuka tabiin dan salah seorang dari tujuh fukaha (ahli fikih) Madinah.
Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat kepada semua gubenur dalam wilayah kekuasaannya untuk mengambil langkah serupa pada penghapal dan ulama hadis di tempat mereka masing-masing. Kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini oleh sejarah dicatat sebagai kodifikasi hadis yang pertama secara resmi. Pengertian "resmi di sini ialah kebijaksanaan itu dilaksanakan atas perintah penguasa yang sah dan disebarluaskan ke seluruh jajaran kekuasaannya. Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H) tercatat sebagai ulama besar pertama yang membukukan hadis-hadis. Selanjutnya, kodifikasi hadis dilakukan oleh para ulama atas anjuran dan dukungan para khalifah, seperti Khalifah *Abu Abbas as-Saffah dan kbalifah-khalifah keturunannya dari Dinasti Abbasiyah.
Periode pendewanan hadis yang disponsori oleh khalifah-khalifah Abbasiyah ini melahirkan ulama-ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w. 150 H) di Mekah, Abu Ishaq (w. 151 H) dan Imam *Malik (w. 179 H) di Madinah, ar-Rabi bin Sabih (w. 160 H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H) di Basra, *Sufyan as-Sauri (w. 161 H) di Kufah, dan Abdurrahman al-Auza'i (w. 156 H) di Syam (Suriah). Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad ke-2 H, sukar untuk ditetapkan siapa di antara mereka yang lebih dahulu muncul. Namun yang jelas adalah mereka itu sama-sama berguru kepada *Ibn Hazm dan Ibnu Syihab az-Zuhri.
Di antara ciri-ciri hadis yang didewankan pada abad ke-2 H ini adalah mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah yang mereka dewankan itu hadis Nabi SAW semata-mata ataukah termasuk juga di dalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka belum membuat pengelompokan kandungan nas-nas (teks) hadis menurut kelompok-kelompoknya. Dengan demikian karya ulama abad ini masih bercampur-aduk antara hadis-hadis Rasulullah SAW dan fatwa-fatwa sahabat serta tabiin. Dengan demikian, dalam kitab-kitab hadis karya ulama-ulama tersebut belum dipisahkan antara hadis-hadis yang marfu’(yang disandarkan kepada Nabi SAW), Mauquf (yang disandarkan kepada sahabat), dan mauquf(yang disandarkan kepada tabihi) serta antara hadis sahih, hasan, dan daif (lemah).
Dalam periode keempat ini sejumlah hadis berhasil dihimpun dalam buku-buku yang dinamakan al-Jam'i, al-Musannaf, al-Musnad, dan lain-lain. Misalnya, al-Musnad susunan Imam *Syafi'i, al-Musannaf susunan al-Auza'i, dan al-*Muwatta' susunan Imam Malik yang disusun atas permintaan Khalifah Abu Ja'far al-*Mansur (144 H).
Dalam periode ini pemalsuan hadis juga semakin meluas. Yang agak menonjol adalah pemalsuan hadis dalam rangka kepentingan politik, di samping pemalsuan yang dilakukan oleh golongan *zindik dan tukang-tukang kisah untuk menarik minat para pendengamya. Ada kemungkinan, kisah-kisah itu banyak yang disandarkan pada hadis-hadis maudhu’ (lemah). Kenyataan tersebut mendorong lahinya ulama-ulama di bidang hadis yang memusatkan perhatiannya dalam persoalan rawi, jarh (penolakan terhadap rawi), dan ta'dil (penerimaan terhadap rawi). Walaupun demikian, kegiatan penulisan dan kodifikasi hadis tetap berjalan dan semakin berkembang.

V. Periode Kelima.
Disebut Asr at-Tajrid wa atTashih wa at-Tanqih (Periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan), dari awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 H. Periode ini menanggung dan mencarikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hadis yang muncul dan belum diselesaikan pada periode sebeluninya. Pemisahan antara hadis Nabi SAW dan fatwa sahabat yang mulai terasa keperluanya dan adanya pemalsuan-pemalsuan hadis yang telah menarik perhatian para ulama pada masa sebelumnya pada periode ini semakin terasa mendesak untuk ditangani. Para ulama pun di masa ini menghimpun dan membukukan hadis-hadis Nabi SAW ke dalam buku hadis dan memisahkannya dari fatwa-fatwa sahabat. Kegiatan-kegiatan lainnya di masa ini antara lain:
(1) perlawatan ke daerah-daerah yang semakin jauh guna menghimpun hadis-hadis dari para rawi semakin meningkat;
(2) membuat klasifika hadis pada yang ma’ruf (yang disandarkan kepad SAW), yang mauquf (yang disandarkan kepada shabat), dan yang mauquf(yang disandarkan kepada tabiin); dan
(3) menghimpun kritik-kritik yang diarahkan baik kepada rawi (yang meriwayatkan) maupun matan (teks) hadis, dan memberikan jawaban atas kritik tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari usaha pemisahan antara hadis dan fatwa sahabat, di masa ini lahirlah buku-buku hadis dalam corak lebih baru yang dinamakan kitab Sahih, kitab Sunan, dan kitab Musnad. Kitab Sahih adalah kitab yang memuat hadis-hadis sahih saja. Kitab Sunan adalah kitab yang memuat seluruh hadis, kecuali hadis yang sangat daif dan munkar (sangat lemah). Adapun Musnad adalah kitab yang memuat semua hadis, baik sahih, hasan, maupun daif.
Di masa ini bangkit imam hadis yang besar, Ishaq bin Rahawaih, yang merintis usaha memisahkan hadis-hadis yang sahih dari yang tidak. Usaha ini dilanjutkan dengan sangat baik oleh Imam Bukhari dan muridnya, Imam Muslim, dengan menyusun kitab hadisnya, yang masing-masing dinamai kitab Sahih. Imam-imam hadis terkenal lainnya, seperti *Abu Dawud, at-*Tirmizi, an-*Nasa'i, dan *Ibnu Majah, mulai pula menyusun kitab-kitab Sunan mereka. Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal (Imam *Hanbali) dengan kitab Musnad-nya. Penyusun kitab Musnad lainnya antara lain Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Asad bin Musa, dan Nu'aim bin Hamad al-Khaza'i. Kitab-kitab itu oleh pengarangnya juga dimaksudkan sebagai jawaban ats usaha pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang telah disebutkan dan dari kalangan mazhab-mazhab fikih, aliran-aliran kalam/teologi, dan *tasawuf yang fanatik dalam membela golongannya.

VI. Periode Keenam.
Disebut Asr at-Tahzib wa at-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam'(Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan), mulai abad ke-4 H sampai jatuhnya kota Baghdad (656 H/1258 M). Ulama-ulama hadis telah menetapkan bahwa para ahli yang hidup sebelum abad ke-4 H atau periode ini disebut mutakadimin (pendahulu), sedangkan sesudahnya disebut muta'aklikhirin. Ulama hadis mutakadimin pada umumnya melakukan kegiatan mereka secara mandiri, dalam arti mengumpulkan hadis dan memeriksanya sendiri dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di banyak pelosok negeri. Adapun kegiatan ulama’ mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya ulama mutaqadimin, dalam arti hadis yang mereka kumpulkan merupakan petikan atau nukilan dari kitab-kitab mutaqaddimin.
Pada periode ini tumbuh asumsi untuk merasa cukup dengan hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama mutakadimin. Oleh karena itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbagai negeri untuk mencari hadis. Semangat di masa ini adalah semangat memelihara apa yang telah dikerjakan oleh para pendahulu mereka.
Para ulama hadis dalam periode ini saling berlomba untuk menghapal sebanyak-banyaknya hadis yang telah terdewan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghapal beratus-ratus ribu hadis. Sejak periode ini timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadis, seperti al-Hakim dan al-Hafiz. Selain itu, ulama dalam periode keenam ini berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang masih berserakan, dan memudahkan jalan-jalan pengambilan hadis. Pengumpulan hadis-hadis untuk disusun dalam bagian-bagian yang lebih sistematis, misaInya menghimpun dan membukukan hadis-hadis tentang hukum, lebih digiatkan. Di masa ini pula bermunculan kitab-kitab syarh atau syarah, yaitu kitab yang mengomentari kitab hadis tertentu, yang lebih banyak dibuat dari masa sebelumnya. Kegiatan lain di masa ini adalah istikhraj, yaitu mengambil suatu hadis dari ulama hadis tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab hadis yang dibuat dengan metode ini disebut mustakhrij. Selain itu, di masa ini lahir kitab hadis yang disebut kitab Atraf, yang menyebut hanya sebagian-sebagian dari matan atau teks hadis, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad dari kitab hadis yang dikutip maupun dari kitab lain; kitab Mustadrak, yang menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya saja; dan kitab Jami', yang menghimpun hadis-hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Ulama-ulama pada periode ini memberikan perhatian besar terhadap kegiatan memperbaiki susunan kitab hadis dan mengumpulkan hadis-hadis yang sudah terdapat dalam kitab-kitab sebe lumnya ke dalam sebuah kitab hadis yang lebih besar. Kitab-kitab yang masyhur hasil karya ulama abad ke-4 H antara lain: (1) al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausat, (3) al-Mu’jam saghir, ketiga- tiganya karya Imam Sulaiman bin Ahmad at-Thabrani (w. 360 H), (4) Sunan ad-Daruqutnni karya Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Daruqutni (306-385 H), (5) Shahih Abi Auwanah karya Abu Auwanah Ya'qub bin Ishaq Ibrahim al-Asfarayini (w. 354 H), dan (6) Sahih Ibn Khuzaimah karya Ibnu Kbuzaimah Muhammad bin Ishaq (w. 316 H). Adapun kitab-kitab hadis yang lahir pada abad ke-5 H hingga akhir periode keenam ini antara lain: (1) as-Sunan al-Kubra karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-*Baihaki (384-458 H); (2) Muntaqa al-Akhbar karya Majdudin al-Harrani (w. 652 H); (3) Nail al-Autar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya Muhammad bin Ali asy Syaukani (1172-1250 H); (4) at-Targib wa at-Tarhib karya Imam Zakiyu'ddin Abdu'l-'Adim al-Munziri (w. 656 H); (5) Dalil al-Falihin karya Muhammad bin Allan as-Siddiqi (w. 1057 H), sebagai syarah Kitab Riyad As-Shalihin karya Imam Muhyiddin Abi Zakariya an-*Nawawi (w. 676 H/1277 M).

VII. Periode Ketujuh.
Disebut Ahd asy-Syarah wal al-Jam'I wa at-Takhrij wa al-Bahs (Periode Pensyarahan, Perhimpunan, Pen-takhrijan atau Pengeluaran Riwayat, dan Pembahasan), mulai jatuhnya kota Baghdad sampai sekarang.
Periode ketujuh masih meneruskan beberapa kegiatan dari periode sebelumnya, di samping kegiatan-kegiatan lainnya. Penghancuran Baghdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh pasukan Hulagu Khan (656 H/1258 M) telah menggeser kegiatan di bidang hadis ke Mesir dan India. Banyak kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat Islam berasal dari usaha penerbitan yang dilakukan oleh ulama-ulama India. Contoh dalam hal ini adalah penerbitan kitab Al-Ulum Al Hadist (Ilmu-ilmu Hadis) karya al-Hakim.
Cara penerimaan dan penyampaian hadis di masa ini juga mengalami pergeseran. Cara yang digunakan kadang-kadang berupa pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadis dari guru tersebut dan kadang-kadang berupa pemberian catatan hadis dari seorang guru kepada seseorang yang ada di dekatnya atau yang jauh, baik catatan itu dibuat sendiri oleh guru tersebut atau menyuruh orang lain. Cara yang pertama dikenal dengan nama ijazah, sedang yang kedua dinamai mukdtabah (penulisan).
Pada periode ini tidak banyak lagi dapat dijumpai ulama-ulama hadis yang mampu menyampaikan periwayatan hadis beserta sanadnya secara hapalan yang sempuma. Kegiatan yang umum pada masa ini adalah mempelajari kitab-kitab hadis yang telah ada, mengembangkannya, dan membuat pembahasan-pembahasannya atau juga membuat ringkasan-ringkasan terhadap kitab-kitab hadis yang telah ada. Pada masa yang lebih kemudian dalam periode ini, kegiatan-kegiatan di bidang hadis juga berpindah ke Arab Saudi.

D. PENUTUP
a. Kesimpulan
• Menurut ahli hadis: segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli Usul fikih: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum;
• hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW
• hadis nabawi adalah hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri
• Sejarah Perkembangan Hadis sejak mulai penerimaan pada masa Nabi Muhammad SAW sampaidengan saat sekarang terbagi menjadi tujuh periode
• Periode pertama hadist diterima dengan melihat perbuatan Nabi dan mendengarkan pengajian atau ajaran dan ketetapan beliau
• Periode kedua ini disebut Zaman at Tasabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah (Periode Membatasi Hadis dan Menyedikitkan Riwayat), yaitu pada masa khalifah empat (*Abu Bakar asSiddiq, Umar bin Khattab, *Usman bin Affan, dan *Ali bin Abi Talib)
• Period eke Tiga Disebut Zaman Intisyarar-Riwayah ila al-Amsar (Periode Penyebaran Riwayat ke Kota-Kota),
• Periode ke empat Disebut 'Asr al-Kitabat wa at-Tadwin (Periode Penulisan dan Kodifikasi Resmi), berlangsung dari masa Khalifah *Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/717-720 M) sampai akhir abad ke-2 H.
• Periode ke lima disebut Asr at-Tajrid wa atTashih wa at-Tanqih (Periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan), dari awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 H
• Period ke enam disebut Asr at-Tahzib wa at-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam'(Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan), mulai abad ke-4 H sampai jatuhnya kota Baghdad (656 H/1258 M)
• Period ke tujuh disebut Ahd asy-Syarah wal al-Jam'I wa at-Takhrij wa al-Bahs (Periode Pensyarahan, Perhimpunan, Pen-takhrijan atau Pengeluaran Riwayat, dan Pembahasan), mulai jatuhnya kota Baghdad sampai sekarang